Menjadi Bahagia Ala Epikureanisme

slider
25 Desember 2022
|
2515

Sekarang ini stokisme menjadi aliran filsafat klasik yang kerap diperbincangkan dan didiskusikan. Banyak orang menulis ulasan tentang stoikisme dan banyak juga yang menulis ungkapan mutiara dari filosof stoik di media sosial. Setidaknya setelah terbitnya karya Henry Manampiring, Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno Untuk Mental Tangguh Masa Kini (2018), yang menjelaskan dan mengkontekstualisasikan stoikisme di zaman kiwari secara ringan dan renyah.

Stoikisme seolah menjadi bacaan wajib bagi yang ingin mempelajari filsafat di Indonesia. Stoikisme akhirnya tak kalah dengan aliran filsafat modern, post-modern, strukturalisme dan poststrukturalisme yang digandrungi dan diminati oleh pelajar-pemerhati filsafat di Indoinesia sejak lama.

Kendati demikian, stoikisme tak hanya mendapatkan respon positif. Beberapa orang berusaha menanggapi stoikisme secara skeptis. Salah satunya adalah tulisan Mochammad Aldy Maulana Adha yang skeptis terhadap ajaran stoikisme. Ia mengklaim bahwa stoikisme dapat dijadikan “senjata oleh para kapitalis untuk meninabobokkan kesadaran kaum tertindas agar menerima keadaan mereka dengan sukarela”.[1]

Bagi stoikisme, tak ada realitas yang keliru, melainkan persepsi kita terhadap realitas itu yang keliru. Alih-alih seperti kaum marxis yang mendeklarasikan diri untuk mengubah dunia, kaum stoik justru percaya bahwa dunia ini sudah dikendalikan oleh hukum alam yang karenanya, kita hanya perlu menyesuaikan pikiran kita atasnya.

Sayangnya, Aldy seharusnya juga membahas doktrin lain stoikisme yakini, oiekeiosis yang mengajarkan kosmopolitanisme.[2]

Terlepas dari respon positif atau negatif tersebut, pada pokoknya stoikisme telah mendapatkan tempat dalam diskursus filsafat di Indonesia. Ironinya, ketika membahas stoikisme yang pastinya sedikit-banyak juga bersinggungan dengan filsafat klasik, kita seolah tak tahu atau bahkan tak mau tahu dengan aliran filsafat yang hidup sezaman dengan stoikisme.

Mungkin akibat terlalu asyik dengan stoikisme, kita melupakan aliran lain seperti, epikureanisme dan sinisme. Padahal kedua aliran ini memiliki persinggungan dengan stoikisme. Epikureanisme adalah aliran yang menjadi saingan stoikisme.[3] Sementara salah seorang tokoh aliran sinisme, Crates, adalah guru dari Zeno, pendiri dari stoikisme.

Karena itu, tulisan ini berniat untuk mengangkat sekelumit ajaran epikureanisme, khususnya pembahasan pada persoalan kebahagiaan. Mengenai sinisme—bila penulis memiliki kesempatan—juga akan diulas pada lain kesempatan.

Epikureanisme

Epikureanisme adalah aliran filsafat yang didirikan oleh Epikurus pada abad ke 4 SM. Maknanya, ajaran epikureaanisme didasarkan pada pikiran-pikiran Epikurus. Ajaran itu dipraktikkan dalam sebuah komunitas yang dikenal dengan nama The Garden.

Komunitas ini memiliki rumah besar yang ditempati oleh anggotanya. Di sana mereka bisa bertani, melukis, menulis, membaca, dan meditasi. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan agar orang dapat mencapai ketenangan dalam pikiran.

Dengan kebebasan yang demikian, epikureanisme sukses membahagiakan anggotanya. Tak ayal, epikureanisme berkembang di seluruh Mediterania dan memiliki anggota hingga 400.000 orang. Sayangnya, komunitas The Garden ditutup oleh gereja Kristen pada abad ke-5.

Sebagai pendiri epikureanisme, Epikurus sangat terpengaruh oleh pemikiran Demokritos. Demokritos adalah orang yang deterministik. Bagi Demokritos, seluruh realitas ini terdiri dari atom-atom yang tak terbatas jumlahnya dan memiliki bentuk dan berat yang berbeda. Konskuensinya, peristiwa yang terjadi di dunia ini mengikuti hukum kausalitas yang mutlak dan pasti.

Namun, Epikurus menambahkan sesuatu terhadap pemikiran tersebut. Baginya, atom-atom tak selamanya bergerak sesuai kodratnya. Terkadang ia tidak bergerak lurus ke bawah tanpa kita tahu sebabnya. Pergerakan yang terjadi membuat atom-atom saling bertabrakan dan pengaruh-mempengaruhi. Dari sinilah alam semesta terbentuk. Maka, Epikurus percaya pada peristiwa yang terjadi tanpa sebab atau kebetulan belaka.

Anggapan tersebut jelas merobohkan pandangan tentang keteraturan mutlak alam semesta dan akhirnya, probabilitas untuk menganalisa masa depan menjadi lenyap. Hal tersebut dilakukan oleh Epikurus demi membebaskan manusia dari takdir. Bahwa manusia dapat menentukan hidupnya sendiri tanpa mengimani takdir. Karena itu, Epikurus menuntut kebebasan kehendak.[4]

Sebagaimana dengan takdir, manusia juga tak perlu takut dengan dewa-dewa, kematian, dan hari pengadilan. Dewa-dewa tak memiliki perhatian pada kehidupan manusia. Segala hal di dunia mengikuti hukum mekanisme atomistik yang tak melibatkan intervensi mereka. Mengatur kehidupan sesuai dengan kebijaksanaan manusia sendiri dan tak perlu takut dengan dewa-dewa adalah tindakan yang rasional.

Meski demikian, Epikurus melihat ateisme sebagai bentuk kegilaan. Sementara soal kematian, Epikurus mengatakan dengan tegas bahwa ketika kita hidup kematian tidak ada dan ketika kita mati kita tidak ada lagi. Lantas, buat apa takut dengan kematian bila sejatinya tidak ada?[5]

Kebahagiaan

Kita tahu bahwa epikureanisme hidup di masa filsafat memasuki zaman Helenisme. Zaman ketika filsafat lebih banyak mengaksentuasikan the way of life ketimbang penalaran yang benar-benar teoritis. Teoritisasi dalam filsafat digunakan sejauh mengarah pada panduan menuju hidup yang baik. Fisika, logika, atau metafisika dikonstruksi sebagai eksponen bagi tujuan-tujuan etis.

Intinya, alih-alih dipakai sebagai kepuasan intelektual, filsafat lebih banyak dipakai untuk menyelesaikan problem-problem praktis kehidupan. Tak pelak, yang menjadi perhatian filsafat pada masa itu ialah bagaimana manusia bisa menjalankan hidup dengan bahagia.

Epikureanisme memandang kebahagiaan dapat dicapai dengan menjalankan keutamaan untuk mengejar kenikmatan dan menghindari rasa sakit semaksimal mungkin. Pandangan inilah yang kerap disalahpami oleh banyak orang. Epikureanisme dituduh mengajarkan etika hedonistik yang mencari kenikmatan sebanyak mungkin tanpa memperhatikan ekses yang kemudian terjadi.

Padahal epikureanisme tak pernah mengajarkan demikian. Kebahagiaan oleh epikureanisme dipahami secara negatif sebagai hilangnya rasa sakit dan kegelisahan hidup. Manusia perlu membebaskan diri dari sakit dan mencapai kenyamanan batin untuk bisa dikatakan bahagia.

Apakah dengan sekelumit contoh di atas kegelisahan hidup menjadi hilang dan kenyamanan batin yang kemudian muncul? Tentu saja tidak. Justru yang terjadi adalah kebalikannya. Karena itu, untuk mencapai kebahagiaan manusia perlu menata keinginan.

Epikureanisme mengkategorisasi tiga jenis keinginan. Pertama, keinginan alamiah yang harus dipenuhi (natural necessary) seperti, makanan, minuman, dan tempat tinggal. Kedua, keinginan alamiah yang tidak mesti harus dipenuhi (natural unnecssary) seperti, makanan dan rumah yang mewah. Ketiga, keinginan yang tidak alamiah (unnatural) seperti, status sosial yang tinggi dan mencari uang sebanyak-banyaknya.

Guna mencapai kebahagiaan, manusia harus fokus pada keinginan pertama dan mengesampingkan keinginan ketiga. Sebab, dalam jangka waktu yang lama keinginan ketiga dapat membuahkan kekecewaan, ketidakpuasan dan kegelisahan hidup. Sementara keinginan kedua tak masalah untuk dipenuhi asalkan tidak membawa rasa sakit. Karena itu, keinginan harus ditempatkan dalam konteks hidup manusia secara menyeluruh.

Selain itu, manusia juga perlu menata kesenangan karena ia merupakan pintu masuk untuk menuju kebahagiaan. Kesenangan bersifat innate good yang tak selamanya baik dan harus dipenuhi. Kesenangan yang ujungnya membawa rasa sakit selayaknya dihindari, sementara rasa sakit yang ujungnya membawa kesenangan semestinya dilakukan. Manusia perlu menahan rasa sakit sebentar demi kesenangan yang lebih panjang.

Pada pokoknya, kebahagiaan diukur bukan pada intensitas, melainkan durasi. Percuma saja rasa senang begitu kuat, tapi waktunya pendek. Lebih baik rasa senang tampak biasa saja, tapi dalam jangka waktu yang panjang.

Misalnya, kita menahan untuk tidak makan banyak-banyak. Perasaan kita terlihat biasa saja dan tak kuat. Namun, dengan tindakan demikian, kita bisa terhindar dari kekenyangan dan menjadi lebih sehat. Karena itu, Epikureanisme menambahkan satu hal untuk menuju kebahagiaan, yakni merasa cukup. Dengan itu, kita akan gampang puas dan tak berupaya untuk mencari sesuatu yang lain lagi.

Maka dari itu, salah besar apabila epikureanisme dianggap menyukai kemewahan, kegelamoran, dan ketidakpuasan. Epikureanisme justru mengajarkan kesederhaan, menahan diri, dan tahu batas.

 

[1] Mochammad Aldy Maulana Adha, “Menyelami dan Mencurigai Stoikisme”, dalam https://mjscolombo.com/menyelami-dan-mencurigai-stoikisme.html.

[2] Stephen Hanselman, “Oiekeiosis”, dalam https://dailystoic.com/oikeiosis/

[3] Stephen Hanselman, “Stoicism vs Epicureanism”, dalam https://dailystoic.com/stoicism-vs-epicureanism/

[4] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19 (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 48.

[5] Ibid, hlm. 49.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

M. Akbar Darojat Restu Putra

Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya