Melindungi Mualaf

slider
02 Agustus 2019
|
1758

 Al-Quran menyebutkan orang yang baru masuk Islam dengan istilah mualaf. Seperti yang terdapat  dalam surah At-Taubah ayat 60.

Secara ilmu bahasa, kata mualaf memiliki arti ta’lif (melembutkan). Yakni orang yang terlembutkan hatinya sehingga mudah menerima hidayah Islam. Sedangkan secara peristilahan, mualaf ialah orang yang baru menundukkan hatinya untuk menerima kebenaran baru berupa kebenaran Islam dan mengucapkan dua kalimat syahadat.

Dalam surah At-Taubah di atas, Allah Swt membuat ketetapan delapan golongan yang berhak menerima zakat. Salah satunya ialah orang yang baru memeluk Islam atau Mualaf. Orang mualaf masuk dalam golongan mustahiq atau penerima zakat. Hal ini memiliki filosofi agar orang yang baru masuk Islam merasa tersentuh hatinya bahwa dalam agama Islam ada kebaikan. Pada masa kejayaan pemerintahan khalifah Umar bin Khattab, tafsir mualaf sebagai penerima zakat mulai berkembang ke arah kemajuan. Pada masa Umar r.a para mualaf tidak lagi diberi zakat. Para mualaf pada masa itu sudah banyak yang sejahtera. Sehingga alokasi zakat digeser pada hal-hal yang lebih prioritas.

Ulama menjelaskan bahwa dalam beberapa riwayat, hal yang dipesankan dan ditekankan oleh Nabi Muhammad Saw kepada orang mualaf ialah, pertama, Allah Swt memiliki hak-hak yang harus ditunaikan oleh hamba-Nya, dan sebaliknya, orang yang baru masuk Islam juga memiliki hak-hak sebagai seorang muslim serta kewajiban yang juga menyertainya. Kedua, Nabi Saw menyampaikan kepada orang mualaf bahwa Allah Swt mewajibkan umat Islam untuk salat lima waktu sehari semalam dan harus dilakukan dengan tertib. Ketiga, Allah Swt juga mewajibkan umat Islam membayar zakat yang diberikan kepada orang-orang yang berhak. Keempat, Rasulullah berpesan agar kita berhati-hati terhadap harta yang paling kita utamakan dan yang paling kita banggakan. Kelima, Rasulullah juga berpesan, agar kita berhati-hati terhadap doa orang yang teraniaya. Karena tidak ada hijab penghalang antara doa mereka dengan Allah Swt. Itulah pesan Nabi Saw terhadap para mualaf.

Melindungi mualaf

Nabi Muhammad Saw menegaskan didalam hadisnya yang shahih, umat muslim yang satu dengan umat muslim yang lainnya adalah bersaudara. Oleh karenanya, satu sama lain harus saling melindungi dan mendukung dalam kebaikan.

Seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lainnya. Tidak boleh mendhaliminya dan tidak boleh pula menyerahkan kepada orang yang hendak menyakitinya. Barangsiapa yang memperhatikan kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memperhatikan kebutuhannya. Barangsiapa yang melapangkan kesulitan seorang muslim, niscaya Allah akan melapangkan kesulitan-kesulitannya di hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi kesalahan seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi kesalahannya kelak di hari kiamat” (HR. Bukhari).

Orang yang baru masuk Islam harus terus dibesarkan hatinya dan didukung agar keteguhan iman dihatinya terus bertambah. Belakangan ini yang berkembang di masyarakat khususnya yang terpantau dari media sosial, ketika ada orang mualaf bukannya didukung dan diberi selamat, malah dicurigai kemualafannya karena motif tertentu. Hal ini jauh dari tuntunan Nabi Saw.

Imam Bukhari dalam kitab Ad-Diyat no. 6872 dan Muslim dalam kitab Al-Iman no. 96 meriwayatkan dari seorang sahabat mulia yang juga merupakan cucu angkat Nabi Saw, yaitu Usamah bin Haritsah.

Ia bercerita, “Rasulallah Saw mengutus kami dalam sebuah pasukan perang untuk menyerang orang-orang kafir marga Huraqah, bagian dari suku Juhainah. Kami menyerang mereka di waktu pagi dan kami mengalahkan mereka. Saya dan seorang sahabat Anshar mengejar seorang anggota Bani Huraqah yang melarikan diri. Ketika kami mengepungnya, tiba-tiba ia mengucapkan ‘Laa ilaaha illa Allah’. Sahabat Anshar itu pun menahan dirinya. Adapun saya menusuk orang tersebut dengan tombakku sampai menewaskannya. Ketika kami tiba di Madinah, berita tersebut sampai kepada Nabi Saw. Maka beliau bertanya kepadaku, ‘Wahai Usamah, apakah engkau tetap membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa Ilaaha Illa Allah? Saya menjawab,  Ya Rasulullah Saw, dia mengucapkannya karena takut kepada senjata kami. Ia telah menimbulkan luka-luka terhadap kaum muslimin, bahkan ia telah menewaskan fulan dan fulan.” Namun Nabi Saw bersabda, Kenapa engkau tidak membelah dadanya, sehingga engkau mengetahui apakah hatinya mengucapkan Laa Ilaaha illa Allah karena ikhlas ataukah karena alasan lainnya?Nabi Saw mengulang terus-menerus pertanyaan itu kepada saya sehingga saya (ketakutan) berharap andai saja saya baru masuk Islam pada hari itu”.

Para ulama Islam menjelaskan bahwa teguran keras dalam bentuk pertanyaan Nabi Saw kepada Usamah bin Zaid tersebut mengandung pelajaran yang sangat berharga. Imam An-Nawawi dalam kitabnya Fathul Bari—sarah kitab Shahih Bukhari—berkata, “Sesungguhnya engkau hanya diperintahkan untuk beramal sesuai kondisi lahiriah dan ucapan lisan, adapun urusan hati, engkau tidak akan mampu mengetahuinya. Maka Nabi Saw mengingkari tindakan Usamah yang tidak bertindak atas dasar apa yang nampak dari ucapan lisan”.

Dari hadis dan penjelasan ulama tersebut maka sudah seharusnya kita tidak mencurigai tindakan kemualafan seseorang dengan tuduhan karena hendak menikahi wanita muslim atau motif duniawi lainnya. Sebab pilihan terhadap kebenaran baru berupa agama Islam itu kita tidak pernah tahu pergolakan batin seperti apa yang dihadapi sehingga seseorang tersebut memilih agama Islam.

Sebab Allah Swt akan menguji semua umat muslim dalam situasi-situasi tertentu sebagai proses tamhish (penyaringan). Allah Swt berfirman, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: Bilakah datangnya pertolongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat (QS Al-Baqarah [2]: 214).

Dalam ayat lain Allah Swt berfirman, “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (QS Al-Maidah [5]: 48).

Boleh jadi seseorang yang berada pada titik jahiliyah yang sangat kelam, lalu memeluk Islam sungguh-sungguh. Seperti Umar yang memusuhi Islam pada waktu itu. Dan siapa sangka, atas hidayah Allah Swt Umar berubah menjadi salah seorang yang terdepan membela Islam. Seseorang yang baru mualaf laksana bayi yang baru lahir. Para ulama mencontohkan agar meminta doa kepada mereka yang baru mualaf, karena doa orang yang bersih tak punya dosa akan mudah terijabah oleh Allah Swt.

Keimanan bukanlah suatu sifat permanen bagi seseorang. Boleh jadi kita yang Islam sejak lahir mengalami situasi-situasi yang mengerus keimanan dan menjurus pada kemurtadan. Oleh karena itu, kita harus terus meminta kepada-Nya ketetapan hati. Rabban─ü l─ü tuzig qulß╗Ñban─ü ba’da i┼╝ hadaitan─ü wa hab lan─ü mil ladungka raß©Ñmah, innaka antal-wahh─üb. “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi karunia” (QS Ali Imran [3]: 8).

*Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi-35 Jumat, 02 Agustus 2019/01 Muharram 1440 H 


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Abdurrosit

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia