Mata Air Kehidupan
Adalah menyenangkan, sekaligus mengharukan, bahwa dalam perjalanan hidup ini, walaupun kita berangkat dari tempat dan waktu yang berbeda, kita terkadang bertemu dengan jalan hidup orang lain dengan berbagi cinta, pengetahuan, dan harapan. Dan “pertemuan” semacam ini tak pernah merupakan sebuah kebetulan. Cobalah engkau bertanya pada diri sendiri, siapa yang menggerakkan dirimu hingga bertemu dengan orang yang asing yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, lalu entah bagaimana perjumpaan itu begitu mengesankan sehingga kita ingin mengulanginya berkali-kali.
Orang-orang bisa akrab dalam arti sesungguhnya ketika mereka hidup demi tujuan yang serupa, yakni “kebahagiaan”, dengan cara yang sama, meski perwujudannya berbeda-beda. Tetapi ada banyak gagasan berbeda tentang kebahagiaan. Apa yang dimaksud di sini?
Menurut sebagian sufi, pada hakikatnya hanya Allah yang tahu cara agar manusia mendapatkan kebahagiaan, yang Dia isyaratkan melalui perintah dan larangan-Nya. Tetapi sering kita lalai karena satu dan lain hal, sehingga manusia diperintahkan untuk selalu selalu belajar ayat-ayat Tuhan yang ada di muka bumi dan di dalam dirinya sendiri, agar mengerti dan mengalami langsung apa yang dimaksud kebahagiaan menurut Allah, bukan menurut keinginan nafsu atau ego.
Tentu saja, selama hidup di dunia, setiap orang juga mengalami penderitaan yang berbeda-beda. Ada yang kehilangan kekasih, putus cinta, kehilangan pekerjaan, tersiksa oleh tekanan hidup, sakit, terluka batin, stres, dan sebagainya. Ada yang harus berjuang untuk tetap sederhana dan rendah hati karena hidupnya berkelimpahan harta, tetapi ada juga yang harus bekerja keras setiap hari demi sesuap nasi hari ini. Betapa bervariasinya hidup dan tantangannya, sehingga semestinya kita tak boleh lekas-lekas menghakimi orang lain. Sebab, walau semua orang masih bisa tersenyum, seringkali ada masalah dan luka di balik senyum itu.
Orang beriman pada umumnya, dan sufi pada khususnya, menempuh hidup dengan langkah sederhana: hidup berusaha menempuh jalan yang lurus hingga bisa menerima sepenuh hati apa pun yang datang dari Allah dan percaya sepenuhnya kepada kasih sayang-Nya. Adalah benar “cara” kita menempuh “jalan lurus” ini berbeda-beda—titik awal keberangkatan yang berbeda, kecepatan langkah yang berbeda, gangguan dan cobaan yang berbeda—namun tujuan dari perjalanan ini akan membawa kita pada jalan yang sama: jalan kebahagiaan sejati, yang adalah manifestasi dari ridha-Nya: “Wahai orang-orang beriman, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai, dan masuklah ke surge-Ku.” Dalam konteks inilah kita, dalam mencari kebahagiaan, kita menjadi sama: menjadi hamba dan manusia.
Sebaliknya, jika memilih jalan yang dilarang—keserakahan, dusta, egoisme, dan sebagainya—kita akan menjadi sosok yang berbeda karena tujuan kita hakikatnya tidak sama: dalam jalan penderitaan, kita mengejar hal-hal yang berbeda dari yang dikejar orang lain.
Misalnya, jika tujuan kita hanya demi mengumpulkan harta dan kekuasaan, maka kita akan bersaing dengan orang lain sebagai sosok yang menuhankan keinginan pribadi: kita menciptakan berhala dalam diri sendiri, hingga seakan-akan menjadi Tuhan bagi diri kita sendiri dan orang lain. Karena masing-masing orang ingin menjadi Tuhan atas dirinya sendiri dan orang lain, maka tujuan hidup mereka menjadi berbeda dan menimbulkan krisis relasi yang pada titik tertentu melahirkan pertengkaran dan bahkan kekacauan, baik chaos sosial maupun kekacauan pada jiwa atau rohani manusia.
Kalau orang-orang menempuh tujuan yang sama, yakni Allah Yang Maha Tinggi, maka pada akhirnya Dialah yang Maha Rahman dan Rahim yang akan menyatukan kita. Tanpa kasih sayang dan ridha-Nya, mustahil bisa menyatukan dua hati, apalagi banyak hati. Maka kebahagiaan, bagi penempuh jalan rohani bukanlah konsep ini dan itu, tetapi sebuah pengalaman “kebersamaan dengan, dan di dalam, Yang Ilahi” dalam setiap keadaan, bahkan dalam keadaan paling buruk sekalipun.
Misalnya, Kanjeng Rasulullah, dilihat dari sisi manusiawi, adalah manusia yang paling banyak penderitaannya—ditinggal ayah ibu sejak kecil, dianiaya di kampung halaman, terusir dari kampung halaman, harus mengangkat senjata, harus serba repot melayani dan membimbing umat, hidup dalam kemiskinan, dan seterusnya. Tetapi, dengan segala kesulitan hidup itu, apakah beliau tidak bahagia? Jika kita hanya memandang dari segi duniawi serta kepentingan pribadi dan ego, niscaya kita akan menganggap beliau adalah orang yang tidak bahagia. Namun jika kita melihat dari “rasa” dan kesadaran pada tujuan yang sama (yakni ridha Allah) maka akan lahir perasaan yang ganjil: kita merasakan kasih sayang kanjeng Nabi Muhammad meski belum pernah bertemu dan terpisah jarak dan waktu ribuan tahun—dan bagaimana mungkin orang yang tidak berlimpah kebahagiaan bisa memancarkan kasih sayang demikian besar ke begitu banyak manusia hingga melampaui ruang dan waktu, dan bahkan sebagian orang bisa masuk ke dalam kerinduan yang tak terperi kepada Kanjeng Nabi.
Kebahagiaan, dalam pengertian ini, adalah rahasia yang tak terpemanai oleh pikiran dan kerja mental. Dan orang-orang yang sama-sama mencari kebahagiaan dalam naungan ridha Ilahi akan mendapatkan percikan kerinduan ruhani semacam ini, yang pada mulanya dalam bentuk rindu pada teman-teman seperjalanan. Kerinduan pada sahabat-sahabat yang sama-sama ingin kembali dengan ridha dan diridhai-Nya adalah refleksi dari kerinduan pada penghulu insan yang paling diridhai dan dicintai-Nya: sayyidina al-musthofa wa maulana Rasulullah Muhammad Saw. Tak heran jika ulama-ulama arif billah menasihati kita agar terus memperbesar kecintaan kepada Kanjeng Nabi, dengan banyak membaca selawat dan mentaatinya, sebab dari situlah salah satu sumber terbesar mata air kerinduan dan kasih sayang dan cinta kepada sesama manusia, kepada Nabi, dan akhirnya, kepada Allah Yang Maha Agung.
Waallahu a’lam.
*Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi-10 Jumat, 29 November 2019/02 Rabiulakhir 1441 H
Category : buletin
SHARE THIS POST