Manusia-Manusia Digital
Judul : Aku Klik Maka Aku Ada, Manusia dalam Revolusi Digital | Penulis : F Budi Hardiman | Penerbit : Kanisius | Tebal : 279 halaman | Cetakan : Pertama, 2021 | ISBN : 978-979-21-7039-9
Dunia digital telah benar-benar merasuk dalam kehidupan kita. Fungsi dari dunia setelah yang riil dan nyata ini juga tidak bisa ditampik. Namun, bukan hanya pengaruh positif, pengaruh negatif bahkan banalitas dan paradoks di dalamnya serta-merta mengiringi.
F Budi Hardiman mendaratkan permasalahan kompleks ini secara filosofis dalam buku Aku Klik Maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital. Buku ini mempertanyakan secara fundamental siapa sebenarnya homo digitalis itu?, bagaimana fanatisme garis keras bisa merebak di dunia digital?, hingga bagaimana bertindak secara moral dengan menggunakan sentuhan klik? Buku ini juga memberi beberapa opsi alternatif dalam menghadapi budaya komunikasi digital.
F Budi Hardiman mengajak pembaca untuk berdialog dengan enteng dan mengetengahkan gagasan-gagasan dari para filsuf, masa ke masa. Beberapa pemikiran filsuf ini menjadi pintu masuknya. Seperti Martin Heidegger, Hannah Arendt, Walter Bejamin, bahkan yang paling terbaru yakni, Rafael Capurro, dan melampau ke masa silam, Aristoteles.
Buku ini pertama-tama menyoal apa dan siapa homo digitalis. Kelahirannya di panggung sejarah tentu ditopang oleh kecanggihan teknologi. Perkembangan teknologi yang maha cepat memungkinkan sebuah interaksi yang bersifat jarak jauh, artifisial, “keterlibatan tubuh raib, kehilangan trust, sulit memberi komitmen, bahkan sulit merasakan tanggung jawab”.
Sifat-sifat tadi adalah ciri khas dalam komunikasi digital. Dunia komunikatif yang artifisial semacam ini kemudian menjadi lingkungan eksistensial homo digitalis. Lingkungan tempat homo digitalis berusaha berada dan mengakui keberadaannya.
Komunikasi digital bisa disebut kunci untuk interaksi sosial masa kini. Sebuah interaksi yang (hanya) mengandalkan sentuhan demi sentuhan klik di atas layar. Kehidupan di dunia nyata pun turut ditentukan oleh—apa yang terjadi dalam—komunikasi digital.
Kedirian kita dalam dunia digital memiliki kisah tersendiri yang bisa saja berbeda dari dunia korporeal, dunia nyata kita. Boleh dikatakan bahwa “diri” kita di sana juga merupakan hasil interaksi, persepsi, konstruksi dari berbagai respons (hlm, 160).
Teknologi komunikasi dan informasi membuka cara baru dalam berinteraksi dengan perantara teknologi media digital. Seperti gawai, umpamanya. Yasraf Amir Pilliang dalam buku Dunia yang Berlari (2017) menjelaskan budaya digital menciptakan penjarakan (distanciation) dari dunia pengalaman.
Interaksi jarak jauh menggiring telepresensi (telepresence) yang memberi dampak serius pada nilai-nilai kultural, menggiring krisis khususnya pada pranata sosial, sistem etika dan nilai, yang semakin terpinggirkan. Sebut saja, seorang pecandu game online atau orang yang selalu scroll linimasa media sosialnya, menjadi kehilangan kontak secara sosial, kultural, dan moral dengan lingkungannya.
Kondisi semacam ini adalah fenomena masyarakat komunikasi yang dipersatukan oleh masyarakat jejaring. Orang yang menunduk melihat gawai, bisa dikata putus sejenak dengan realitas sosial di sekitarnya. Dalam perbincangan, ini mengakibatkan obrolan yang sering perlu diulang, gegara lawan bicara tidak memperhatikan saat sibuk mengeklik layar gawainya.
Manusia zaman sekarang memang tidak bisa tidak “hidup” tanpa gawai. Benda kecil yang bisa kita bawa kemana-mana, yang menghubungkan kita pada sebuah dunia. Tentu, ini bisa dibilang berlebihan, tapi memang begini adanya, dan tidak bisa dipungkiri.
Kita membutuhkan gawai, dari waktu ke waktu, bahkan nyaris tiap waktu, untuk melakukan kontak dalam komunikasi digital. Kita bukan hanya bertindak denganya, melainkan juga dalam dan bersamanya.
Saling terhubung (connected) menembus tapal batas ruang dan waktu menjadi ciri khas komunikasi digital. Sekat demi sekat pun menjadi bias bahkan kena tembus. Termasuk dalam urusan moralitas, budaya, agama, bahasa, dan sebagainya. Semua campur aduk jadi satu, dan melimpah ruah bak air bah.
Kemelimpahan data informasi dalam media sosial, menurut F Budi Hardiman, menimbulkan rasa ingin tahu menjadi mood harian. Ingin menonton-mendengar apa saja yang tersuguhkan dalam layar. Rasa takut ketinggalan informasi kemudian menjadi kondisi eksistensial baru yang membuatnya mendorong untuk terus berceloteh dan scroll di media sosial. Chatting menghasilkan rasa ingin tahu, dan rasa ingin tahu melahirkan sekian chatting yang lain, secara terus-menerus, dan berulang-ulang.
Kini, media teknologi informasi rupanya juga tak lagi sebatas alat. “Teknologi informasi itu sendiri bukan sekadar alat. Alat sebagai alat tetap berada dalam kendali pemakainya, tetapi smartphone dan aplikasi-aplikasi di dalamnya bisa mengontrol dan memanipulasi pikiran dan perilaku pemakainya,” tulis F Budi Hardiman.
Kekuatan teknologi, yang melampaui alat teknologi atau medium komunikasi, menimbulkan adiksi internet yang dapat menghilangkan off switch dalam otak. Orang pun sulit menenangkan diri. Tentu saja, ini berpengaruh terhadap kondisi psikologis kita.
F Budi Hardiman menulis, “bukan saja manusia saja berinteraksi dengan manusia, melainkan manusia berinteraksi dengan mesin, sehingga perilaku dan emosi manusia diarahkan dan diubah oleh semburan-semburan pesan-pesan yang direproduksi mesin.”
Dalam konteks ini, homo digitalis sejatinya menghadapi sebuah sistem-mesin yang tidak pasif, tetapi aktif, dan sudah ditata sesuai algoritma. Sistem-mesin yang secara interaktif menyodorkan saran atau unggahan yang pantas diklik oleh pengguna. Kebiasaan berselancar dengan jari ini yang tidak hanya menjadi jejak digital, tetapi juga diolah menjadi data digital berupa algoritma yang kembali tersajikan pada kita.
Data digital ini memuat tidak hanya informasi objektif, melainkan juga ungkapan-ungkapan diri manusia, seperti perasaan, pemikiran, harapan, kisah, pengakuan, sampai urusan yang personal.
Soal ini, saya jadi ingat buku Emotional AI: Kemunculan Media Empatik (2018) garapan Andrew McStay. “Apa yang kita saksikan hari ini adalah masuknya mesin dalam kehidupan publik yang mendeteksi, memetakan, dan berinteraksi dengan emosi sosial,” tulisnya.
Kondisi psikologis kita, entah disadari atau tidak, telah dipengaruhi oleh dunia digital. Jika berlebihan, kita akan mengalami ketergantungan dengan dunia digital. Selanjutnya ia menjadi “pawang” atau pengontrol kondisi psikis hidup kita.
Setelah membaca buku F Budi Hardiman ini, kita akan memandang ponsel pintar dan media komunikasi lainnya secara beda. Buku yang membuka pemahaman dan merevisi pandangan kita perihal komunikasi digital hari ini. Buku ini mengembuskan angin segar bagi kita, untuk sejenak menepi dari keriuhan dunia digital—khususnya media sosial—dan mengambil sikap yang bijak lagi bajik.
Category : resensi
SHARE THIS POST