Lingkungan dan Sejarah Terbentuknya Peradaban

slider
09 Maret 2022
|
2110

Judul: Gun, Germs, and Steel | Penulis: Jared Diamond | Penerjemah: Hendarto Setiadi & Damaring Tyas Wulandari | Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia | Terbit: Cetakan Pertama, Januari 2013 | Tebal Buku: XIV+624 halaman | ISBN: 9789799105264

Ada sebuah pertanyaan paradoks yang menggelayuti pikiran saya baru-baru ini. Ia muncul setelah saya membaca Gun, Germs, and Steel, karya professor Geografi University of California, Jared Diamond. Pertanyaan itu simple, tidak muluk-muluk, tapi untuk mendapat secercah jawaban saja diperlukan effort yang besar dan perlu perenungan mendalam. Saya bertanya, “Mengapa bangsa Indonesia bisa dijajah Belanda, bukan sebaliknya, Indonesia yang menjajah Belanda?

Saya bukan mahasiswa sejarah, bukan pula pakar di bidang itu. Namun, asumsi sejarah menyatakan penyebab negeri kincir angin itu melakukan ekspansi keluar ialah karena ingin mencari rempah-rempah. Hal ini diperkuat dengan kemajuan bidang teknologi perkapalan masa itu. Kapal yang mampu menampung ribuan orang dan penemuan kompas sebagai alat navigasi, menjadi modal mereka untuk menjelajah dan menemukan dunia baru. Juga karena sebab langsung seperti kejatuhan Konstatinopel pada 1453 yang menyebabkan bangsa Eropa kudu mencari wilayah lain untuk belanja rempah-rempah dengan harga murah. Selain itu, kita pun mahfum dalam buku sejarah tentang alasan Eropa mengolonisasi wilayah lain yang biasa disebut dengan agenda 3G: Gold. Glory, Gospel.

Namun, pertanyaan yang saya ajukan di atas membentur pertanyaan lain. Mengapa harus bangsa Eropa yang maju teknologinya, bukannya bangsa Asia, Afrika, atau Amerika zaman lampau? Mengapa kapal, kompas, dan pemerintahan yang kuat muncul lebih dulu di dataran Eropa bukan wilayah-wilayah lainnya?

Pertanyaan di atas kiranya sama dengan apa yang ditanyakan oleh Yali, seorang Papua, yang pertanyaannya menjadi sebab musabab Diamond menulis buku ini. Suatu kali, Yali bertanya dengan sederhana, “Kenapa kalian orang kulit putih membuat begitu banyak barang berharga dan membawanya ke Papua, tapi kami orang kulit hitam memiliki begitu sedikit barang berharga sendiri?”

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas bisa didapatkan dalam buku setebal 624 halaman ini. Jared Diamond membaginya dalam 19 bab, yang dibagi lagi menjadi lima bagian. Bagian pertama yang diberi nama “Dari Eden ke Cajamarca” membahas secara singkat evolusi manusia dari perpisahannya dengan garis evolusi kera, sekitar 7 juta tahun yang lalu, sampai era akhir zaman es terakhir, sekitar 13.000 tahun lalu.

Pada bagian dua, yang diberi judul “Kelahiran dan Penyebaran Produksi Pangan” menjabarkan kelahiran-kelahiran tanaman pangan pertama kali dalam sejarah berikut penyebarannya ke seluruh bagian dunia. Di sini disebutkan bahwa penyebaran pangan bervariasi di setiap bagian dunia. Ada wilayah yang mengembangkan tanaman pangannya secara mandiri, ada yang memperolehnya dari wilayah lain.

Bagian tiga, “Dari Pangan ke Bedil, Kuman dan Baja”, membahas hubungan antara tanaman pangan dengan munculnya inovasi di bidang teknologi dan struktur masyarakat manusia. Pada bagian ini dibahas sebab musabab munculnya tulisan, teknologi, bahasa, hingga struktur politik masyarakat.

Bagian empat bernama “Berkeliling Dunia ke dalam Lima Bab” menerapkan kesimpulan dari bagian dua dan tiga untuk dikorelasikan pada sejarah benua- benua di dunia dan beberapa pulau penting, seperti Australia, Papua, Afrika hingga Polinesia. Kita akan melihat berdasarkan faktor yang dijabarkan pada bagian 2 dan 3 tentang penyebab mendasar kenapa ada bangsa yang maju dan ada juga yang masih terbelakang.

Bagian terakhir, yaitu kelima berisi dua judul, pertama “Siapakah Bangsa Jepang Sebenarnya” dan kata penutup 2003: Bedil, Kuman dan Baja saat ini. Pada bagian ini kita akan dibawa menuju entitas bangsa Jepang yang unik. Menurut Diamond, mereka ialah bangsa yang asal-usulnya paling “abu-abu” dibanding bangsa-bangsa kini di dunia. Pada bagian penutup, Diamond sedikit menyukil poin-poin penting yang ada di buku ini untuk bisa diterapkan dalam beberapa bidang lain di dunia, baik bisnis maupun pengembangan organisasi.

Saya yakin masih ada yang percaya bahwa penyebab manusia diciptakan berbeda-beda di belahan bumi yang berbeda-beda pula ialah karena faktor gen dan IQ. Termasuk dalam hal kemajuan suatu bangsa dan keterbelakangan di sisi lainnya, beberapa penjelasan bilang sebabnya ada pada dikotomi “pintar” dan “bodoh” yang ada di gen mereka masing-masing. Penjelasan rasis itu kemudian dilembagakan melalui buku-buku sejarah, pemberitaan media, institusi pemerintahan hingga melalui layar kaca.

Asumsi itu ditolak keras oleh Jared Diamond. Diamond berpendapat bawa letak masalahnya bukan pada faktor genetik yang menyebabkan bangsa Eropa lebih maju dari Asia, misalnya, tetapi ada pada faktor lingkungan sebagai sebab mendasar munculnya perbedaan-perbedaan tersebut. Wilayah-wilayah yang kaya akan tanaman dan hewan pangan hasil domestikasi akan mengembangkan peradaban yang lebih awal dibanding wilayah yang miskin atau tak bisa mendomestikasi. Namun, di antara banyak daerah di sudut-sudut bumi, hanya sedikit yang mendomestikasi pangannya secara mandiri.

Para arkeolog mencatat hanya ada 9 wilayah yang memunculkan tanaman pangan awal secara mandiri. Sembilan itu ialah Bulan Sabit Subur, China, Mesoamerika, Andes, Afrika Barat dan Sahel, India, Etiopia, Amerika Serikat bagian timur serta Papua. Namun di antara sembilan daerah itu, hanya segelintir atau bisa dikatakan cuma 3 yang tanaman pangannya kaya akan karbohidrat (sumber energi utama manusia). Tiga itu antara lain : Bulan Sabit Subur (Gandum Emmer dan jelai), China (Jewawut dan Padi), dan Mesoamerika (Jagung).        

Pun dengan proses domestikasi hewan.  Sebagian mamalia besar berdaging yang lazim menjadi santapan masa kini ; Sapi, kerbau, domba dan babi, leluhur pertamanya berasal dari Asia Barat Daya. Sedangkan di wilayah Andes, kita bisa menemukan leluhur alpaka di sana.

Wilayah-wilayah di dunia yang kaya dan bisa mendomestikasi makanannya secara mandiri akan lebih cepat menciptakan peradaban dibanding wilayah lainnya. Dimulai dari lebih banyak makanan artinya lebih banyak mulut yang bisa disuapi hingga memungkinkan untuk hidup menetap. Lebih banyak orang yang tinggal di satu wilayah artinya akan ada pembagian kerja yang berujung pada pengadaan struktur masyarakat, dari suku, kedatuan, hingga negara, juga menciptakan bahasa dan tulisan untuk berkomunikasi. Adanya makanan yang melimpah juga mempercepat penemuan inovasi di bidang teknologi.

Proses ini, kata Diamond, berbeda di bagian dunia yang berbeda. Jika makanan domestiknya berkarbohidrat tinggi, maka prosesnya akan lebih mudah dan cepat. Sebaliknya, jika makanan domestikasinya miskin karbohidrat, maka proses menuju pembentukan peradaban bakal lebih sulit dan lama.

Dalam penyebarannya dari satu wilayah ke wilayah lain pun, hal ini amat bergantung pada kondisi geografis. Benua yang bentuknya dominan horizontal, berdasarkan garis lintang, seperti Eurasia, akan lebih mudah menyebarkan makanan, bahasa dan teknologinya ke wilayah lain, sebab, tak ada perbedaan iklim, ataupun topografi yang berarti.

Sedangkan bagi benua yang bentuknya condong vertikal, berdasarkan garis bujur, seperti Amerika, akan lebih sulit menyebarkan kebudayaannya sebab terhalang oleh iklim yang berbeda (semakin menjauhi garis khatulistiwa maka semakin dingin) dan topografi yang sulit untuk dilalui.

Oleh karena itulah, peradaban manusia pertama muncul di wilayah-wilayah yang bisa mendomestikasi makannya secara mandiri, seperti Asia Barat Daya dan Mesoamerika.

Buku ini sangat direkomendasikan kepada siapa pun yang suka dengan sejarah, khususnya sejarah manusia. Bahasanya ringan, tapi data-data yang dipaparkan agak njlimet dan mudah membuat bingung karena banyaknya nama-nama dan tanggal yang disebutkan. Namun, amat menarik jika ingin punya perspektif baru tentang sejarah manusia. Perbedaan pada proses peradaban manusia bukan disebabkan oleh faktor genetik, melainkan faktor lingkungan yang berbeda di setiap bagian belahan dunia.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Putra Pertama

Penulis sekarang menjadi bagian dari masyarakat yang mukim di Kel. Sampangan Kec. Gajahmungkur Kota Semarang