Kaweruh Begjo Ki Ageng Suryomentaram (2)

15 Juli 2019
|
2024

(2)

Tautan tulisan sebelumnya klik di sini.

Nalar rasional reflektif

Jika dibenturkan dengan isme-isme rasional, model berpikir Suryomentaram masuk dalam katagori nalar rasional reflektif. Berbeda dengan rasional egoistik, tipe rasional reflektif tidak saja memberikan perhatian kepada logika semata, tetapi juga pada kemaslahatan sosial. Sebagai ilustrasinya, 2+3 jika dijawab melalui rasional egoistik, maka jawabannya pasti 5. Namun, saat dijawab melalui rasional reflektif, bisa saja jawabannya 11, bisa juga 8, dan sebagainya. Model nalar rasional reflektif ini sangat bergantung pada konteks yang melingkarinya.

Lebih jauh, dalam klasifikasinya, di sini terdapat tiga nalar yang bersifat hirarkis, yaitu rasional egoistik, reflektif, dan akomodatif. Pertama, itu bisa disebut sebagai model nalar yang masih ingusan. Andai itu naik tingkat, maka sampai pada nalar level II, yaitu reflektif. Saat nalar pertama masih kaku, acuh tak acuh dengan kebenaran lain, maka nalar kedua lebih bisa menerima kebenaran di luar dirinya. Kemudian keduanya mencapai puncaknya pada nalar rasional akomodatif. Pada tataran nalar tertinggi ini, orientasinya bukan lagi benar atau salah, tetapi pada sesuatu yang melebihi keduanya, yang melebihi kebenaran. 

Keinginan     

Berbicara tentang kebahagiaan, kiranya ada satu kata yang tidak bisa terlepas darinya, yaitu “keinginan”. Tidak saja Budha yang usai memasukkannya dalam draft “beberapa hal yang menghambat kebahagiaan”, tetapi juga Al-Farabi dengan konsep “daya gerak jiwa” nya yang tidak lain adalah manifestasi dari keinginan. Selain itu, hadir pula Al-Ghazali yang menganalogikan “keinginan” manusia menjadi salah satu unsur yang tidak bisa tidak terdapat dalam diri manusia, yaitu hewan.

Mengetahui ini, tidak heran jika Suryomentaram tidak meluputkan perhatiannya pada satu kata ini. Dengan sedikit berbeda, Suryomentaram memosisikan “keinginan” dalam posisi yang cukup penting, yaitu sebagai pihak yang menyetir manusia. Menurut Suryomentaram, sesuatu yang menyetir bagaimana manusia bukanlah akal sebagaimana Al-Farabi dan bukan juga hati layaknya Al-Ghazali, tetapi, itu adalah keinginan. Keinginanlah yang menyetir kehidupan manusia. Bagi Suryomentaram, akal hanya berfungsi untuk memberikan justifikasi-justifikasi.

Selepas dipahami bersama bahwa “keinginan” lah yang berkuasa dalam diri manusia, di sini Suryomentaram menawarkan satu solusi supaya hal tersebut bisa dikontrol. Adalah tawaran untuk sebisa mungkin menghindari kata “pokoknya”. Maksudnya di sini adalah kita boleh saja memiliki keinginan, namun tidak usah mematok dengan yakin kalau keinginan tersebut pasti tercapai, apalagi sampai mati-matian. Atau mungkin, istilah lainnya adalah “tidak usah menghargamatikan keinginan”. Andai apa yang kita inginkan terpenuhi, alhamdulillah, andai tidak, ya sudah.

Tak berhenti di sini, rupanya Suryomentaram juga mengklasifikasikan tiga model atau wujud dari keinginan. Yaitu mencari semat, mencari derajat, dan mencari keramat. Dalam wilayah ini, setiap orang memiliki wujud keinginannya masing-masing, ada yang cukup dengan satu dan ada juga yang semua. Pertama, bisa kita ilustrasikan sebagai kecantikan, kekayaan, dan semacamnya. Kedua, bisa kita contohkan seperti kebanggaan, posisi, keutamaan, dan lainnya. Terakhir, itu bisa berwujud pengakuan atau pujian dari orang lain. Bagi Suryomentaram, keinginan manusia tidak keluar dari tiga tersebut. Saat seseorang berhasil mengontrol diri terkait tiga hal di atas, maka tidak sulit baginnya untuk meraih begjo, begitu juga sebaliknya. Ketiga model keinginan tersebut, boleh saja dicari, tetapi yang penting “tidak dihargamatikan”, ungkap Suryomentaram.

Mulur dan mungkret

Di samping itu semua, Suryomentaram juga memandang bahwa “keinginan” itu sifatnya mulur dan mungkret atau memanjang dan memendek. Ketika keinginan seseorang tercapai, pasti itu akan mulur atau pasti akan menginginkan kembali dengan porsi yang lebih. Sebagai ilustrasinya, seorang jomblo lama yang baru saja mendapatkan pasangan, bisa dipastikan, selepas beberapa bulan, dia akan mencari tambatan hati lainnya yang menurutnya lebih sempurna dari yang dimilikinya sekarang. Pada awalnya, dia berkeinginan hanya untuk memiliki pacar, tetapi selepas memilikinya, dia tidak berhenti di situ, tetapi malah ingin mencari lainnya. Kira-kira demikian. Keinginan manusia saat tercapai, pasti akan mulur, tidak ada habisnya.

Namun, saat keinginan seseorang tidak tercapai, berbalik arah dengan yang di atas, keinginan tersebut akan mengkeret, surut, dan memendek. Masih dalam contoh yang sama, semisal saja jomblo lama tadi berkeinginan memiliki pasangan yang cakep, baik, rambut lurus, smart, keturunan kiai, dan paham banyak teori sosial, maka bisa diramalkan dia akan menurunkan keinginannya tersebut saat itu tidak tercapai. Mungkin selepas benar-benar tidak tercapai, dia akan mengganti pasangan idamannya menjadi yang penting lawan jenis, hidup, dan mau diajak macul.

Sederhananya, melalui dua sifat keinginan mulur-mungkret ini, Suryomentaram ingin menyampaikan bahwa baik itu kesenangan ataupun kesedihan modenya adalah sementara. Sehingga amat sangat tidak penting jika kita galau luar biasa gegara IP yang tidak sampai angka 3,99 atau sebab hanya memiliki pacar yang tidak bisa dandan, tidak putih, rambut keriting, dan lama dalam berpikir.

Satu lagi, kata Suryomentaram, kita penting pula untuk selalu ingat bahwa hal semacam ini—keinginan yang mulur-mengkeret—bukan saja terjadi pada diri kita, tetapi juga pada orang lain. Untuk itu, ruang kita untuk sombong dan iri semakin sempit atau bahkan sudah sama sekali tidak ada ruang, sebab pada dasarnya semuanya memang hanya rentetan dari kesementaraan-kesementaraan yang seakan abadi. Walhasil, selepas kita bisa memahami semua ini yang tidak lain juga terjadi dalam diri kita sendiri, maka implikasinya pada sikap yang selalu tenang, tentram, dan nyaman. Serikuh apapun keadaan, cobalah untuk tetap tenang.

Sumber neraka dunia

Dalam keadaan tertentu, Suryomentaram menghimbau kepada kita semua untuk sebisa mungkin menghindari empat hal yang olehnya disebut sebagai sumber neraka dunia. Sebagaimana konsep negasi, empat hal ini harus difungsikan secara terbalik supaya seseorang bisa memeluk begjo. Empat hal tersebut adalah iri, sombong, getun, dan sumelang. Iri penting untuk dihindari sebab hal tersebut tidak memuat apapun kecuali perasaan minder, kalah, dan lebih rendah. Poin ini terjalin erat dengan poin kedua, sombong. Kalau pertama merasa lebih rendah, maka yang kedua merasa lebih tinggi. Menurut Suryomentaram keduanya perlu untuk dihindari dan secara bersamaan ia menganjurkan agar siapapun penting untuk berusaha sebisa mungkin memosisikan dirinya setara dengan lainnya, tidak lebih rendah dan tidak lebih tinggi. Sebab hanya dengan itu, simpul Suryomentaram, kebahagiaan bisa diraih.

Adapun untuk poin ketiga dan keempat adalah berbicara tentang betapa tidak perlunya kita meratapi atau getun terhadap masa lalu dan khawatir atau sumelang dengan masa depan. Mengenang masa lalu boleh saja, asalkan tidak sampai pada meratapinya. Begitu juga dengan masa depan, merencanakan masa depan itu baik, asalkan tidak sampai pada kekhawatran akan ini, itu, tidak tercapai, kecewa, dan sebagainya. Untuk yang paling belakang, sumelang, ini tertaut dengan apa yang usai didiskusikan di awal tadi tentang bagaimana tidak pentingnya kita menghargamatikan keinginan. Pendek kata, dari empat poin negasi ini, yang perlu kita lakukan dengan kehidupan ini adalah cukup menikmati apa yang ada SAAT INI dan fokus dengan apa yang ada SEKARANG—dan pada titik inilah seseorang bisa menemukan momentum tabah dan tatak.

Meruhi gagasane dewe

Melalui istilah meruhi gagasane dewe ini, sebenarya yang ingin disampaikan Suryomentaram adalah tentang tidak pentingnya atribut-atribut dalam kehidupan. Suryomentaram menyebut atribut tersebut dengan istilah tenger atau lebih lengkapnya, ia memimpikan satu manusia tanpo tenger. Yaitu mereka yang usai berhasil melepaskan semua belenggu topeng-topeng kehidupan kemudian pure menjadi manusia otentik. Pemikiran Suryomentaram yang seperti ini tidak bisa lepas dari asumsi dasarnya bahwa apapun yang tidak penting tidak perlu dipertahankan, apalagi dipelihara. “Buang semua yang tidak penting”, ungkap Suryomentaram.

Nyawang diri

Nyawang diri di sini adalah bagaimana kita penting untuk selalu berusaha memahami diri sendiri, menguasainya, dan kemudian mengontrolnya. Dari polanya, ini terkait dengan postulasi Suryomentaram di atas tadi bahwa yang mengontrol manusia adalah keinginannya. Dengan lain ucapan, sebagai alternatif langkah saja, kita perlu memahami diri kita terlebih dahulu, menguasainya, baru bisa menginjak level mengontrol.

Lebih konkritnya, di sini Suryomentaram mengklasifikasi tiga tahapan tentang itu, yaitu proses nyawang karep, ngontrol karep, dan membebaskan diri dari karep. Di tahapan nyawang, seseorang masih perlu untuk berlatih memahami siapa dirinya, apa tujuannya di sini, mengapa di sini, dan sebagainya. Selepas lolos di tahap tersebut, baru dia bisa masuk tahapan ngontrol. Di tahapan ini, dia sudah mulai bisa intens berjuang melawan karap dan tidak jarang memenangkannya. Terakhir, setelah seseorang terbiasa menang melawan karep, maka yang ada dalam dirinya hanyalah karep yang usai ditaklukkan dan bahkan bisa dimanfaatkan.

Mengenai ini pula, Suryomentaram berpikir tentang beberapa tingkatan manusia. Baginya, manusia memiliki empat tingkatan. Adalah juru catet, tingkatan dasar yang belum bisa memahami apapun dan hanya bisa mencatat; catetan, mulai bisa memahami dan menentukan sendiri; krodomongso, mereka yang sudah ada perasaan egois; dan menungso tanpo rogo, yaitu mereka yang usai mencapai kebahagiaan puncaknya.

Syarat nikah

Dari sepanjang pemikirannya di atas yang bisa disebut serius, rupanya Suryomentaram juga memiliki sisi humor. Ini bisa kita lihat dari bagaimana ia memandang bahwa seseorang baru bisa nikah selepas memenuhi lima syarat, yaitu sama-sama manusia, sama-sama hidup, mendapatkan yang lawan jenis, sama-sama dewasa, dan sama-sama mau. Untuk yang pertama maksudnya adalah bahwa kita dianjurkan untuk mencari pasangan yang memang benar-benar memiliki karakter manusia—yang oleh Al-Ghazali, manusia yang manusiawi adalah perpaduan antara hewan, setan, dan malaikat, bukan salah satunya atau dua darinya. Kedua, itu merupakan simbol gairah: carilah pasangan yang memiliki gairah atau semangat untuk hidup. Ketiga, maksudnya adalah carilah pasangan yang memiliki karakter lelaki bagi lelaki dan karakter perempuan bagi perempuan. Keempat, merupakan simbol atas pentingnya kita mencari pasangan yang tidak kekanak-kanakan dan yang terakhir, sama-sama mau, tidak lain adalah anjuran untuk menikahi pasangan yang sudah siap, baik secara mental ataupun lainnya.

Adapun apapun di luar ini, sambung Suryomentaram, maka kembalilah pada konsep enam "sa": sabutuhe, saperlune, sacukupe, sabenere, samesthine, dan sapenake.


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Saifullah Muhammad

Cah santri Ngaji Filsafat. Asal Kerek, Tuban. Tinggal di tepian Kali Gajah Wong Yogyakarta sejak 2013. Menyukai brokoli goreng. Sering rindu pada bau rumput yang baru dipotong.