Jus Kurma, Ngaji Filsafat, dan Kritik Bagi Kita

slider
slider
23 Oktober 2019
|
1093

Kemarin malam saya menerima paket kiriman dari Paxel. Tepat jam 21.02 WIB petugas yang mengantar paket menghubungi saya, “Malam kak ini dari paxel. Apakah paket jus kurma bisa saya antar sekarang?” Karena memang sebelumnya saya sudah diberi tahu bila akan ada paket yang sampai malam itu, jadi saya sudah stay di indekos menunggu paket tiba.

Bila sebelumnya menikmati kurma itu hanya dimakan begitu saja, tetapi sekarang kurma diolah dalam bentuk jus. Tentu ini merupakan hasil pikiran kreatif manusia. Kurma yang apa adanya kemudian didialektikakan dan didialogkan dengan realita maka lahirlah ide kebaruan. Kalau dalam bahasa para pengusaha adalah inovasi itu merupakan ruh dalam bisnis.

Membaca inovasi jus kurma (dan lainnya) secara kritis

Sesaat usai menikmati jus kurma, pikiran saya kemudian dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan. Apa ya yang biasa dipikirkan orang jika ada sesuatu yang baru hadir di hadapan mereka? Jawaban yang dibunyikan oleh kesadaran akal masing-masing barangkali begitu beragam. Dari bekal pengalaman belajar selama di Yogya, sih, saya mulai sedikit mafhum bahwa variasi jawaban ini tentu tidak bisa dipisahkan oleh ruang (beserta diskursus antar obyek-obyek, subyek-subyek, obyek-subyek, dan subyek-obyek di dalamnya) di mana seseorang berada. Jika digeneralisasi apa yang dipikirkan orang terhadap sesuatu yang baru, kesimpulan saya bahwa seseorang tentu ada yang hanya menikmati saja tanpa ribet bertanya dan ada juga seseorang yang mempertanyakan bahkan mengejar makna dibaliknya. Dalam hal terakhir ini, saya mencoba menghidupkan tombol fitrah diri saya sebagai manusia. Apa itu? Yaps, curiosity (rasa ingin tahu). Kalau membaca buku Sebelum Filsafat Pemahaman Awal Untuk Para Peminat Filsafat (2019) di situ bahkan Pak Fahruddin faiz menyimpulkan bahwa rasa ingin tahu itu adalah modal awal berfilsafat.

Pertanyaan yang berkeliaran di alam pikiran saya di antaranya: Kok bisa sampai punya ide kurma dijadiin jus ya? Apa tidak cukup makan kurma ditemani air putih toh? Bagaimana ide dari kurma diolah jadi jus itu berdialektika ya? Mengapa harus jus mengapa tidak yang lainnya? Tentu masih dipertanyakan lagi dan lagi semakin rasa ingin tahu itu menjadi jadi.

Nah, dalam hal itu saya teringat tulisan Thomas S. Kuhn. Dalam filsafat ilmu, lahirnya ide kebaruan dalam hal jus kurma di atas, setelah saya renungkan beberapa saat, seperti mengamini rumusan yang dihadirkan oleh Thomas S. Kuhn mengenai revolusi sains. Dalam buku The Structure of Scientific Revolution (1996), Kuhn secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa penemuan yang baru itu lahir karena penemuan sebelumnya belum bisa memberi jawaban seperti yang diharapkan. Sederhananya adalah bahwa paradigma lama mengalami anomali yang menjadi embrio lahir (dilahirkan)-nya  paradigma pandangan yang baru. Setelah saya timbang-timbang beberapa variabel tersebut, saya jadi punya keyakinan bahwa kurma apa adanya seperti paradigma lama yang lama-kelamaan mengkonsumsi kurma apa adanya sudah seperti halnya sebuah bentuk anomali yang kemudian diinovasikan menjadi berbagai olahan sebagai bentuk paradigma baru. Saya pikir-pikir pola nalar epistemnya, iya juga ya.

Satu botol jus kurma sudah saya minum habis. Masih tersisa satu lagi, tetiba diri saya kembali membatin, entah apa yang merasukinya. “Wah, jika dari kurma lalu diinovasikan menjadi jus kurma berarti ini sama halnya berhasil keluar dari hegemoni (dominasi) mengenai kurma selama ini, dong . Hmmm apik ini.”

Dari jus kurma saja ternyata banyak hal yang saling berkelindan di dalamnya. Itu mengajak kita untuk memasuki bukan hanya wilayah paradigmanya Kuhn, hegemoni ala Gramscitetapi juga bisa sampai pada historically effected consiousness (kesadaran keterpengaruhan oleh sejarah) ala Gadamer, bahkan dari persoalan jus kurma akan mengantarkan pada ajakan untuk menangkap makna dan mengembangkannya dalam ruang sosial versi Gracia.  

Ketika Ngaji Filsafat mengkritik kita

Semalam seorang teman menghubungi, “Besok kamu ikut Ngaji Filsafat?” Pertanyaan tersebut mula berawal dari komentar saya mengenai foto di story WhatsApp milik teman saya itu. Karena ia sekarang sudah kelar tesis, tentu sesekali ingin meluangkan waktu ikut melantai bersama para santri ngaji lainnya.

Tentu saya tidak bisa ketinggalan, kawan”, balas saya. Kemudian saya mendengar ceritanya bahwa Ngaji Filsafat (baik melalui rekaman, tulisan, maupun potongan-potongan video di media sosial) sudah sampai ke berbagai daerah di nusantara, termasuk di Bima, tempat kelahiran kami.

Dari situ kemudian saya mengatakan bahwa kadang peserta ngaji ada yang dari luar Yogya. Mereka sengaja hadir ikut langsung Ngaji Filsafat karena ingin merasakan suasana tajarrud sekaligus tawajjud di dalamnya. Diujung percakapan kami melalui aplikasi WhatsApp, teman saya dengan bersemangat mengatakan, “Semoga kita bisa bertemu di Ngaji Filsafat nanti malam dan seterusnya.”

Mengapa kemudian orang-orang terus berbondong-bondong ke Masjid Jendral Sudirman untuk mengikuti Ngaji Filsafat secara offline, bahkan banyak yang tidak mau ketinggalan mendengarkan ngaji secara online—meski harus menunggu sampai akhirnya rekaman diunggah—adalah pertanyaan penting. Berkaca pada pengalaman saya selama mengikuti Ngaji Filsafat, para santri ngaji sekarang lebih banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan fenomena demikian, mendorong saya menjelajah atomik-atomik variabel yang siapa tahu itu bisa disambung menjadi jawaban yang komplit (untuk sementara).

Jawaban saya: ini karena pengampu Ngaji Filsafat, yaitu Dr. Fahruddin Faiz yang penuh kesabaran dan kegembiraan sejak dari mengawali ngaji, cara membahas, dan membahasakan tema ngaji yang diangkat seobjektif mungkin tanpa menghakimi; squad Masjid Jendral Sudirman yang melayani sepenuh hati dan jiwa raga; dan para peserta ngaji sendiri yang berada dalam arah yang harmoni dan fleksibel. Semua unsur-unsur tadi memiliki peran penting. Semua itu mewujud dalam Ngaji Filsafat. Setidaknya itu adalah hipotesis sementara saya.

Membaca secara kasar apa adanya ‘teks’ yang terpampang dari wacana ‘Ngaji Filsafat’ saja belum sepenuhnya akan mampu menuntun kita pada kebenaran yang (setidaknya) mendekati obyektif, tetapi kita juga perlu melihat sisi meaning yang tersembunyi di balik bangunan-bangunan teks yang baku. Lewat penelusuran teropong meaning, Ngaji Filsafat ini menjadi kritikan tajam bagi kita.

Dari sisi mana kritik ini berada? Filsafat (lebih tepatnya berfilsafat) seringkali dipandang tabu oleh sebagian muslim. Nah bagi yang berpandangan seperti itu tentu dengan melihat Ngaji Filsafat, di masjid lagi, adalah kritikan tajam bagi mereka. Selain itu gelaran Ngaji Filsafat juga menjadi kritikan tajam bagi yang berasumsi bahwa belajar filsafat bisa mengikis keimanan. Tetapi fakta yang terlihat di Masjid Jenderal Sudirman malah sebaliknya, yakni peserta setiap waktu semakin banyak. Itu bisa menjadi salah satu variabel bahwa keinginan ingin mencari kebenaran berkorelasi dengan keimanan, bahwa pemilik kebenaran tertinggi adalah Allah.

Apakah yang sudah saya jelaskan itu bisa jadi menjelma sebagai kritik yang menggusur kenyamanan status quo kita dalam mendiami paradigma lama? Atau malah sebaliknya tidak bernilai kritik? Mari kita refleksikan.


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ismail

Mahasiswa Pascasarjana Interdisciplinary Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga, Santri Ngaji Filsafat