Jangan Sisakan Makanan
Hampir semua orang tahu bahwa menyisakan dan membuang makanan bukanlah perilaku terpuji. Saat kita kecil, orang tua sering mengingatkan, “Kalau nasinya tidak dihabiskan, nanti nasinya nangis.”
Ada juga ungkapan-ungkapan lain dalam bahasa daerah yang mengajarkan supaya tidak membuang makanan. Bahkan, ada mitos yang mengaitkan perihal membuang makanan dengan akibat buruk yang akan diterima.
Serupa itu, di Jepang ternyata juga ada kebiasaan orang tua mengingatkan anaknya dengan berkata, “Mottainai!”. Ungkapan Jepang kuno ini menyampaikan terima kasih sekaligus rasa malu jika meninggalkan sisa butiran nasi atau makanan lainnya di mangkuk mereka.
Menurut mitos Jepang, jika ada anak yang membuang makanan, maka roh jahat akan datang ke anak tersebut.
Meskipun sudah ditanamkan sejak kecil, ternyata tidak menjamin suatu nilai hidup akan tetap dipertahankan hingga dewasa. Ada banyak faktor yang mempengaruhi. Perpindahan dari desa ke kota di antaranya telah mengubah cara orang melihat sesuatu.
Dalam suasana desa, manusia hidup menyatu dengan alam. Ada penghayatan bahwa makanan berasal dari alam, dan alam telah begitu baik untuk selalu menyediakan berbagai kebutuhan manusia. Sebab telah mengambil banyak dari alam, manusia perlu berterima kasih dan menghargai alam. Membuang makanan adalah wujud tidak bersyukur dan tidak menghargai alam.
Dalam suasana urban, nilai-nilai hidup bersahaja telah berganti. Situasi ketersediaan makanan yang berlimpah atau kemudahan mendapatkan akses makanan, salah satunya.
Orang merasa tidak ada kerugian yang berarti jika tidak menghabiskan makanan. Bahkan, sesama orang dewasa sering merundung orang yang memakan makanannya sampai habis, dengan sebutan si rakus. Atau kalimat bercandaan yang familiar dalam persamuhan di tempat makan, “Pesan makanan apa saja, yang penting mahal”.
Masyarakat modern didorong untuk terus-menerus mengkonsumsi tanpa henti. Ada dorongan untuk membeli, memiliki, menguasai, dan merasakan. Seolah ada tuntutan untuk mencoba aneka jenis makanan di berbagai restoran. Jika ada yang belum dicoba, merasa ketinggalan zaman.
Sementara itu, industri makanan bekerja dengan terus berinovasi menciptakan varian jenis makanan baru setiap harinya. Inovasi itu ditujukan untuk membunuh kebosanan atau sesuatu yang rutin.
Manusia urban hidup dengan prinsip untuk senantiasa mengejar hal-hal baru yang ditawarkan oleh perusahaan makanan. Manusia modern hidup untuk selalu memiliki lebih atau merasakan lebih.
Jika hari ini sudah merasakan makanan jenis tertentu, maka besoknya ia mengejar untuk merasakan jenis lainnya. Jika hari ini sudah merasakan makanan sejenis di tempat tertentu, maka besoknya ia ingin merasakan sensasi makan di tempat berbeda. Setelah merasakan jenis atau tempat makan lainnya, ia kembali ingin merasakan jenis atau tempat terbaru lainnya.
Hampir semua kebudayaan mengenal kearifan untuk menahan diri. Ada ajaran supaya makan secukupnya atau sesuai kadar kecukupan. Pepatah Jawa mengatakan, “Lerena mangan sakdurunge wareg” yang mengingatkan tentang prinsip berhenti makan sebelum kenyang.
Prinsip ini menjadi penting untuk mengontrol diri ketika makan. Kita sering menyaksikan gejala orang yang terus-menerus makan meskipun tidak lapar atau meskipun sudah kenyang.
Makan merupakan aktivitas alamiah manusia. Keinginan makan dimulai dari rasa ingin atau nafsu atau selera makan yang timbul. Keinginan untuk makan di saat kenyang dan lapar tentu berbeda. Saat lapar, dorongan makan merupakan respons biologis tubuh terhadap kekurangan atau kebutuhan makanan.
Sementara saat tidak lapar, keinginan makan murni untuk memenuhi nafsu. Nafsu makan di saat tidak lapar ini sering tidak diimbangi dengan kemampuan mengelola porsi makanan yang dibeli atau diambil.
Akibatnya, orang sering tidak mampu menghabiskan makanannya. Baru makan beberapa suap, ia sudah kenyang, dan lalu menyisakan makanan.
Sisa sampah makanan telah menjadi salah satu masalah besar dunia. Organisasi Pangan Dunia (FAO) menyebutkan, sekitar sepertiga atau 1,3 miliar ton makanan yang diproduksi di dunia setiap tahunnya terbuang sia-sia.
Sementara itu, nilai Indeks Kelaparan Dunia pada 2019 masih di angka 20, yang menunjukkan banyak negara mengalami kekurangan makanan atau kelaparan serius, seperti dialami Chad, Madagaskar, Zambia, Liberia, Haiti, hingga Zimbabwe.
Dalam konteks ini, membuang makanan sama artinya dengan mencuri dari orang miskin yang kelaparan.
Di Indonesia, hampir 13 juta ton makanan terbuang setiap tahunnya. Padahal, jumlah tersebut dapat memberi makan 28 juta orang, yang setara dengan angka kelaparan di Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, selama periode 2000-2019, jumlah sampah makanan di Indonesia mencapai 23-48 juta ton per tahun. Limbah makanan itu menyebabkan kerugian ekonomi 213-551 triliun rupiah per tahun.
Negara religius tidak menjamin warganya lebih menghargai makanan. Laporan Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2017 menyatakan bahwa Indonesia berada di peringkat kedua penghasil sampah makanan terbesar di dunia, setara 300 kilogram makanan sisa per orang per tahun.
Peringkat pertama diduduki Arab Saudi yang menyumbang 427 kilogram makanan per orang setiap tahunnya. Adapun Amerika yang dikenal sebagai negara yang berbudaya konsumtif, warganya membuang 277 kilogram makanan per kapita.
Di antara alasan Indonesia dan Arab Saudi menjadi penyumbang sisa makanan terbesar adalah karena punya banyak tradisi pesta makan. Dalam sebuah jamuan pesta pernikahan yang menyediakan makan prasmanan dengan ragam jenis makanan, setiap tamu ingin mencicipi semua yang disediakan.
Ragam menu makanan tampak semuanya menggiurkan. Si tamu didorong untuk memenuhi keinginan merasakan semuanya. Namun apa daya, ia kenyang sebelum menghabiskan porsi makanan yang sudah diambil. Dan makanan itu, berakhir di tempat sampah.
Masih mendingan, jika sisa makanan itu dimanfaatkan untuk hewan peliharaan seperti ayam atau bebek. Di kawasan urban, tidak banyak yang memelihara unggas. Masih mendingan, jika sisa makanan itu diolah menjadi kompos untuk menyuburkan tanah atau sumber energi terbarukan.
Namun, banyak sampah makanan itu hanya berakhir di pembuangan dan bercampur dengan sampah tidak terurai lainnya. Makanan yang berbaur dengan sampah lainnya ini menimbulkan reaksi anaerobik yang menghasilkan metana beracun dan berbahaya bagi lapisan ozon.
Agama mengajarkan etika makan. Aktivitas makan bukan sekadar untuk mengisi perut atau memenuhi keinginan nafsu, melainkan suatu aktivitas yang bernilai tinggi.
Perihal makan, agama memiliki petunjuk tentang apa yang dapat dimakan, bagaimana cara memperoleh makan, bagaimana mengolah makanan, bagaimana cara makan, hingga kapan waktunya makan. Sebelum makan, ada anjuran berdoa dan berterima kasih kepada Sang Pemberi. Ada juga ajaran untuk berbagi makanan.
Belakangan, ada gaya hidup makan dengan kesadaran penuh (mindful eating), yang mulai digemari kalangan anak muda. Ajaran ini mengajarkan cara memperlakukan makanan dengan baik.
Makan dengan penuh penghayatan guna menikmati makanan, memaknai setiap suap makanan, tidak makan secara tergesa-gesa, tidak diselingi dengan kegiatan lain. Juga merasa cukup dengan apa yang dimakan dan bersyukur kepada sang pemberi makanan.
Makan dengan kesadaran penuh dan dengan perlahan ini membuat kita mengunyah dengan baik, menikmati setiap gigitan, dan merasakan tekstur makanan yang dikonsumsi.
Lebih dari itu, makan perlahan juga membuat kita lebih menghargai makanan, menghargai petani yang menanam serta semua yang terlibat hingga makanan sampai di piring kita.
Pada akhirnya, meningkatkan kepuasan makan dan perasaan cukup, membuat kenyang lebih lama dan tubuh lebih sehat.
Allah berfirman, “Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS. Al-A’raf [7]: 31).
Di ayat lain, “Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros itu adalah saudara setan” (QS. Al-Isra [17]: 26-27).
Nabi Saw juga mengingatkan tentang sifat dasar manusia yang tamak, “Seandainya manusia diberi satu lembah penuh dengan emas, ia ingin yang kedua. Jika ia diberi yang kedua, ia ingin lagi yang ketiga. Tidak ada yang bisa memenuhi isi perutnya selain tanah”.
Category : buletin
SHARE THIS POST