Ibrahim M. Abu Rabi': Mendialogkan Berbagai Perspektif dalam Memahami Islam

slider
09 Juni 2020
|
1649

Ibrahim M. Abu Rabi’ lahir pada 1956 di Nazareth, Palestina dan meninggal karena serangan jantung mendadak saat menghadiri konferensi pada 2011 di Amman, Yordania. Dalam perjalanan hidupnya, Abu Rabi’ dikenal sebagai seorang Profesor Studi Islam di Universitas Alberta, Edmonton, Kanada, dan Ketua Dewan Komunitas Muslim Edmonton. Minat kajiannya adalah hubungan Timur Tengah dan Internasional.

Abu Rabi’ menulis disertasi berjudul Islam dan Mencari Tatanan Sosial di Mesir Modern: Biografi Intelektual Syaikh al-Azhar ‘Abd al-Halim Mahmud. Abu Rabi’ juga memiliki minat khusus dalam studi dan praktik dialog antaragama antara tradisi agama Islam dan Kristen. Selain karyanya mengenai dialog antaragama, ia juga mengkhususkan diri dalam masalah pemikiran Islam kontemporer, khususnya terkait dengan agama, masyarakat, dan mistisisme.

Sebagai penggagas kajian Islam historis, Abu Rabi’ menyatakan bahwa kejayaan Islam pada abad ke-15 dan ke-16 adalah ketika tiga kerajaan besar masih berjaya; Kerajaan Uthmani di Turki, Kerajaan Safavid di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Namun, kejayaan umat Islam mulai melemah pada awal abad ke-19 lantaran stagnasi otoritas pusat dalam melakukan modernisasi sebelum kebangkitan bangsa Eropa dan ekspansi Eropa ke dunia Islam.

Baca juga: Muhammad Arkoun: Sinergitas Islam dan Ilmu-Ilmu Sosial

Dalam merespon kolonialisme bangsa Eropa terdapat banyak pandangan. Bila dijabarkan, terdapat tiga hal yang harus dilakukan, yakni modernisasi, nasionalisasi, dan revivalisasi. Tiga hal inilah kemudian yang menciptakan sejarah Islam modern. Dari tiga hal tersebut kemudian muncullah di dunia Islam kelompok-kelompok keagamaan yang disebut dengan Islamic revivalism.

Dari berbagai macam bentuk pemikiran yang muncul, kemudian perlu dibedakan antara pemikiran Islam dan Islam. Pemikiran Islam adalah semua bentuk cabang keilmuan yang berkembang di masyarakat Islam, seperti halnya Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, Kalam, Fikih, dan Tasawuf. Sementara itu, Islam adalah suatu ajaran yang bersifat absolut. Karena itu, ketika berbicara tentang Islam, sangat penting mengemukakan beberapa pemikiran.

Pertama, bahwa Islam telah menjadi persoalan filsafat, teologi, ideologi di dalam Arab modern dan pemikiran umat Islam. Beberapa orang menyatakan mengenai validitas Islam resmi (official Islam), sementara yang lain berbicara tentang Islam populer (popular Islam). Artinya, dapat ditemukan Islam yang bermacam-macam dari sisi antropologis. Kedua, bahwa pemikiran Islam secara teologis sudah banyak dipengaruhi oleh politik. Ketiga, bahwa Islam juga telah dikaji melalui pendekatan teks.

Karena itu, Abu Rabi’ menawarkan perlunya bantuan ilmu-ilmu sosial bagi para pengkaji ilmu-ilmu keislaman guna mempertajam analisis mengenai fenomena yang terjadi di dunia Islam. Hal inilah yang sering diabaikan oleh para pelajar muslim, terutama mereka yang belajar mengenai hukum Islam. Sosiologi adalah ilmu yang menggambarkan mengenai keadaan masyarakat secara lengkap, dari sisi struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling terkait.

Dengan ilmu ini, kemungkinan besar fenomena sosial dapat dianalisa melalui beberapa faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial, dan keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut. Dalam hal ini, Sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami Islam, sebab banyak ajaran Islam yang terkait dengan problematika sosial.

Sulit memang menjelaskan apa yang dimaksud dengan a social scientific approach, namun paling tidak terdapat beberapa faktor yang dapat menunjukkan adanya elemen-elemen dari pendekatan ilmu-ilmu sosial tersebut.

Pertama, keyakinan tentang adanya kemungkinan dan hasrat untuk bersikap objektif terhadap kekuatan yang membentuk perilaku manusia. Kedua, kecenderungan untuk mendekati kajian mengenai manusia dengan membagi aktivitas mereka ke dalam segmen-segmen yang berlainan.

Hilangnya ilmu-ilmu sosial dan filsafat dari lapangan ilmu syariah dapat dilihat dari fakta, bahwa kabanyakan pelajar dari dunia Islam (Timur), yang mendapatkan kesempatan untuk belajar ke Barat, lebih belajar mengenai ilmu-ilmu pasti dan administrasi bisnis, yang bebas nilai. Mereka beranggapan bahwa ilmu-ilmu keagamaan irrelevant. Bahkan di antaranya ada yang beranggapan bahwa ilmu Sosiologi Agama merupakan ilmu yang bisa membawa pengkajinya ke dalam bid’ah.

Menurut Abu Rabi’, kajian Islam kontemporer kiranya perlu diperkaya dengan berbagai macam perspektif. Setidaknya terdapat empat perspektif yang saling terkait satu sama lain.

Pertama, ideologis. Islam dapat menjadi kekuatan pasif, namun juga bisa menjadi kekuatan yang revolusioner. Islam juga dapat menjadi sarana kemajuan, namun juga dapat menjadi sarana legitimasi kesenjangan sosial.

Kedua, teologis. Islam dapat dipandang sebagai sistem kepercayaan yang terbuka. Dalam artian, seseorang dapat memahami watak teologis Islam secara historis, khususnya Yahudi dan Kristen, atau melihat Islam dari pandangan teologis yang inklusif, yakni keesaan Tuhan.

Ketiga, nash. Al-Qur’an dan hadis membentuk pondasi tekstual Islam, pondasi utama teologi Islam. Karena itu, sejak awal kemunculannya, Islam memiliki hubungan dialektis antara teks dan sejarah manusia.

Keempat, antropologis. Islam adalah fakta antropologis yang cukup luas. Islam memang mempunyai corak ajaran yang normatif, namun dalam perjalanannya Islam kemudian mendorong lahirnya tradisi politik, filsafat, literer, sosial, dan kultural yang cukup kompleks, yang hingga saat ini masih populer diimplementasikan orang-orang Islam.

Karena itu, seorang ulama atau para pemimpin organisasi keagamaan, sebaiknya selalu mempertimbangkan dan mendialogkan berbagai macam perspektif dalam memahami Islam. Dalam artian, metode dan pendekatan kajian Islam memerlukan corak pemikiran yang bersifat multidisipliner, transdisipliner, dan interdisipliner. Melihat Islam dari sisi multiperspektif dalam hal ini dimaksudkan untuk dapat melihat problem secara menyeluruh dari berbagai sudut.

Maka dari itu, Abu Rabi’ menginginkan lahirnya para pemikir dan pengkaji Islam yang mampu mengatasi berbagai macam persoalan umat Islam kontemporer. Pemikir dan pengkaji yang tidak terikat dengan kepentingan politik dan memiliki kemauan yang tinggi untuk menjadi pejuang toleransi.


Category : keilmuan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

A. Fikri Amiruddin Ihsani

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. Gusdurian Surabaya