Ibn Thufail dan Roman Hayy ibn Yaqzan

slider
slider
slider
24 Maret 2020
|
3096

Negeri Andalusia yang menjadi basis Islam di dunia Barat memang penuh pesona. Pesona itu tidak hanya lahir dari kota-kota indah yang dibangun di bawah Kerajaan Berber tetapi juga pesona ilmu pengetahuan yang dilahirkan para cendekiawan Islam Barat. Dari pesona dan keindahan yang dibangun tidak lepas dari konflik antara Dinasti al-Muwahhidun dengan Dinasti al-Murabitun. Muhmmad ibn Tumart sebagai khalifah pertama Dinasti al-Muwahiddun—yang mengakui sebagai mahdi—merombak segala bentuk pemerintahan yang ada sebelumnya.

Perubahan ini tidak lepas dari peran para cendekiawan muslim yang lahir dan hadir pada masa Dinasti al-Muwahiddun berkuasa. Salah satunya ada sosok cendekiawan yang andal dalam menggubah syair dan puisi maupun membuat karangan-karangan yang bersifat sastrawi. Ia adalah Ibn Thufail. Nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad bin Abdal Malik bin Thufail al-Qaisi. Ibn Thufail dilahirkan di kota kecil dekat Granada yakni Guadix sekitar 1105 M, dan meninggal di Maroko pada 1185 M. Sebagai seorang yang cinta pada ilmu pengetahuan, Ibn Thufail memiliki perpustakaan yang besar pada zamannya dan ia dianggap sebagai cendekiawan yang multitalen: sebagai seorang filosof, dokter, ahli matematika, maupun penyair.

Sebagai seorang cendekiawan besar, Ibn Thufail terbilang tidak banyak melahirkan karya, karya-karyanya bisa dihitung sedikit. Mungkin saja banyak tetapi tidak banyak yang terlacak dan diketahui. Mungkin karena faktor politis ataupun alam yang menyebabkan kita sampai sekarang tidak bisa mengetahui karya-karya dari sang filosof ini. Ada beberapa karya Ibn Thufail yang bisa kita ketahui, antara lain Kitab al-Hai’ah dan Risalah Hayy bin Yaqzan fi Asrar al-Hikmat al-Masriqiyyah. Sebagai seorang filosof yang suka dengan kehidupan menyendiri terlihat dari karya Hayy ibn Yaqzan ini yang lebih cenderung bersifat kontemplasi dan metafisik menuju kebahagiaan ketimbang melahirkan karya ilmiah.

Roman Hayy ibn Yaqzan adalah karya sang filosof Ibn Thufail, bukan karya salinan dari pemikir-pemikir sebelumnya baik dari Timur Islam maupun Yunani. Meskipun apabila diperhatikan isinya, bahkan judulnya pun sama dengan karya Ibn Sina sebelumnya yang berisi Kebijaksanaan Timur (Oriental Wisdom). Karyanya yang orisinal ini adalah karya epik filosofis yang bernapaskan sastra, menceritakan perolehan pengetahuan dan kehidupan seorang Hayy, bernapaskan religiusitas, sosial, kebudayaan, politik, dan pengetahuan. Ibn Thufail menjelaskan masalah tersebut dalam karyanya ini. Adegannya digambarkan melalui dua wilayah. Di suatu sisi menggambarkan masyarakat manusia dengan berbagai konvensinya, di sisi lain manusia sebagai individu yang berkembang secara alami diasuh oleh alam (De Boer, 2019: 257).

Roman epik ini secara dramatis menceritakan kelahiran mendadak Hayy di sebuah pulau yang kosong tak berpenghuni manusia. Diikuti dengan suatu legenda mengenai dibuangnya ia ke tempat terpencil itu oleh saudara perempuan seorang raja dengan maksud agar perkawinannya dengan Yaqzan tetap terahasiakan. Untuk individu yang pertama, Hayy yang hidup tanpa campur tangan masyarakat dan hanya diasuh oleh seekor rusa betina. Hayy survive hanya dengan pengajaran yang diberikan oleh pikiran alamiah atau akal sehat saja.

Secara akal aktif hal itu mustahil untuk dilakukan, bagaimana bisa hanya dengan menggunakan akal saja Hayy hidup dan bisa mengamati benda-benda yang ada di sekelilingnya. Bahkan Hayy sadar bahwasanya ia tidak bisa disamakan dengan binatang yang hidup apa adanya, tanpa berbusana, tanpa perlindungan atas dirinya, apalagi memikirkan keadaanya. Hayy sadar dengan nalarnya yang ilmiah bahwa ia butuh perlindungan, butuh melindungi dirinya dari segala macam mara bahaya yang akan menimpa diri dan dari kematian yang akan menghampirinya.

Hayy sepertinya tidak ingin matinya sia-sia seperti halnya ibu rusa yang mati begitu saja. Dari interaksinya dengan sekelilinya itu, Hayy sadar dan kemudian berpaling pada analisis dan fenomena alam, memperbandingkan objek-objek yang ada diseklilingnya, membeda-bedakan dan menggolongkan atas benda mati, tanaman, dan binantang (M. M Syarif, 1991: 177). Dengan penyelidikannya itu Hayy sadar bahwa tubuh merupakan unsur umum dari suatu objek, dan dari unsur umum itu ada unsur-unsur khusus yang membantu untuk menjalakan unsur umum.

Dari kematian ibu rusa, Hayy menduga bahwasanya setiap unsur memiliki bentuk atau ruh (soul). Tetapi karena ruh tidak dapat terlihat, maka kecekatan daya pikir yang membawanya pada suatu gagasan mengenai kemaujudan utama, kekal, tak berjasmani, dan mesti ada dan merupakan sebab efisien yang menggerakan semuanya. Hal ini yang membuat Hayy sadar akan esensi immaterial, esensi yang menggerakan segala materi-materi yang ada. Sampai tahapnya Hayy mendapatkan pengetahuan tertinggi, yaitu visi sufi tentang Tuhan dan ia mencapai kondisi ekstase mistik.

Dalam situasi demikian itu, Hayy kemudian ditemukan oleh Absal. Cara berpikir mereka berdua sangat berbeda, yang satu cenderung pada hal-hal yang berbau syariat dan yang satu dalam pemikirannya lebih mengandung nilai-nilai sufistik. Namun, keduanya adalah orang yang sama-sama bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ajaran agama. Mereka sama-sama suka ber-muhassabah nafs dan sama-sama melawan hawa nafsu (Ibn Thufail, 2010: 260). Perbedaan keduanya dalam berpikir menyebabkan Hayy hidup berpisah dan tidak bersama-sama lagi.

Pada suatu waktu mereka dipertemukan kembali. Setelah bertemu dan memahami satu sama lain terlibat membicarakan serta bertukar pikiran mengenai pengetahuan. Keduanya memiliki kesamaan pandangan bahwa antara agama dan filsafat adalah dua bentuk dari kebenaran yang sama, namun dalam bentuk filsafat lebih terbuka dan tidak kaku. Akan tetapi ketika Hayy mengetahui sesuatu yang ada di balik pulau tersebut ternyata masyarakat yang hidup dalam kegelapan dan kekeliruan, Hayy bertekad untuk berangkat menyeberang ke sana dan mengungkapkan kebenaran yang diperoleh kepada penduduk pulau setempat.

Setelah terjun ke masyarakat, Hayy mendapatkan banyak pengalaman yang begitu kompleks, hingga Hayy sendiri mengatakan bahwa khalyak ramai tidak mampu memahami kebenaran secara murni, dan bahwasanya Nabi Muhammad Saw telah bertindak bijak menyampaikan risalah kepada masyarakat melalui bentuk-bentuk ajaran yang dapat dipahami secara kasat mata (pancaindra). Setelah mengalami pengalaman demikian ini, Hayy kembali lagi ke pulau yang tak berpenghuni bersama temannya, Absal, untuk melayani Tuhan dengan ruh-Nya dan hidup dalam kebenarn hingga ajal menjemputnya.

Ibn Thufail telah mencurahkan sebagian besar roman pada perjalan hidup dan perkembangan Hayy ibn Yaqzan, namun Ibn Thufail sendiri tidak berpendapat bahwa manusia individu dapat memahami dirinya sendiri tanpa bantuan dari masyarakat, sebagaimana yang di alami oleh Hayy.

Roman karya Ibn Thufail ini kiranya menjadi sebuah kritik maupun otokritik dalam bungkus sastra bagi kaum rasionalis yang hanya mengedepankan akal semata tanpa mengetahui hal yang bersifat metafisis. Roman Hayy ibn Yaqzan sebagai salah satu karya sastra terbaik dari para filosof muslim di negeri Islam Barat bahkan di Timur pada zamannya. Jarang seorang filosof sekaligus dokter membuat karya sastra macam karya Ibn Thufail ini.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Raha Bistara

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Aqidah dan Filsafat Islam