Hak untuk Bumi
Ada beragam sebutan bagi manusia yang disematkan berdasar ciri dan perilakunya. Sebab manusia hidup bermasyarakat dan melakukan interaksi sosial, disebutlah ia homo socius. Sebab manusia bekerja dan mencari nafkah, diberilah sebutan homo economicus. Ada juga sebutan yang bernada sinis, yang diberikan karena perangai buruk manusia, seperti homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.
Sebutan-sebutan tersebut dapat berguna sebagai pengingat bagi manusia tentang kodrat alamiahnya. Kesadaran terhadap kodrat alamiah itu akan membawa manusia menempuh perjalanan hidupnya dengan penuh perhatian atawa tidak serampangan. Kesadaran sebagai makhluk sosial, misalnya, akan membuat seorang manusia berusaha untuk menjaga hubungan baik dengan manusia lainnya. Sebab jika ia abai terhadap hubungan dan lingkungan sosialnya, salah satu kemungkinan buruknya adalah terjebak alienasi sosial.
Artinya, dari penamaan-penamaan itu ada fungsi untuk menumbuhkan kesadaran. Nah, saya kira, ada sebutan lain untuk manusia yang tampaknya belum populer dan untuk itulah perlu diketahui bersama. Sebutan itu ialah homo ecologicus. Manusia ekologis. Manusia yang paham tentang pentingnya kelestarian lingkungan hidup. Manusia yang memiliki kesadaran bahwa dirinya merupakan bagian dari keutuhan alam.
Kesadaran sebagai makhluk ekologis ini penting karena berkaitan dengan etika manusia di hadapan alam. Etika bukan saja dipakai dalam hubungan-interaksi manusia kepada Tuhan atau sesamanya saja, tetapi juga perlu digunakan saat berurusan dengan hewan, tumbuhan, dan segenap entitas alam lainnya.
Posisi Manusia di Hadapan Alam Semesta
Dalam bukunya yang fenomenal berjudul Sapiens¸Yuval Noah Harari menyodorkan teori menarik. Ia memaparkan bahwa dalam sejarah kehidupan di muka bumi, nenek moyang kita, homo sapiens, merupakan pembunuh berantai ekologis. Beragam spesies hewan dan tumbuhan lenyap karena perbuatan mereka.
Harari bahkan menuliskan, “Jangan percaya para pemeluk-pohon yang mengklaim leluhur kita hidup harmonis dengan alam. Lama sebelum Revolusi Industri, Homo Sapiens memegang rekor di antara semua organisme karena telah mendorong sebagian besar spesies tumbuhan dan hewan menuju kepunahan. Kita berprestasi mengerikan sebagai spesies paling mematikan dalam tarikh biologi.” (Harari, 2014: 89)
Kita memang bisa saja membela diri. Mengatakan bahwa kehidupan purba memang keras, dan juga karena manusia purba belum sempurna akalnya, sehingga kehidupan berjalan cuma berdasarkan garizah untuk bertahan hidup. Dengan begitu, hanya yang kuat yang akan bertahan. Maka wajar adanya apabila banyak entitas hidup yang punah.
Namun, saya rasa pembelaan seperti itu justru makin menunjukkan bahwa kita adalah makhluk yang buruk.
Coba berpikir ulang: nenek moyang kita menyebabkan kepunahan megaflora dan megafauna karena akal mereka belum berkembang sempurna, sehingga mereka belum bisa mengenali batas saat pemanfaatan alam. Sedangkan kita hari ini adalah makhluk dengan akal yang jauh lebih paripurna daripada mereka. Alam kita pun saat ini tidak semenakutkan zaman batu, kehidupan kita tidak sekeras mereka. Namun, kenyataannya tetap saja tidak jauh berbeda. Kita masih, dan kemungkinan akan terus, merusak alam. Bahkan lebih parah ketimbang yang leluhur kita lakukan. Akal kita justru menjadi dalang utama kehancuran alam di abad modern ini.
Perilaku buruk terhadap lingkungan hidup tersebut disebabkan kerangka berpikir kita yang menempatkan kedudukan alam di bawah kaki kita. Kita memandang bahwa kita lebih superior dari alam, sehingga merasa berhak berbuat apapun terhadap alam—yang bermuara pada sikap destruktif kepada lingkungan.
Paham antroposentrisme, yang menganggap pusat alam semesta adalah manusia, seperti itu memang sering menjebak. Paham tersebut kerap membuat kita menihilkan nilai intrinsik dari entitas alam. Kita menganggap hewan, tumbuhan, air, tanah, bebatuan, gunung, dan sebagainya hanya akan bernilai apabila punya kegunaan untuk umat manusia (nilai amenitas).
Anggapan seperti itu sesungguhnya kontraproduktif terhadap kelestarian alam. Pada satu sisi, entitas alam yang dianggap bernilai akan kita eksploitasi habis-habisan. Pada sisi yang lain, entitas alam yang kita terka nirguna akan kita singkirkan—logikanya: untuk apa hal yang tidak ada manfaatnya dibiarkan eksis?
Akhirnya, entah entitas itu bernilai maupun tidak, semuanya akan tetap tandas di tangan kita.
Oleh karena itu, banyak filsuf lingkungan hidup, misalnya Arne Naess dan Val Plumwood, yang mempermaklumkan paham ekosentrisme (ada juga yang menyebutnya biosentrisme), sebagai oposisi antroposentrisme. Paham ekosentrisme berkeyakinan bahwa terdapat nilai yang inheren pada setiap entitas alam, terlepas dari ada atau tidak utilitasnya bagi manusia. Dengan anggapan bahwa setiap entitas alam bernilai dalam dirinya (punya nilai intrinsik) tersebut, akan tercipta egalitarian biosfer. Semua makhluk, yang hidup maupun yang tidak, adalah setara. Manusia, yang memiliki kesadaran bebas, mesti menghormati, menjaga, dan melestarikan semua makhluk yang ada di alam raya.
Dalam ajaran Islam pun tak jauh berbeda. Islam mengatur dengan baik dan memberikan panduan etis terkait hubungan antara manusia dan alam. Manusia, yang ditugaskan sebagai khalifah di muka bumi, punya tugas untuk mengelola dan mengantarkan apa-apa yang ada di alam kepada tujuan penciptaannya. Misalnya, bunga diciptakan untuk mekar, oleh karenanya tidak diperkenankan memetiknya sonder tujuan yang benar.
Ajaran Islam, dan juga paham seperti ekosentrisme, memiliki tujuan untuk menjaga harmoni alam semesta. Bagaimana pun, manusia menggantungkan hidupnya dari alam. Oleh sebab itu, manusia di hadapan alam adalah penjaga, perawat, pengelola, sehingga tidak boleh berlaku semena-mena. Boleh memanfaatkan, tetapi harus tahu batas kebutuhan, dan tetap menjaga kelestariannya.
Masa Depan Bumi di Tangan Manusia (?)
Lembaga Indikator Politik Indonesia dan Yayasan Indonesia Cerah baru-baru ini (27/10/2021) merilis survei terkait permasalahan yang paling mengkhawatirkan generasi muda di Indonesia.
Hasil survei tersebut menunjukkan krisis iklim, seperti perubahan iklim, kerusakan lingkungan, polusi (air, udara, dan sebagainya) menempati deretan teratas problem yang paling dikhawatirkan generasi muda. Membaca survei tersebut menghadirkan harapan meningkatnya kepedulian terhadap lingkungan hidup. Apalagi mengingat Indonesia sebagai paru-paru dunia.
Krisis iklim memang sudah menjadi isu global. Dalam pertemuan-pertemuan tingkat tinggi antarnegara pun telah menjadikan krisis iklim sebagai fokus utama. Misalnya kelompok negara G20 (singkatan dari Group of Twenty, yakni kelompok negara dengan perekonomian besar) pada KTT 30-31 Oktober 2021 kemarin. Begitu pula PBB yang menyelenggarakan Konferensi Perubahan Iklim pada 13 Oktober sampai 12 November 2021.
Kepedulian warga dunia terhadap masalah iklim sesungguhnya wajar saja, bahkan memang sudah seharusnya. Banyak masalah terkait alam yang kita hadapi saat ini: bumi yang makin memanas, bumi yang sudah tidak hijau, bumi yang airnya kotor, tanahnya terkontaminasi, dan udaranya tercemar, bumi yang kehilangan tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan eksotisnya.
Kondisi itu menimbulkan tanya bercampur getir: bumi yang sudah berusia lebih dari empat miliar tahun ini, akan bisa bertahan sampai kapan?
Berbagai gagasan telah muncul untuk mengantisipasi apabila bumi sudah tidak layak huni lagi, seperti pindah ke bulan, atau ke Mars. Kita tidak tahu apakah suatu saat gagasan semacam itu akan tercapai atau tidak. Namun, saya kira, ada ikhtiar konkret, dan tentu lebih realistis, yang bisa kita lakukan untuk menjaga bumi tetap layak ditinggali: belajar dan menumbuhkan kesadaran ekologis.
Dengan mempunyai kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup dan kelestarian alam, kita bisa ikut merawat bumi. Dengan memahami tanggung jawab sebagai homo ecologicus, kita bisa menciptakan keserasian dalam hubungan interdependensi antara setiap entitas alam. Perilaku bijaksana yang sesuai dengan etika terhadap lingkungan hidup, jika ingin bumi tetap dalam keadaan sehat.
Category : buletin
SHARE THIS POST