Gus Dur dan Laku Penting dalam Kemajemukan

slider
30 Oktober 2020
|
1825

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dikenal luas sebagai salah satu cendikiawan muslim ternama Indonesia. Bagi saya, di tengah problematika umat dan kebangsaan hari ini, terutama yang berkaitan dengan masalah keberagamaan, pemikiran Gus Dur akan selalu menemukan relevansinya sebagai pondasi untuk mengukuhkan suatu laku dalam kehidupan yang majemuk.

Kita tahu, beberapa tahun ke belakang, ada suatu fenomena yang patut menjadi keresahan kita bersama, yakni kedangkalan ruang publik (dalam hal ini sosial media), di mana banyak bermunculan narasi-narasi sentimentil kebencian, yang bahkan menjurus ke pengkafiran-pengkafiran sesama muslim. Intoleransi bahkan menjadi salah satu problem dalam kehidupan intra umat Islam hari-hari ini.

Toleransi intra-Islam

Ada sebuah artikel menarik yang pernah ditulis oleh Gus Dur, yaitu “Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita”. Bagi saya, artikel yang ditulis oleh Gus Dur tersebut, sangat relevan untuk menyikapi masalah intoleransi di dalam intra umat Islam.

Gus Dur berpandangan, apa yang disebutnya sebagai “Islamku” adalah Islam yang khas, dalam arti bahwa pandangan-pandangan tentang Islam yang dipahaminya, berangkat dari pengalaman dan pengembaraannya, dan dalam konteks tersebut Gus Dur menyadari bahwa setiap orang mempunyai pengalaman yang berbeda, yang bahkan sangat memungkinan untuk menghasilkan kesimpulan (tentang Islam) yang berbeda-beda pula.

Gus Dur mengatakan, “Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu yang khas, yang dapat disebutkan sebagai ‘Islamku’, hingga karenanya watak perorangan seperti itu patut dipahami sebagai pengalaman pribadi, yang patut diketahui orang lain tanpa memiliki kekuataan pemaksa”.

Gus Dur mencontohkan, misalnya saja apakah selama pengembaraan tersebut berakhir pada elektisme yang berwatak kosmopolitan, sedangkan kepada orang lain membawa pada hasil sebaliknya, itu tidak menjadi soal baginya, karena ia menyadari bahwa setiap orang mempunyai pengalamannya masing-masing.

Berdasarkan pandangan Gus Dur tentang “Islamku”, jelas sangat menunjukkan bagaimana keterbukaan pemikiran dari sosok Gus Dur. Keterbukaan Gus Dur ini bisa terlihat juga, meskipun menurut Gus Dur kita memang harus merasa bangga dengan pandangan kita yang berbeda dengan orang lain, akan tetapi kalau sebuah pandangan tersebut dipaksakan, akan terjadi dislokasi pada diri orang lain, yang justru akan membunuh keindahan semula dari pandangannya sendiri.

Sementara itu, yang dimaksud sebagai “Islam Anda” oleh Gus Dur, adalah sebuah klaim kebenaran yang berangkat dari keyakinan, dan bukan dari pengalaman, yang kadar penghormatan terhadapnya ditentukan oleh banyaknya orang yang melakukannya sebagai keharusan dan kebenaran.

Lalu, apa yang disebut sebagai “Islam Kita”? Gus Dur mengartikan “Islam Kita”, yakni pikiran-pikiran tentang masa depan Islam. “Islam kita” dirumuskan berdasarkan keprihatinan-keprihatinan dengan masa depan agama tersebut, sehingga keprihatinan itu mengacu pada kepentingan bersama kaum muslimin.

Suatu kesimpulan dalam “Islam Kita” ini mencakup “Islamku” dan “Islam Anda”, karena ia berwatak umum dan menyangkut nasib kaum muslimin seluruhnya. Akan tetapi, yang menyebabkan kita kesulitan dalam merumuskan “Islam kita”, yakni ketika ada kelompok-kelompok tertentu yang berusaha memaksakan tafsirannya sendiri untuk “Islam Kita”.

Dalam konteks inilah, pemikiran Gus Dur relevan untuk menyikapi salah satu problematika umat Islam, yaitu ketika dengan mudahnya sesama muslim menyebut sebagai munafik, hanya karena berbeda pilihan politik, ataupun tidak mau berkhidmat pada apa yang disebut sebagai ijma ulama pasca Pilkada DKI 2017. 

Dengan meneguhkan ajaran Gus Dur, kita akan semakin menyadari, bahwa sikap saling tuding, atau bahkan dalam bentuk paling ekstrim saling mengkafirkan, hanya akan mengganggu kita dalam merumuskan “Islam Kita”, dan itu artinya tidak sejalan dengan semangat ukhuwah islamiyah.

Saya rasa, ajaran Gus Dur sebagaimana yang diulas di atas, secara umumnya, relevan juga untuk menyikapi masalah ekslusivitas sektarianisme yang menjadi pangkal praktik-praktik takfiri, yang sudah barang tentu akan sangat mengganggu perumusan “Islam Kita”. Pemikiran Gus Dur sangat relevan sebagai antitesis dari pandangan Wahabisme yang semakin mengkristal.

Kita bisa mengambil pelajaran juga dari Gus Dur, bahwa bagaimanapun seorang Gus Dur tidak menyepakati suatu pemikiran, Gus Dur tetap menghormatinya, yang Gus Dur tolak hanyalah saat pemikiran-pemikiran yang menjurus ke pemaksaan hingga kekerasaan.

Sebab itu, bagi saya, mempelajari pemikiran Gus Dur, bagaikan menyelami samudera kebajikan yang dapat meningkatkan kualitas kehidupan beragama kita, terutama untuk laku kehidupan majemuk mengingat beragamnya tafsir-tafsir dalam perkembangan ajaran Islam itu sendiri.

Toleransi antaragama: basis perjuangan untuk kehidupan lebih baik

Bagi Gus Dur, sikap toleransi terhadap penganut agama lain bukan sekadar menghormati keyakinan pemeluk agama tersebut. Lebih dari itu, Gus Dur menginginkan adanya sebuah kerjasama antaragama untuk kehidupan yang lebih baik, seperti memperbaiki nasib bersama untuk mengatur kesejahteraan materi. Bagi Gus Dur, hal tersebut dibolehkan, karena sifat dari kerjasamanya yakni dalam soal muamalat.

Dalam artikel “Islam dan Dialog Antar-Agama” yang terdapat dalam buku Islamku, Islam Anda dan Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi (2006), Gus Dur mengatakan bahwa perbedaan tidak melarang untuk melakukan kerjasama antara Islam dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan umat manusia. Oleh sebab itu, Gus Dur berpandangan bahwa penerimaan Islam akan kerjasama tersebut, akan dapat diwujudkan dalam praktik kehidupan, apabila ada dialog antaragama.

Dengan kata lain, prinsip pemenuhan kebutuhan berlaku dalam hal ini, dengan menyadur adagium dalam ushul fiqh, yakni “Sesuatu yang membuat sebuah kewajiban agama tidak terwujud tanpa kehadirannya, akan menjadi wajib pula”.

Sementara dalam persoalan kerjasama antaragama untuk pemenuhan kebutuhan kehidupan yang lebih baik, kerjasama tidak akan terlaksana bila tidak disertai dengan dialog. Karena itu, Gus Dur bahkan menyebut dialog antaragama merupakan kewajiban.

Bagi saya, ide Gus Dur ini amat menarik, dan tentu saja dapat mengokohkan pondasi kita dalam kehidupan yang amat majemuk, alih-alih sibuk mempertentangkan agama-agama, yang hal itu dapat memunculkan kebencian dan sikap saling permusuhan. Gus Dur justru mendorong kita untuk membangun dialog antaragama dan menggagas kerjasama dan proyek untuk kemaslahatan kehidupan baik bersama.

Di sinilah, pemikiran Gus Dur patut menjadi teladan, bagaimana Gus Dur berusaha menafsirkan Islam, tidak hanya untuk kepentingan sempit/ekslusif umat Islam semata, melainkan untuk kepentingan kemanusiaan secara umum, dan bagi saya, itu sejalan dengan semangat Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.


Category : keislaman

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Cusdiawan

Alumnus Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran