Falsifikasionisme Popper dan Upaya Pengembangan Keilmuan Islam

slider
11 November 2022
|
1761

Perkembangan ilmu pengetahuan dari masa ke masa terus mengalami perubahan yang begitu besar. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada satu pun ilmu pengetahuan yang mutlak kebenarannya. Meminjam bahasa filosof Jerman abad ke-17 David Hume yang mengatakan bahwa, tidak ada yang berani menjamin ilmu pengetahuan mutlak kebenarannya di atas dunia ini.

Fakta historis menunjukkan teori geosentris yang sempat diadopsi selama puluhan ribu tahun digantikan teori heliosentris. Isaac Newton dengan teori hukumnya dibantah atau digugurkan oleh Albert Einstein dengan teori relativismenya.

Hal yang sama juga terjadi dalam filsafat, kemunculan aliran-aliran dalam ilmu filsafat lahir atas kritiknya terhadap aliran terdahulu, seperti misalkan empirisme yang lahir atas kritiknya terhadap rasionalisme.

Begitu halnya dengan aliran rasionalisme kritis yang terlahir dari kritiknya terhadap aliran empirisme Auguste Comte. Salah satu tokoh aliran ini ialah Karl Raymund Popper dengan teorinya uji falsifikasi.

Biografi Singkat Karl Raymund Popper

Popper atau nama lengkapnya Karl Raymund Popper merupakan seorang filosof dan saintis kelahiran Wina, Austria, pada 28 Juli 1902. Ia terlahir dari orang tua beragama Yahudi, tetapi tidak lama setelah menikah kedua orang tuanya dibaptis di Gereja Protestan sebagaimana masyarakat Austria pada umumnya.

Ayah Popper, Simon Siegmund Carl Popper, adalah seorang pengacara yang memiliki minat tinggi terhadap filsafat. Tak heran jika ayahnya memiliki banyak koleksi buku tentang filsafat. Popper sejak kecil sudah membaca buku-buku filsafat milik ayahnya.

Sementara dari ibunya, Jenny Schiff, seorang pemain biola hebat, mengalir kepada Popper yang memiliki refleksi tinggi pada dunia musik.

Pada usia 16 tahun, Popper meninggalkan sekolahnya karena ia merasa bosan dengan pembelajaran di kelas. Sejak itu pula, ia menjadi pendengar bebas di Wina. Pada awalnya Popper tercatat sebagai mahasiswa non-matrikulasi di Universitas Wina. Setelah empat tahun melalui perjuangannya yang keras, pada akhirnya ia diterima dan tercatat sebagai mahasiswa matrikulasi di Universitas Wina.

Di Universitas Wina, mahasiswa dibebaskan untuk memilih kursus mata kuliah apa pun. Popper mengambil mata kuliah sejarah, sastra, psikologi, dan filsafat, sebelum pada akhirnya berkonsentrasi pada mata kuliah matematika dan fisika.

Dalam perjalanan hidupnya, ada peristiwa besar yang mempengaruhi pemikiran Popper dalam bidang filsafat ketika pada 1919 ia menghadiri pidato Einstein di Wina yang meruntuhkan teori Newton dengan munculnya teori gaya berat dan kosmologi.

Tak sampai di situ, hal yang paling membuat Popper kagum ketika Einstein diakhir pidatonya mengatakan bahwa “… Dia tidak bisa menjamin apakah teorinya ini akan tahan terhadap uji tertentu”.

Ungkapan ini menurut Popper berbanding terbalik dengan kaum Marxis yang dogmatis dan dengan segala cara untuk mempertahankan teori kesayangannya. Dari peristiwa inilah Karl R. Popper mulai merumuskan teorinya.

Beberapa karya penting yang dilahirkan oleh Popper di antaranya, The Logic of Scientific Discovery (1934) yang merupakan buku induk dari pemikirannya. Kemudian juga terdapat buku yang lain seperti Realisme and Aim of Science (1983), Quantum Theory and the Schism in Physics: From The Postscript to the Logic of Scientific Discovery (1982), dan The Poverty of Historicism (1956).

Epistemologi Karl R. Popper

Salah satu epistemologi pemikiran Popper adalah tentang uji falsifikasi. Secara sederhana falsifikasionisme merupakan sebuah uji kesalahan untuk membuktikan sejauh mana pengetahuan itu dapat bertahan terhadap uji kesalahan.

Menurut Popper, ilmu pengetahuan dapat dikatakan benar apabila ia tahan terhadap uji kesalahan. Salah satu analogi yang digunakan oleh Popper adalah mengenai angsa yang berwarna putih.

Ungkapan yang mengatakan, “Semua angsa berwarna putih” akan dapat dikatakan sebagai ilmu apabila ia tahan terhadap uji falsifikasi (kesalahan). Apabila dalam perjalanannya nanti terdapat satu saja angsa yang berwarna merah atau hitam, maka teori tentang semua angsa yang berwarna putih secara otomatis akan batal. Hal ini dilakukan Popper untuk membedakan ilmu pengetahuan (science) dan bukan ilmu pengetahuan (psudo science). Dengan begitu, ilmu pengetahuan dapat diketahui ilmiah atau bukan ilmiah.

Lebih jauh, Popper dalam memecahkan tujuan ilmu sebagai pencarian kebenaran, bahwa ilmu tidak pernah mencapai kebenaran, paling jauh ilmu hanya berusaha mendekat ke kebenaran (verisimilitude).

Uji falsifikasi Popper pada prinsipnya ingin menunjukkan bahwa suatu teori atau pemikiran dapat bertahan terhadap uji-uji yang dilakukan oleh orang lain. Selain itu, Popper hendak mengatakan bahwa ilmu pengetahuan harus terbuka terhadap berbagai kritik, masukan, maupun uji dari berbagai pihak, serta tidak perlu untuk mencari-cari pembenaran.

Falsifikasionisme Popper dan Upaya Pengembangan Keilmuan Islam

Salah satu warisan yang ditinggalkan Popper dari teori falsifikasionisme adalah adanya keterbukaan untuk menerima kritikan ataupun uji toeritis dari orang lain. Falsifikasionisme mengajarkan kepada intelektual muslim agar mau membuka diri terhadap ilmu pengetahuan yang baru maupun yang datang dari luar. Sehingga dengan begitu ilmu pengetahuan yang ada dalam Islam tidak mengalami stagnasi.

Mengapa keilmuan Islam sampai hari ini masih jalan di tempat? Bila ditelisik lebih jauh, ada dua faktor penyebab utama mengapa keilmuan Islam mengalami stagnasi.

Pertama, sakralisasi ajaran keagamaan. Kedua, klaim kebenaran (truth claim) dari kelompok masing-masing sehingga menutup kebenaran yang datang dari luar kelompok atau golongannya.

Dua faktor ini menjadi penyebab utama yang menjadikan keilmuan Islam mengalami kemandegan yang cukup panjang. Melalui uji falsifikasi, Popper ingin mengatakan bahwa tidak ada suatu teoritis yang memiliki kebenaran mutlak dan tertutup untuk diuji.

Dengan sikap keterbukaan dan menerima yang dijunjung oleh kalangan intelektual muslim, hal ini akan mendorong kemajuan dalam keilmuan Islam seiring dengan perkembagan zaman. Kritik yang datang dari luar semestinya dijadikan sebagai cambuk untuk terus mengembangkan keilmuan Islam.

Dalam tubuh umat Islam sendiri terdapat berbagai aliran, kelompok, golongan, serta keyakinan, yang memiliki cara pandang atau pemikiran tersendiri. Dalam ilmu fikih misalnya, kita dapat menemukan berbagai mazhab: Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hambali.

Kemudian dalam ilmu kalam terdapat juga aliran Khawarij, Mu’tazilah, ‘Asyariah, Jabariyah, Qodariyah, Syiah, dan lain sebagainya. Sementara di Indonesia sendiri ada berbagai macam organisasi: Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam, Nahdlatul Wathan, dan masih banyak lagi yang lainnya.  

Dalam sebagian pada aliran, kelompok, mazhab ini tidak memiliki sikap keterbukaan dan mau menerima kritikan maupun uji dari kelompok lain. Tetapi bila sebaliknya yang terjadi, keilmuan dalam dunia Islam akan maju. Semua aliran, kelompok, maupun mazhab harus menurunkan ego masing-masing agar dapat menjadi sumber atau rumah bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam.  

Referensi:

Adib, Muhammad, 2015, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Huda, M. Syamsul, “Karl Raimund Popper (Problem Neopositivistik dan Teori Kritis Falsifikasi”, dalam Jurnal Studi Keislaman ISLAMIC, Vol. 2, No. 1, 2007.

Komarudin, “Falsifikasi Karl Popper dan Kemungkinan Penerapannya dalam Keilmuan Islam”, dalam Jurnal At-Taqaddum, Vol. 6, No. 2, 2014.

Maxwell, Nicholas, 2017, Karl Popper: Science And Enlightenment, London: UCL Pres.

Nur, Muhammad, “Revivalisasi Epistemologi Falsifikasi”, dalam Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia IN RIGHT, Vol.2, No.1, 2012.

Popper, Karl R., 1935, The Logic of Scientific Discovery, Vienna: Verlag Von Julius.

Yuslih, Muhammad, “Epistemologi Pemikiran Karl R Popper dan Relevansinya dengan Pemikiran Islam”, dalam Journal Scientific of Mandalika, Vol. 2, No. 9, September 2021.


Category : keilmuan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Muhammad Yuslih

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta