Dari Kritik Untuk Pembaharuan: Pemikiran Filosofis Ibnu Taimiyyah

slider
13 Juli 2023
|
2398

Ibnu Taimiyyah memiliki nama asli Taqiyyuddin Abu Abbas Ahmad Abdul Halim ibn al llam Majduddin. Ia dilahirkan di Harran pada 10 Rabiul Awwal atau bertepatan pada 22 Januari 1263 M dan berasal dari keluarga yang menganut mazhab Hambali. Mazhab tersebut merupakan salah satu aliran dalam Islam yang berpolakan tekstualis dalam membaca teks formal agama Islam.

Perlu diketahui bahwa pada masa itu pemegang otoritas keislaman terbesar merupakan ajaran yang banyak mengandung unsur-unsur helenisme dan digagas oleh Ibnu Sina, Imam Al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, dan lain sebagainya.

Ibnu Taimiyyah adalah seorang tokoh yang banyak melancarkan berbagai kritikan keras terhadap berbagai pemikiran sebelumnya. Ia sering dijadikan sebagai tokoh yang berusaha melakukan purifikasi atas pemikiran Islam pada abad pertengahan.

Pada abad modern, sebagian tokoh fundamentalis banyak menjadikan dirinya sebagai rujukan. Di antaranya adalah para ulama Timur Tengah tekhusus kawasan Saudi Arabia. Hal ini memberikan kesan bahwa pemikiran Ibnu Taimiyyah banyak menginspirasi kekolotan.

Namun sebaliknya, justru para intelektual muslim seperti Fazlur Rahman dan Nurcholis Madjid yang terkenal sebagai salah satu tokoh Islam liberal malah menyatakan bahwa Ibnu Taimiyyah merupakan tokoh yang banyak memberi sumbangsih terhadap tradisi keilmuan Islam.

Pemikiran Ibnu Taimiyyah secara spesifik terlihat ketika ia banyak melakukan berbagai kritikan keras terhadap pemikiran Islam yang banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur helenisme dan menjamur pada masa itu.

Berangkat dari aliran mazhab Hambali yang dianutnya, ia merasa bahwa kebenaran mutlak hanya berasal pada teks formal Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Ibnu Taimiyyah bukanlah sosok yang melakukan taklid (sekadar ikut-ikutan) tanpa mengerti substansi suatu hal.[1]

Ibnu Taimiyyah merasa bahwa penyimpangan yang menyebar di dunia Islam terjadi akibat ortodoksi pemikiran sebelumnya, terlebih pemikiran tersebut banyak menganut unsur-unsur yang berasal dari luar Islam. Di sini ia berupaya untuk kembali membuka pintu ijtihad sebagai caranya dalam menghapus berbagai penyimpangan-penyimpangan tersebut.

Kritik Ibnu Taimiyyah Terhadap Teologi dan Filsafat Islam

Sepanjang perkembangan teologi Islam, terkhusus hingga pada masa Ibnu Taimiyyah, ada  dua pokok utama yang kiranya menjadi alasan baginya untuk melontarkan kritikan keras terhadap pemikrian teologi.

Pertama adalah doktrin tanzih atau transendensi atas sifat-sifat Allah. Menurutnya, hal ini nantinya dapat mengarah kepada ta’thil atau penegasian atas Allah itu sendiri yang nantinya dapat mengimbas pada keadaan terburuk yakni atheisme.

Padahal dalam teks formal agama Islam sudah ada ayat-ayat yang menjelaskan tentang Allah itu sendiri dan tidak perlu untuk ditafsirkan secara spekulatif dan hanya mengarah pada abstraksi intelektual semata.

Kedua adalah pembahasan mengenai tindakan manusia yaitu doktrin kasb (usaha) yang berasal dari aliran Asy’ariyyah sebagai otoritas utama yang banyak dianut oleh umat Islam pada saat itu, ajaran Imam Al-Ghazali yang berakidahkan Asy’ariyyah merupakan paham teologi yang paling banyak dianut.

Dalam doktrin kasb dibedakan antara fi’il (perbuatan) dan kasb (usaha). Menurut paham Asy’ariyyah, kasb terikat dengan objek yang menguasainya. Hal ini menyatakan bahwa tindakan manusia semata-mata merupakan kehendak Allah dan mengimbas pada paham bahwa apapun usaha yang dilakukan oleh manusia, hal tersebut tidak berdampak apapun terhadap ketentuan Allah. Siapa yang berbuat baik bisa jadi akan mendapat balasan yang buruk, begitu juga sebaliknya, siapa yang berbuat buruk bisa mendapatkan balasan yang baik.

Pada akhirnya semua kembali kepada kekuasaan Allah. Bagi Ibnu Taimiyyah hal ini tentu sangat tidak masuk akal karena manusia sudah diberikan pedoman dari para Nabi dan akal sebagai penuntun baginya.[2]

Sedangkan dalam bidang filsafat, kritik Ibnu Taimiyyah berangkat dari penolakannya terhadap konsep metafisika yang berasal dari pengaruh Neoplatonisme dan Aristotelianisme.

Adanya filosof muslim yang terpengaruh dengan konsep-konsep metafisika Yunani seperti Al-Farabi hingga Ibnu Sina yang mencampuradukan antara agama dan filsafat, menjadikan Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa hal ini sama saja dengan mencampuradukan antara kebenaran dengan kekeliruan.

Terlebih ketika para filosof muslim tersebut yang pada awalnya hanya membicarakan tentang konsep wujud (yang ada) secara abstrak, malah berlanjut pada pembahasan tentang Allah, nubuwat, ta’wil hingga gnosis (makrifat).[3]

Salah satu pembahasan para filosof muslim adalah tentang al-illah at-tammah (sebab yang cukup). Dari hal ini menjadikan al-ma’lul (objek penyebabnya) menjadi abadi karena dua hal tersebut tidak bisa dipisahkan. Hal ini merupakan kesalahan fatal menurut Ibnu Taimiyyah apabila membahas sosok Allah.

Meskipun pemikiran tersebut sangat filosofis, namun dapat menjeremuskan pada implikasi religius yang serius. Ia menyatakan bahwa tidaklah mungkin bahwa penciptaan dunia ini muncul tanpa ada unsur kesengajaan dari Allah. Keyakinan seperti inilah yang menurutnya datang dari para Nabi. 

Kritik Silogisme Yunani dengan Nalar Al-Mizan

Perlu untuk diketahui bahwa yang menjadi landasan utama dalam membangun argumennya di sini adalah kritik kerasnya terhadap konsep silogisme yang berasal dari Aristoteles.

Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa silogisme hanya sekadar mengandung hipotesa, bukan sesuatu yang faktual. Dalam silogisme, inferensi yang hadir hanya berpacu pada premis tanpa harus melihat dan mempertimbangkan konten dari proposisi tersebut benar atau salahnya. Hal ini menurut Ibnu Taimiyyah menjadikan gaya penalaran tersebut mengandung kontradiksi yang kronis.

Contoh silogisme:

Premis satu: “Semua minuman keras itu haram”.

Premis dua: “Semua anggur itu minuman keras”.

Kesimpulan: “Semua anggur itu dilarang”.

Padahal yang menjadi pertanyaan di sini adalah apakah semua anggur itu pasti haram? Tentunya tidak, karena memabukan atau tidak dapat ditinjau dari kondisi anggur tersebut, bukan digenelarisir dengan cara bernalar seperti itu.[4]

Dari krititiknya terhadap silogisme, Ibnu Taimiyyah mengemukakan bahwa sebenarnya Al-Qur’an sudah mengajarkan konsep bernalar yang seharusnya. Logika tersebut dikenal dengan qiyas.

Menurut Ibnu Taimiyyah, qiyas dapat digunakan sebagai metode untuk mencapai pengetahuan yang sejati. Melihat konsep Al-Mizan (timbangan) sebagai analoginya yang memiliki sisi kanan dan kiri dalam mengukur berat sesuatu, ia memberi gambaran bahwa tiang dari timbangan tersebut merupakan konsep qiyas.

Sedangkan kedua sisi diibaratkan sebagai konsep persamaan dan pertentangan pada logika induktif. Ibnu Taimiyyah menggambarkan konsep persamaan sebagai al-mutamatsilain dan pertentangan sebagai al-mutakhalifain. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah merupakan tokoh muslim yang mempelopori gaya berpikir induktif pertama di dunia Islam.[5]

Contoh qiyas:

Dari sebuah hadis Nabi Muhammad Saw:

“Dan pada persetubuhan salah seorang di antara kalian bernilai shadaqah.” Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kami menyalurkan syahwatnya lalu ia mendapat pahala karenanya?’ Rasulullah berkata: Bagaimana menurut kalian jika ia menyalurkannya kepada yang haram, bukankah ia akan mendapat dosa? Demikian pula jika ia menyalurkannya kepada yang halal, maka ia akan mendapat pahala.”

Dari hadis tersebut dapat dilihat diambil konsep persamaan dan pertentangan. Bila dilakukan qiyas atasnya, dapat diraih sebuah kesimpulan yakni antara persetubuhan yang dilakukan oleh para sahabat pada istri-istrinya akan mendapat pahala apabila disalurkan kepada yang halal sebagai qiyas sahihnya, begitu juga sebaliknya akan mendapat dosa apabila disalurkan kepada yang haram.

Referensi:

Rahman, Fazlur, 1987, Islam, terj. Senoaji Saleh, Jakarta: Bina Aksara.

Madjid, Nurcholish, 2020, Ibn Taimiyyah tentang Kalam dan Falsafah, Jakarta: Murcholish Madjid Society.

Saleh, Isman, “Penalaran Profetik Perspektif Ibnu Taimiyyah (Kritik Ibnu Taimiyyah terhadap Silogisme Yunani)”, dalam Tsaqafah: Jurnal Peradaban Islam, Vol. 15, No. 2, 2019.

 

[1] Fazlur Rahman, Islam, terj. Senoaji Saleh (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 234-235.

[2] Nurcholish Madjid, Ibn Taimiyah tentang Kalam dan Falsafah (Jakarta: Nurcholish Madjid Society, 2020), hlm. 38.

[3] Ibid, hlm. 43.

[4] Isman Saleh, “Penalaran Profetik Perspektif Ibnu Taimiyyah (Kritik Ibnu Taimiyyah terhadap Silogisme Yunani)”, dalam Tsaqafah: Jurnal Peradaban Islam, Vol. 15, No. 2, 2019, hlm. 240.

[5] Ibid, hlm. 243-244.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Muhammad Ihza Fazrian

Mahasiswa program studi Akidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pegiat diskusi forum Balai Sunyi. Minatnya berkutat seputar isu-isu keislaman, filsafat, dan tasawuf.