Cinta Eksistensialis Sartre: Seni Mencintai Secara Sederhana

slider
20 Mei 2024
|
837

Perspektif paling umum mengenai cinta adalah bahwa cinta itu sebuah hubungan antara dua insan manusia yang demikian indahnya. Oleh karenanya, cinta menjadi sesuatu yang pantas diperjuangkan. Segala daya dan upaya dikerahkan untuknya. Akan tetapi, perspektif yang sangat positif mengenai cinta seperti itu pada realitanya justru berpotensi menimbulkan dampak yang negatif dan destruktif.

Mengagungkan cinta sedemikian rupa berpotensi membuat seseorang jatuh ke dalam penghambaan yang berlebihan. Dalam istilah kekiniannya disebut bucin (budak cinta). Ia menjadi kehilangan kontrol terhadap dirinya. Akhirnya, terjadi pemaksaan kehendak agar cintanya terbalas, keputusasaan hidup ketika cintanya tak terbalas, dan pengorbanan harta benda atau bahkan tubuh yang direlakan begitu saja akibat penghambaan secara buta kepada cinta.

Agaknya perlu menggeser sedikit persepsi kita tentang cinta. Kita perlu mencoba memandang cinta sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Kita tentu sepakat bahwa cinta termasuk relasi antar manusia (antara aku dan yang aku cintai), sebab cinta dan mencintai selalu berkaitan dengan yang dicintai. Dari perspektif relasi antar manusia inilah perspektif cinta yang biasa-biasa saja.

Cinta di sini akan ditempatkan dalam sudut pandang pemikiran eksistensialisme Jean-Paul Sartre. Relasi antar manusia atau relasi dengan yang lain menjadi pokok pembahasan filsafat eksistensialisme. Pemilihan Sartre di sini karena ungkapannya mengenai relasi antar manusia yang unik sekaligus ekstrem. Ia mengungkapkan bahwa neraka adalah orang lain.

Tentu akan sangat memakan ruang jika harus menjabarkan seluruh pemikiran Sartre. Di sini akan dipilih beberapa pokok pikiran Sartre yang berkaitan dengan pandangannya mengenai relasi antar manusia. Selanjutnya, dari pokok pikiran tersebut barulah ditarik sebuah hubungan untuk menjabarkan cinta dari sudut pandang relasi antar manusia menurut eksistensialisme Sartre.

Eksistensi vs Esensi

Sebelum memasuki pandangan mengenai eksistensi dan esensi, perlu dijabarkan terlebih dahulu gagasan mengenai dua cara berada. Menurut Sartre, di dunia ini ada dua cara berada. Dua cara berada tersebut adalah être-en-soi (ada-pada-dirinya) dan  être-pour-soi (ada-bagi-dirinya).

Être-en-soi (ada-pada-dirinya) merupakan cara berada yang begitu saja atau cara berada yang tidak sadar. Cara berada ini merupakan cara berada dari dunia materiil yang tampak kepada saya (manusia). Hal ini dapat meliputi  anorganik dan organik (kecuali manusia). Dengan kata lain, être-en-soi merupakan cara berada sesuatu yang tidak mampu atau tidak memiliki upaya mengubah dirinya sendiri.

Contohnya adalah kursi, ya sudah kursi adanya begitu saja (misalnya untuk tempat duduk, lama-lama rusak, dan seterusnya). Contoh lain misalkan ayam, ya begitu saja adanya ayam (misalnya kalau subuh berkokok, kalau bertelur berisik, dan seterusnya). Maka, dapat dikatakan être-en-soi adalah cara berada sesuatu yang terikat erat pada kodrat, esensi, atau hakikatnya.

Être-pour-soi (ada-bagi-dirinya) merupakan cara berada yang sadar. Cara berada ini hanya khas pada manusia. Ciri dari cara berada ini adalah menidakkan (menegasikan). Manusia memiliki kemampuan untuk selalu menegasikan tentang dirinya.

Dalam aktivitas menyadari diri saya, maka ketika itu saya juga menyadari bahwa: saya bukan ini, saya bukan itu, dan seterusnya. Misalkan saya menyadari hari ini sedang di perpustakaan, maka di saat yang sama saya menyadari bahwa saya bukan: rak buku, kursi, meja, dan lain-lain.

Kesadaran yang menegasikan berarti juga memungkinkan manusia membuat perubahan tentang dirinya. Misalnya bahwa hari ini saya menjadi orang baik karena sudah membantu seorang pengemis, di saat yang sama pula saya menyadari bahwa mungkin besok saya bukan orang baik lagi, mungkin bisa menjadi orang jahat.

Bertens dalam Pengantar Filsafat (2017) menyatakan karena cara berada manusia adalah être-pour-soi dengan ciri khas menegasikan, maka dalam pandangan Sartre manusia tidak memiliki esensi mutlak (satu kali untuk selamanya). Menurut Sartre, manusia eksis terlebih dahulu, baru kemudian ia mempunyai esensi. Mula-mula manusia ada begitu saja (ia terlempar dalam faktisitas), lalu ia eksis melalui tindakannya yang kemudian menentukan esensinya.

Esensi manusia selalu berubah-ubah tergantung apa yang dilakukannya. Contohnya adalah ketika saya mengajar mahasiswa, barulah di situ dapat disebut saya memiliki esensi sebagai dosen. Akan berubah ketika saya kemudian menulis novel, puisi, cerpen, barulah saya dapat disebut memiliki esensi sebagai sastrawan. Dengan demikian, pandangan Sartre membalikkan pandangan terdahulu yang menyatakan bahwa manusia memiliki esensi mutlak dan manusia bereksistensi untuk memenuhi esensinya yang sudah ditetapkan itu.

Kebebasan dan Tanggung Jawab

Pandangan Sartre yang menganggap bahwa eksistensi mendahului esensi berimplikasi bahwa kebebasan sangatlah penting. Kemampuan manusia untuk selalu menidak secara langsung juga menyatakan kebebasannya. Karena manusia mampu untuk selalu menidak, maka dalam pandangan Sartre kebebasan manusia bersifat sebebas-bebasnya, dalam kata lain tidak terbatas.

Manusia dikutuk untuk bebas”, demikianlah ungkapan Sartre. Kebebasan yang tidak terbatas justru menimbulkan kecemasan pada diri manusia. Ketika manusia menyadari bahwa dirinya memiliki kebebasan penuh, artinya eksistensinya sepenuhnya ditentukan oleh dirinya sendiri.

Sartre memberi contoh berikut. Ketika saya berada di pinggir tebing yang curam dan saya menoleh ke bawah, di situ timbul kecemasan. Saya dapat memilih untuk terjun ke bawah atau mundur secara pelan-pelan. Tidak ada yang memaksa saya untuk menyelamatkan hidup saya dan tidak ada yang menghalangi diri saya untuk terjun ke dalam jurang.

Dari contoh yang diberikan oleh Sartre itu, dapat dibaca bahwa kebebasan penuh yang dimiliki manusia untuk bereksistensi selalu otomatis berkaitan dengan risiko yang sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya sendiri. Manusia akan berada dalam tegangan keputusan dan risiko yang menyertainya. Misalkan saya memilih untuk tidak belajar malam ini sedangkan besok ujian, maka risikonya adalah nilai hasil ujian akan jelek dan saya sendiri yang menanggungnya, bukan orang lain.

Tegangan antara kebebasan dan tanggung jawab membawa manusia pada situasi yang disebut nausea (situasi memuakkan, mual, ingin muntah). Dengan kebebasannya, manusia akan selalu berhadapan dengan kemungkinan-kemungkinan. Manusia akan selalu menghadapi ketidakpastian.

Relasi dengan Orang Lain dan Mauvaise Foi atau Bad Faith

Sartre menganggap bahwa relasi dengan orang lain memiliki dasar berupa konflik. Ketika manusia berelasi, diam-diam selalu terjadi pertarungan untuk menjadikan objek satu sama lain. Akibatnya manusia sebagai individu yang awalnya memiliki kebebasan penuh kemudian secara tiba-tiba kebebasannya terbatasi oleh kehadiran orang lain. Hal inilah yang menjadi latar belakang munculnya ungkapan neraka adalah orang lain.

Bertens dalam Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis (1985) menyatakan bahwa relasi dengan orang lain selalu mengenai bahwa saya merupakan objek-bagi-dia-sebagai-subjek atau orang lain merupakan objek-bagi-saya-sebagai-subjek.

Konflik saling menjadikan objek ini dapat terjadi dengan terus terang maupun secara kompromi. Contoh tentang kemungkinan kedua adalah kebersamaan dalam satu kelompok. Dalam bentuk relasi ini saya bersekutu dengan orang lain untuk mengalahkan pihak ketiga. Bersama-sama kita menjadi objek dihadapan pihak ketiga atau bersama-sama kita membuatnya menjadi objek dihadapan kita. Kita menjadi solider. Pihak ketiga menjadi musuh bersama yang mengalihkan kita untuk melupakan persaingan dan bersama-sama mengobjektifikasi pihak ketiga itu.

Mengenai relasi dengan yang lain (termasuk juga orang lain) terdapat konsep dalam filsafat eksistensialisme Sartre yang disebut mauvaise foi. Mauvaise foi atau bad faith merupakan sebuah sikap yang tidak otentik. Bad faith terjadi ketika seseorang menggantungkan eksistensinya pada sesuatu yang lain (termasuk orang lain). Orang ini hidup berdasarkan esensi-esensi yang sudah tersistematisasi oleh sesuatu yang lain itu.

Setyo Wibowo dalam Mengenal Eksistensialisme Sartre (2023) memaparkan ilustrasi Sartre mengenai bad faith. Ilustrasi yang diberikan Sartre adalah seorang pelayan kafe. Dalam hal ini pelayan kafe menggantungkan hidupnya pada institusi tempat ia bekerja, juga kepada bosnya. Implikasinya, ia harus hidup berdasarkan esensi seorang pelayan kafe yang baik.

Misalkan setiap ada pelanggan harus mengucapkan selamat datang, apa yang bisa saya bantu, lalu tata cara membawa hidangan, dan lain-lain. Tentu tidak dapat disangkal dalam benak pelayan kafe itu ada respon menidak terhadap semua ketentuan itu. Akan tetapi, karena dia takut untuk menidak yang dalam hal ini berarti ia takut terhadap kebebasan yang dimilikinya, ia lebih memilih untuk eksis berdasarkan esensi yang sudah tersistematisasi itu.

Cinta dalam Sudut Pandang Eksistensialisme Sartre

Sebagaimana telah disinggung diawal, bahwa cinta termasuk dalam relasi dengan orang lain. Fahruddin Faiz dalam Ngaji Filsafat 187: Jean Paul Sartre-Cinta Eksistensialis, memaparkan bahwa cinta juga dapat dipandang memiliki dasar berupa konflik. Ketika kita jatuh cinta dengan seseorang, selalu ada objektifikasi satu sama lain.

Objektifikasi itu muncul dalam bentuk harapan dan ekspektasi. Kita akan memiliki harapan dan ekspektasi mengenai orang yang kita cintai. Berlaku juga sebaliknya, orang yang kita cintai juga memiliki harapan dan ekspektasi mengenai diri kita. Timbul keinginan agar orang yang kita cintai itu menjadi seperti versi yang kita inginkan.

Cinta yang dasarnya konflik sekaligus menjadikannya memiliki ciri penuh paradoks. Seolah-olah cinta itu adalah pembebasan, ternyata adalah penguasaan. Begitu kita menjalin relasi dengan orang lain, akan selalu secara otomatis terkandung aturan-aturan yang mengekang. Dari sini berarti cinta sebenarnya membatasi kebebasan kita yang pada awalnya penuh.

Ketika memasuki situasi seperti ini, orang yang jatuh cinta akan berada dalam tegangan antara mempertahankan dirinya sebagai subjek yang otentik atau menyesuaikan diri dengan ekspektasi orang yang dicintai yang berarti menjadi objek. Kebanyakan dari mereka jatuh dalam dua kemungkinan jenis relasi, dua-duanya menjadi objek, atau salah satunya mendominasi sebagai subjek dan menguasai yang lain sebagai objek. Hal ini cukup untuk memberi penjelasan mengapa banyak orang ketika jatuh cinta rela melakukan hal-hal yang di luar nalar dan terkesan berlebihan demi orang yang dicintai.

Bila sudah demikian, artinya manusia jatuh ke dalam bad faith. Ia kehilangan kontrol terhadap dirinya sendiri. Ia menggantungkan hidupnya sepenuhnya kepada orang yang dicintai. Ia memiliki kecemasan dan ketakutan akan kehilangan apabila tidak menjadi seperti versi yang diinginkan oleh orang yang dicintai.

Seni Mencintai Secara Sederhana

Menarik untuk meninjau ulang gagasan Sartre mengenai kebebasan manusia yang menurutnya tidak terbatas. Ada semacam paradoks di sini. Jika kita ingin benar-benar bebas, jalan satu-satunya adalah kesendirian. Akan tetapi hal ini tidak mungkin. Kehadiran yang lain selalu merupakan sebuah faktisitas (keadaan, sebuah fakta yang tidak dapat dihindari). Artinya, kita tidak dapat lari darinya. Kita hanya dapat mengelola diri kita sendiri dalam hal menyikapi kehadiran yang lain itu.

Titik tolak anggapan Sartre bahwa manusia memiliki kebebasan penuh, dalam hal ini menimbulkan pertanyaan: bukankah artinya manusia juga memiliki kebebasan untuk memilih menjadi otentik atau berkompromi dengan yang ada di masyarakat? Bukankah ketika jatuh cinta, artinya manusia juga bebas memilih untuk bersikeras mempertahankan dirinya sebagai subjek atau melakukan kompromi dengan pasangannya? Ketika manusia secara sadar memilih di antara keduanya, ia juga sadar dengan risiko yang otomatis akan menyertai dan menjadi tanggung jawabnya.

Beberapa pertanyaan tersebut dapat menjadi titik pijak untuk apa yang disebut sebagai menjalani cinta secara biasa-biasa saja. Di sini cinta disadari sebagai sama seperti jenis relasi yang lain yang titik mulanya adalah konflik saling mengobjekkan.

Dengan kesadaran seperti ini, artinya saya menyadari bahwa diri saya sebagai subjek yang otentik, demikian juga orang yang saya cintai adalah subjek yang otentik. Bentuk kesadaran seperti ini sekaligus menyatakan bahwa saya sadar tidak mungkin untuk mengobjektifikasi orang yang saya cintai secara berlebih dan menuntutnya untuk memenuhi semua objektifikasi itu.

Kesadaran demikian harus dimiliki oleh dua pihak yang saling mencintai, tidak bisa jika hanya salah satunya saja. Oleh karena itu, untuk mewujudkannya diperlukan sebuah kompromi. Maka di sinilah peran penting dari yang namanya komunikasi dalam sebuah hubungan.

Selain komunikasi, tujuan dari sebuah hubungan juga berperan agar dua orang yang saling mencintai menjadi solider untuk mencapai tujuan. Arah tujuan yang jelas dalam hubungan seolah-olah menjadi pihak ketiga yang mendamaikan konflik objektifikasi yang terjadi. Bisa dibayangkan jika sebuah hubungan cinta tanpa komunikasi dan tidak memiliki arah tujuan yang jelas, sudah pasti akan terasa tidak bermakna, memuakkan, dan justru runyam.

Apabila kesadaran seperti itu sudah terbentuk di kedua belah pihak, maka bad faith dapat diminimalisir. Artinya, memang akan tetap ada ketergantungan kepada pasangan tetapi tidak sepenuhnya. Dalam hal ini, sisa ketergantungan kepada pasangan yang masih ada itu sudah menjadi risiko akibat kebebasan manusia yang dapat memilih untuk berkompromi.

Cinta eksistensialis Sartre sebenarnya semacam gambaran untuk mencintai secara sederhana. Seni mencintai secara sederhana di sini bertolak dari kesadaran bahwa terjadi konflik objektifikasi. Kesadaran ini justru sekaligus akan meminimalisir ekspektasi dan tuntutan berlebih. Selanjutnya, atas dasar kebebasan penuhnya yang otomatis diikuti tanggung jawab, manusia dapat memilih untuk berkompromi. Hubungan cinta yang selalu mencari jalan tengah untuk konflik objektifikasi memungkinkan mereka menjadi solider.

Dengan demikian, justru dimungkinkan munculnya jenis relasi yang ketiga. Relasi tersebut adalah subjek-subjek: sebuah sintesis dari dua jenis relasi sebelumnya dalam cinta yakni objek-objek dan subjek-objek. Relasi subjek-subjek menjadikan manusia akan tetap dapat mencintai satu sama lain tanpa kehilangan kontrol terhadap dirinya sebagai subjek yang otentik.

 

Referensi:

Bertens, K. 1985. Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Bertens, K., Ohoitimur, J., & Dua, M. 2017. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Ngaji Filsafat 187: Jean Paul Sartre - Cinta Eksistensialis edisi Cinta Eksistensialis, bersama Dr. Fahruddin Faiz, di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, pada Rabu, 28 Februari 2018.

Wibowo, Setyo. 2023. “Mengenal Eksistensialisme Sartre”, dalam https://youtu.be/mN0bsLtISW4?si=36gLM0j7GTS-TPr1


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Femas Anggit Wahyu Nugroho

Lahir di Pati, Jawa Tengah. Mahasiswa Universitas Muria Kudus. Pengikut setia Ngaji Filsafat melalui Youtube. Penyuka seni, sastra, dan filsafat. Beberapa tulisannya dimuat di media online lain