Bersahabat dengan Alam

slider
28 Juli 2021
|
2530

Pernahkah kita berpikir bahwa kerusakan-kerusakan yang ada di bumi ini disebabkan oleh manusia itu sendiri? Atau pernahkah terlintas dipikiran kita bahwa terjadinya bencana alam yang marak diwartakan di berbagai media sosial dan cetak itu terjadi dengan sendirinya atau memang secara kebetulan? Sebagai makhluk-Nya yang dilimpahi daya berpikir, manusia sepatutnya menyikapi beragam hal yang terjadi, utamanya berkaitan dengan alam secara menyeluruh, baik itu dari aspek internal maupun eksternal.

Salah satu metode agar manusia lebih mengenal tentang alam beserta isinya ditawarkan oleh Seyyed Hoseein Nasr melalui ecosophy. Cara ini memberikan penegasan bahwa manusia bukanlah penguasa dan penakluk segala hal yang ada di sekitarnya, melainkan sebagai makhluk di bumi yang memiliki kedudukan sama. Oleh sebab itu prinsip ecosophy memiliki kesamaan dengan ekosentrisme.

Alam yang kita kenal dengan manifestasi ayat-ayat Tuhan hendaknya kita jadikan pembelajaran untuk mendekatkan diri kepada Maha Pencipta sekaligus Maha Pemilik alam itu sendiri. Namun sayangnya, manusia modern cenderung meminggirkan-Nya dari problem alam yang tengah terjadi. Hasilnya mereka merasa cemas terhadap bahaya perang, krisis ekologi, polusi udara dan air, serta kelangkaan sumber daya alam.

Hal ini menuai kritik tajam dari Seyyed Hossein Nasr. Katanya, “Siapa pun yang sadar akan situasi dunia modern pasti tahu bahwa masalah paling mendesak, setidaknya di level material, yang dihadapi dunia adalah krisis lingkungan, hancurnya keseimbangan antara manusia dan lingkungan alamnya. Islam dan ilmu-ilmunya membawa pesan yang sangat penting dan tepat yang dapat membantu memecahkan, sejauh mungkin, tantangan besar dunia ini secara keseluruhan. Namun sayangnya, pesan ini hanya mendapat sedikit perhatian dari muslim modern itu sendiri sampai saat ini.”

Melihat banyaknya kerusakan alam yang terjadi di bumi, manusia modern seolah-olah menjauh dari konsep cinta kepada kebijaksanaan (philosophia) dan malah benci terhadap kebijaksanaan (miso-sophia). Situasi ini bisa dilihat dari beragam alat dan teknologi yang terus dikembangkan justru membuat manusia modern jauh dari Tuhan, dan cenderung mendewakan akalnya untuk memecahkan segala permasalahan yang ada di sekelilingnya.

Kerusakan lingkungan adalah buah dari upaya manusia modern untuk memandang alam sebagai tatanan realitas yang secara ontologis berdiri terpisah dari lingkungan ilahiyah, padahal tanpa berkah ada dari-Nya lingkungan dapat menjadi sekarat. Apabila manusia tetap merasa mampu mengatasi kerusakan alam tanpa menghadirkan unsur ilahi, maka esensi dari khalifatullah kemungkinan akan sulit terealisasi.

Prinsip ecosohpy yang ditawarkan Seyyed Hossein Nasr mengajarkan manusia untuk tunduk sepenuhnya kepada Tuhan. Adanya sunnatullah hendaknya dijadikan bahan renungan untuk dipedomani dan dipahami untuk memenuhi hak-hak setiap apa yang ada di bumi. Dengan menghubungkan isi alam dan keberadaan Tuhan,  mungkin dapat menjauhkan manusia dari corak antroposentris sekaligus mengikis rasa jumawa bahwa, manusia adalah makhluk yang paling istimewa di alam raya.

Dalam memahami alam, manusia juga perlu membaca ayat-ayat ilahi yang terbagi menjadi dua, yaitu tadwini dan takwini. Ayat tadwini adalah ayat-ayat Tuhan yang tertulis di dalam Al-Qur’an, yang cara penggaliannya dengan membaca huruf-huruf yang telah terkodifikasi. Sedangkan ayat takwini merupakan ayat-ayat Tuhan yang diwujudkan dengan alam semesta yang cara penggaliannya dengan membaca realitas-realitas yang ada. Ketika manusia mampu menangkap kandungan yang terdapat di dalam dua ayat ilahi ini, maka pengetahuan dan kesadaran ketuhanan pun akan tercermin dengan sendirinya.

Selain itu, di dalam ecosophy juga diajarkan untuk melihat alam sebagai teofani. Maksudnya ialah melihat dengan cara mencerminkan kehadiran Tuhan dalam alam dan bentuk-bentuknya. Tuhan menjadi pusat, sedangkan alam dan manusia merupakan manifestasi dari sifat-sifat Tuhan. Hakikat dari pengajaran tauhid seperti ini terwujud dari alam, manusia, dan Tuhan yang diramu dalam relasi yang holistik.

Adapun sosok manusia yang ideal digambarkan di dalam ecosophy sebagai manusia primordial, yaitu manusia yang senantiasa berada dalam eksistensi dirinya sebagai khalifah yang menjaga alam. Di lain sisi, ecosophy tidak mengajarkan untuk menjadi manusia promothean, yaitu manusia yang melawan Tuhan. Karena itu dapat mengingkari eksistensi dirinya sebagai makhluk dan pada akhirnya berbuat semena-mena sampai memicu kerusakan terhadap alam.

Dalam bukunya Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man, Seyyed Hossein Nasr menguraikan tentang makna dan sisi spiritual alam. Menurutnya, “Tidak boleh dilupakan bahwa bagi manusia non-modern-baik kuno maupun kontemporer-segala sesuatu di alam semesta memiliki aspek sakral. Kosmos berbicara kepada manusia dan semua fenomenanya mengandung makna. Mereka adalah simbol dari tingkat realitas yang lebih tinggi yang sekaligus terselubung dan terungkap dalam kosmos. Struktur kosmos itu sendiri mengandung pesan spiritual bagi manusia dan dengan demikian merupakan wahyu yang datang dari sumber yang sama dengan agama itu sendiri. Keduanya adalah manifestasi dari akal universal, logos, dan kosmos itu sendiri.”

Memang adanya perbedaan paradigma modern dan tradisional dalam memandang alam telah membuat lingkungan menjadi tidak bersahabat dengan manusia. Wajar jika ragam bencana alam dan kerusakan lingkungan terjadi di banyak tempat. Sebenarnya itu semua memiliki keterkaitan dengan manusia modern yang terlalu mengeksploitasi alam tanpa mempertimbangkan hal yang akan terjadi setelahnya. Dalam kondisi ini paradigma modern perlu belajar dari paradigma tradisional untuk mengembalikan kesakralan alam sebagai manifestasi kehadiran Tuhan.

Sebagai bentuk perhatian dalam menjaga alam sekitar, Seyyed Hossein Nasr merumuskan dua agenda yang dapat diejawantahkan, terutama untuk dunia Islam. Pertama, merumuskan kembali nilai-nilai kearifan perennial Islam mengenai tatanan alam seperti; 1). Konsep tentang alam, 2). Hubungan alam dengan manusia, 3). Telaah kritis terhadap ilmu pengetahuan modern, dan 4). Signifikansi ilmu pengetahuan Islam tradisional yang tidak hanya dilihat sebagai bagian dari pengetahuan Barat, tetapi merupakan bagian integral tradisi intelektual Islam itu sendiri.

Kedua, memperluas pemahaman ajaran syariah mengenai laku etis terhadap lingkungan alam dan memperluas bidang aplikasinya sesuai dengan prinsip syariah itu sendiri. Misalnya seperti perintah-perintah syariah tentang pemeliharaan dan pelestarian alam, serta menumbuhkan perasaan dan sikap bersahabat dengan makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang lain.

Setelah tahu prinsip-prinsip yang terkandung di dalam ecosophy seperti uraian di atas, pertanyaannya kemudian adalah, masih pantaskah kita sebagai manusia menyalahkan aspek eksternal tentang adanya kerusakan alam dan lingkungan sekitar tanpa menginsyafi keluputan aspek internal di dalam diri kita?


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Rahman Ali Fauzi

Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah. Setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru.