Berfilsafat Itu Berefleksi

07 Juli 2019
|
1230

Judul: Sebelum Filsafat: Pemahaman Awal Untuk Para Peminat Filsafat | Penulis: Fahruddin Faiz | Penerbit: FA PRESS, Yogyakarta | Tebal: 152 halaman | Terbit: Cetakan I, 2014 (Cet II, III, dan seterusnya diterbitkan oleh MJS Press, Yogyakarta)

Filsafat itu susah dan menyusahkan. Filsafat itu ribet dan meribetkan. Filsafat itu bahaya dan membahayakan. Seperti itulah asumsi bagi sebagian dari mereka kala bertemu dengan kata ‘filsafat’. Berdasarkan hasil pembacaan saya, buku yang ditulis oleh Fahruddin Faiz yang berjudul Sebelum Filsafat Pemahaman Awal Untuk Para Peminat Filsafat (2014) hadir sebagai satu terapi mental bagi siapa saja yang mengasumsikan filsafat sebagai sesuatu yang berat. Beberapa argumentasi terkait hasil pembacaan saya tersebut bisa ditemukan mulai dari kata pengantar hingga penyajian pada bab-bab pembahasan selanjutnya. Di bagian pengantar, misalnya, Pak Faiz menegaskan bahwa, “Buku ini secara umum memang banyak berisi petunjuk untuk persiapan-persiapan mental bagi mereka yang ingin belajar filsafat dan tertarik dengan dunia filsafat.”

Sebenarnya buku Sebelum Filsafat ini tidak hanya sebagai persiapan mental awal bagi peminat filsafat, tetapi juga sekaligus menjadi terapi mental bagi mereka yang sudah lama sekali mendengar kata ‘filsafat’ namun masih sering ‘trauma’ dengan kata tersebut. Padahal bisa jadi sebagian yang trauma itu salah paham dan atau belum benar-benar paham atau tidak mau paham dengan filsafat.

Kehadiran buku Sebelum Filsafat yang tersaji dalam lima belas topik pembahasan ini tentu menjadi guide bagi peminat filsafat. Asumsi awalnya sebagai petunjuk bagi peminat filsafat, maka buku ini ditulis dengan bahasa yang renyah, mengalir, dan tentu mudah dipahami. Sejatinya sebagai petunjuk jika tidak bisa dipahami tentu akan sia-sia belaka. Selain itu, tulisan dalam buku ini ditulis dengan ringkas. Harapannya agar buku ini bisa menjadi teman dikala menunggu bus di halte, antri pengobatan di rumah sakit, berjejer bersama nasabah di bank, atau pun di saat menunggu dosen di kelas.

Beberapa hari yang lalu saya berbincang dengan seorang teman Pascasarjana. Dalam perbincangan tersebut, kami menyoroti betapa sebagian percakapan dalam dunia media sosial itu sangat tidak terkontrol, atau bahkan liar. Bila pengguna media sosial itu, katakanlah, mereka yang bukan pendidik dan orang terdidik secara formal, tanpa bermaksud membandingkan dengan yang selainnya, maka cara komunikasi di media sosial bisa kita tolerir. Namun mereka itu orang terdidik, namun tetap termakan oleh bola liar isu apa saja tanpa pernah mempertanyakan kembali kebenaran hal tersebut. Dari perbincangan saya sama teman itu semacam melahirkan pertanyaan: jangan-jangan mereka tidak pernah ‘berfilsafat’ selama ini?

Berangkat dari pertanyaan di atas, saya kira penting untuk, setidaknya memperkenalkan buku Sebelum Filsafat yang ditulis oleh Fahruddin Faiz guru kami sekaligus pengampu Ngaji Filsafat di Masjid Jendral Sudirman ini. Saya mempertimbangkan ada beberapa hal dalam topik buku ini yang perlu saya garis bawahi. Setidaknya hal yang ingin saya tegaskan ini dalam kacamata pembacaan saya. Topik yang saya maksud adalah sebagai berikut.

Apa itu filsafat?

Dalam topik ini, Pak Faiz ingin tegas mengatakan bahwa semua manusia itu pernah berfilsafat. Bermula dari lontaran pertanyaan-pertanyaan, rasa ingin tahu dan kebingungan lainnya mengenai hal-hal yang paling mendasar mengenai dirinya sendiri. Begitu anak manusia lahir ke dunia kemudian akal pikiran mereka berfungsi, sebenarnya dari situlah pergumulan pertanyaan filsafat itu dimulai. Siapa sebenarnya aku? Mengapa aku ada di bumi ini? Apa yang harus aku lakukan dan jangan aku lakukan? Bagaimana caraku mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku? Bagaimana aku menguji kebenaran jawaban-jawaban yang ‘disediakan’ oleh lingkungan sekelilingku tentang pertanyaan-pertanyaanku? Dan seterusnya. Dari perjumpaan seribu bahkan sejuta pertanyaan dengan realita kehidupan di sekeliling kita itulah jalan filsafat dimulai. Pak Faiz menyebutkan bahwa, “Pertanyaan tentang hakikat hidup dan kehidupan manusia lalu dimulailah sebuah petualangan luar biasa... FILSAFAT.

Jadi, apa itu filsafat? Secara sederhana, Pak Faiz mendefinisikan bahwa:

“Filsafat adalah kisah pergumulan dan perjuangan manusia memahami dunia dan eksistensi serta esensi hidupnya. Begitu akal dan pikiran manusia berfungsi, saat itu pula aktivitas kefilsafatan dimulai. Begitu seorang anak lahir dan akalnya tumbuh sempurna, ia pun akan mulai mempertanyakan apapun disekelilingnya, dan saat itulah aktivitas kefilsafatan dimulai.”

Definisi di atas benar, sebab ujung dari pengejaran atas pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tadi adalah untuk memahami dunia dan eksistensi serta esensi hidup dengan benar. Namun kita jangan membayangkan bahwa pergumulan dan perjuangan ini biasa. Ini sangat menantang dan luar biasa. Sehingga, dalam catatan Pak Faiz, sedikit orang yang sanggup memelihara stamina intelektualnya dalam mengejar jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dasar kehidupan tersebut. Pada akhirnya banyak orang menerima begitu saja jawaban-jawaban yang tersaji di ruang sosial dan memilih mengejar hal-hal yang dianggap mudah.

Mengapa harus berfilsafat?

Pertanyaan mengapa harus berfilsafat kiranya cukup penting, karena ini mengantarkan kita—mengutip kata-kata Buya Hamka—pada hidup tidak sekedar hidup. Dalam pokok pembahasan ini, Pak Faiz berangkat dari satu asumsi yang berasal dari salah satu jargon Socrates. Beliau mengutip jargon Socrates, bahwa, “The unexamined life is not worth living” (Hidup yang tidak diuji adalah kehidupan yang tidak berharga).

Dengan mengasumsikan bahwa hidup ini tidak bernilai jika tidak diuji, maka menguji apakah hidup kita sudah bernilai atau belum itu penting. Bahwa hidup tidak boleh dibiarkan mengalir begitu saja, tidak boleh dibiarkan berjalan apa adanya tanpa tahu harus ke mana atau untuk apa atau mengapa harus demikian. Lebih lanjut Pak Faiz mempertegas bahwa hidup itu harus diuji, harus diketahui, direncanakan dan dipahami, kemudian dijalankan dalam alternatif terbaiknya.

Jadi, kita tidak benar-benar mengetahui apakah hidup kita sudah bernilai atau belum. Kita belum menyadari bahwa hidup kita sudah berjalan sesuai dengan pilihan sadar. Bahkan boleh jadi kita tidak paham bahwa jangan-jangan hidup kita ini hanya mengandalkan rutinitas belaka, mengikuti kata orang atau hanya disetir oleh arus teknologi dan globalisasi informasi yang setiap hari kita konsumsi.

Karena itu, kita butuh yang namanya filsafat. Melalui filsafat kita diajarkan untuk hidup tidak hanya ikut arus, apalagi arus yang salah. Filsafat menginginkan kita hidup dengan sadar untuk diuji terlebih dahulu. Filsafat mengajak kita untuk hidup penuh makna. Dalam catatan Pak Faiz bahwa bisa disebut manusia atau tidak sebenarnya terletak dalam bagaimana seseorang bisa memberi makna kepada hidupnya sendiri dan hidup dalam kebermaknaan itu.

Sikap mental seorang filosof

Mungkin kita menganggap bahwa dengan mempelajari filsafat dari titik start yang berbeda-beda itu sudah memenuhi kualifikasi untuk menjadi filosof. Ada yang belajar filsafat dengan mulai membaca sejarah filsafat klasik sampai zaman kontemporer. Ada yang berangkat dari tema per tema. Ada juga yang mulai mengkaji, meminjam istilah Pak Faiz, petak-petak “sawah” filsafat baik bagian ontologi, epistemologi, aksiologi maupun logika.

Niat dan usaha menguasai filsafat seperti cara di atas, sah-sah saja. Namun beliau menekankan: perlu diingat bahwa kita tidak boleh berhenti hanya sampai pada titik itu. Jika kita berhenti hanya pada pijakan itu, maka kita hanya mendapatkan gelar “ahli filsafat” dan belum apa-apa hanya dengan menghafal dan memahami pemikiran orang lain.

Karena itu, Pak Faiz menambahkan bahwa selain kita membaca semua filsafat dari beragam sudut sesuai keinginan kita memahaminya, kita juga perlu berefleksi sendiri, berpikir dan mendayagunakan intelegensi sendiri, tentang tema-tema atau fokus kajian yang kita minati. Baru kemudian kita mengembangkan pengetahuan yang sudah kita peroleh itu sesuai versi kita sendiri. Mengapa harus sesuai versi sendiri? Sebab dengan perangkat wawasan filsafat yang kemudian direfleksikan terus menerus akan bisa digunakan untuk menjawab tuntutan realitas ruang dan waktu yang pas dengan kita sendiri. Adapun untuk orang lain—sebagaimana ungkapan saya—itu adalah bonus.

Jadi, sejauh pembacaan saya terkait topik ini bahwa yang menjadi inti sikap mental seorang filosof adalah refleksi. Merefleksikan segala wawasan yang sudah kita peroleh. Merefleksikan laku kita dalam ruang sosial. Merefleksikan sikap dan perbuatan kita apakah sudah benar atau belum.

Selain tiga topik bahasan yang saya soroti di atas, sebenarnya dalam buku Sebelum Filsafat ini masih ada topik-topik lain yang sangat bermanfaat sebagai pemahaman awal para peminat filsafat. Di antara topik yang belum saya singgung antara lain, Filsafat: antara Produk dan Alat, Menjadi “Bijaksana” dengan Filsafat, Petak-petak “Sawah” Filsafat, Dari Mitos Menuju Logos, dan yang tidak kalah menarik adalah topik bahasan Membaca Teks Filsafat, Menulis Teks Filsafat serta Siap Menjadi Filosof?

Saya meyakini, setelah tuntas membacanya, bahwa sajian-sajian yang disuguhkan oleh Pak Faiz dalam buku Sebelum Filsafat ini bisa menjadi titik pijak ketika kita ingin benar-benar mengetahui sesuatu, khususnya berfilsafat dan filsafat. Demikian.

Selamat membaca!


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ismail

Mahasiswa Pascasarjana Interdisciplinary Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga, Santri Ngaji Filsafat