Berangkat Dari Al-Qur’an

slider
08 Juni 2022
|
1690

Judul Buku : Fenomena Berislam | Penulis : Aksin Wijaya | Penerbit : IRCiSoD | Tahun : Juni, 2022 | ISBN : 978-623-53480-02-5

Sebagaimana buku-bukunya yang lain, buku ini masih belum terlepas dari kajian penulisnya dari domain al-Qur’an. Ia adalah guru besar dalam bidang Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir yang akhir tahun lalu dikukuhan. Bagi saya, buku-buku Aksin tidak pernah gagal untuk menawarkan hal-hal baru. Baik bukunya yang semula hanya tesis, Menalar Autentisitas Wahyu Tuhan (2020), hingga buku yang merupakan disertasinya, yakni Menafsir Kalam Tuhan (2021). Kecenderungan tulisannya kerap mencoba untuk membentur pemikiran umat Islam yang oleh beberapa orang diklaim beku.

Ia menjadikan Al-Qur’an sebagai suatu objek kajian, namun dengan pisau yang berbeda. Kegandrungannya pada hermeneutika menjadikan domain keilmuan yang diklaim berasal dari Yunani ini sebagai salah satu pendekatan. Di beberapa bukunya, ia memang kerap menjelaskan terkait dengan model-model dari hermeneutika; hermeneutika teoretis, filosofis, hingga kritis. Meski bosan, saya kerap menjumpainya dan hal tersebut mungkin memang segaja terus diulang-ulang. Kendati demikian, daya kritis Aksin sendiri memang tajam.  

Jika seseorang membaca bukunya yang berjudul Menalar Autentisitas Wahyu Tuhan (2020), maka akan mendapati bagaiaman ia secara praksis menggunakan hermeneutik. Terlepas dari apakah metode hermeneutika ini disepakati di kalangan muslim atau justru ditentang.

Di dalam buku itu, misal, ia menggunakan model hermeneutika negosiatifnya Khaled Abou El-Fadl. Sebuah upaya untuk mendialogkan secara kreatif antara teks dan konteks dari penafsir serta negosiasi antara teks, pembaca, dan penggagas (hal, 89).

Buku Fenomena Berislam (2022) ini dimulai dari penjabaran—bagi saya lebih terhadap perkenalan—ihwal tafsir maqashidi. Berbeda dengan corak tafsir yang selama ini sudah masyhur di telinga. Corak yang satu ini memang relatif baru, meski embrionya sudah lampau—maqashidq as-syariah dalam usul fikih-yang selanjutnya bertransformasi menjadi tafsir maqashidi sebagai upaya menyingkap tujuan-tujuan nash.

Selain sebagai pembaruan pemikiran, bagi Aksin, corak tafsir yang satu ini mencoba menengahi antara skriptualis-tekstual dan liberal-substansialis. Ia masih dalam proses pembentukan, sehingga hal yang paling utama dalam menghakimi rias tafsir yang satu ini adalah apresiatif-kritis.

Hal terpenting dari gagasan-gagasannya tentang Al-Qur’an bahwa ia tidak hendak memonopoli makna itu sendiri. Bagi Aksin, Al-Qur’an adalah korpus resmi terbuka yang selalu membuka lebar terhadap pembacaan dan pemaknaan. Dengan kata lain, Al-Qur’an akan menemukan maknanya sesuai dengan pengalaman dan konteks dari mufasir.

Berbeda musfasir, maka berbeda pula hasil dari pembacaan terhadap teks tersebut. Maka negasi terhadap monomakna Al-Qur’an adalah hal yang niscaya. Tidak ada namanya ketunggalan makna dalam diskursus tafsir Al-Qur’an.

Meski ia berbicara banyak terkait dengan Al-Qur’an, bukan berarti ia meninggalkan aspek lain yang masih menjadi selingkung Al-Qur’an. Dalam pembacaannya secara kritis saat agama Islam dahulu dapat diterima dengan cepat, Aksin mencoba membaca Al-Qur’an yang disandingkan dengan eksplanasi-eksplanasi sejarah.

Secara teologis, kita mengimani bahwa masyarakat jazirah Arab menerima Islam musabab dari keagungan agama tersebut. Bagi penulis buku ini, hal tersebut tidak cukup. Ada faktor-faktor lain yang menjadi agama Islam lebih banyak dipeluk dibanding agama-agama lainnya.

Fanatisme kesukuan adalah faktor yang dimaksud. Kualitas personal dari orang yang membawanya—dalam hal itu Kanjeng Nabi Muhammad Saw—menentukan Islam dapat diterima dengan lapang. Di sisi yang bersamaan kita dapat melihat hal ini sebagai upaya politis dari keberadaan Muhammad sebagai nabi.

Kualitas personal-kesukuan Kanjeng Nabi tersebut yang membuat orang Arab lebih memilih untuk berlabuh kepada agama Islam, daripada Yahudi dan Nasrani. Satu hal lagi bagi saya yang menarik, Aksin mencoba untuk mengkritik asosiasi negatif yang dilekatkan pada bangsa Arab waktu itu, seperti jahil, bodoh, dan sebaginya.

Sebuah pembahasan yang cukup sensitif di dalam buku ini dijadikan penutup. Terkait dengan Isa al-Masih dan setiap kejadian rumit yang terjadi kepadanya. Saya katakan ini cukup sensitif karena tidak hanya terkait dengan keimanan orang Islam, melainkan agama samawi lainnya (baca: Yahudi dan Nasrani).

Di dalam kelahiran Isa, misal, orang-orang Yahudi mengklaim bahwa ibunda Isa melakukan hubungan badan sehingga mempunyai anak. Artinya, dalam konsepsi orang Yahudi zaman itu, kelahiran Isa al-Masih dianggap sebagai anak jadah. Di seberagnya justru berdiri orang-orang Nasrani yang dengan kukuh percaya pada kesucian Maryam, disertai dengan klaim bahwa Isa adalah anak Allah.  

Tetapi, menurut Aksin, klaim kaum Nasrani ini juga masih mengambang. Apakah yang dimaksud anak tersebut adalah anak biologis, atau hanya sebatas metaforis? Jika jawabannya adalah yang pertama, maka hal ini bertentangan dengan banyak ayat-ayat di kitab suci Al-Qur’an. Mengutip perkataan Ma’ruf ar-Rashafi bahwa, tidak lain Allah adalah zat yang supranatural dan tidak membutuhkan hubungan biologis. Implikasinya Allah tidak beranak dan diperanakkan, sebagaimana dalam Al-Ikhlas [112: 3].

Masih terkait dengan problem Isa al-Masih ini, tepatnya mengenai terangkatnya Isa ke langit atau sisi Allah. Padahal Allah tidak berada di suatu tempat, sekali pun itu tempat di atas. Allah adalah zat yang tidak terbatas, sehingga Dia tidak mungkin dibatasi oleh alam atau ruang dan waktu yang terbatas.

Semua bab dan pembahasan sepanjang buku ini hakikinya memang berangkat dari Al-Qur’an. Sekali pun ada beberapa problem kontemporer, semisal kekerasan dalam beragama, penulisnya lantas menyiasati bantahannya dengan landasan teks teologis.

Kajian yang serba luas ini juga menjelaskan bahwa, sisi-sisi Al-Qur’an memang tidak pernah terbatas. Bahkan, sampai seluruh lautan menjadi tinta dan daun di seluruh dunia jadi kertasnya, tidak akan sanggup menampung keluasan kandungan kitab itu. Buku ini hanya salah satu dari sekian banyak buku yang mencoba mengkaji Al-Qur’an dari ragam persepektif—baik masyrik maupun magrib.            


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Moh. Rofqil Bazikh

Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Meski bukan pembaca yang rajin, ia menaruh minat pada kajian keislaman dan usul fikih. Tulisan-tulisannya telah tersebar di berbagai media cetak dan online. Bermukim di Sapen, Sleman, Yogyakarta.