Ada Ikaros di Ekonomi Dewasa Ini
Judul : Talking to My Daughter about the Economy: Sejarah Singkat Kapitalisme | Penulis : Yanis Varoufakis | Penerjemah : Ninus Andarnuswari | Cetakan : Pertama, April 2022 | Ukuran : x + 134 hlm; 15 cm x 23 cm | ISBN : 978-602-481-811-1
Pembaca yang budiman, masih ingatkah dengan legenda dari Yunani kuno, Ikaros? Bagaimana ia menyalahgunakan sayap buatan ayahnya, Daidalos, yang terbuat dari bulu dengan perekat lilin? Ikaros dan ayahnya yang kala itu dikurung oleh Raja Minos di sebuah labirin, mencoba untuk melarikan diri, dan jalur yang mungkin digunakan hanya melalui udara. Sehingga dibuat dan digunakanlah sayap oleh ayah dan anaknya itu.
Sebelum memulai aksinya, sang ayah mengingatkan Ikaros untuk tidak terbang terlalu tinggi hingga mendekati matahari, juga tidak terbang terlalu rendah. Namun, ketika berhasil terbang, Ikaros teramat senang. Ia lupa diri dan merasa dirinya dewa. Ia terbang tinggi dan semakin tinggi hingga mendekati matahari. Karena ulahnya itu sayap-sayapnya pun meleleh. Ia jatuh dan tenggelam di lautan.
Masyarakat pasar dewasa ini, bagi Yanis Varoufakis cenderung sama cerobohnya dengan cerita Ikaros di atas. Awalnya, kita merayap perlahan-lahan, bersusah-payah menuju ketinggian berupa otomatisasi dengan harapan bekerja menggunakan tenaga dan biaya produksi sedikit mungkin tetapi meraup laba sebanyak-banyaknya.
Pelbagai daya dan upaya terus dilakukan, mulai dari mesin uap abad ke-18 hingga teknologi canggih dewasa ini. Perlahan, cita-cita tersebut menampakkan wujudnya. Penurunan biaya produksi sedikit demi sedikit memang terjadi. Akan tetapi, di samping itu, tenaga kerja manusia juga perlahan didesak keluar dari proses produksi seiring dengan berbagai teknologi baru yang diterapkan.
Proses otomatisasi ini, jika dibiarkan melanggeng begitu saja tanpa kendali dan keseimbangan, akan memiliki akhir tak kalah tragis dari Ikaros. Bagaimana tidak? Ketika teknologi mencapai titik lepas landasnya, biaya produksi merosot drastis karena otomatisasi terwujud. Dalam keadaan tersebut intervensi manusia pada proses produksi menjadi sangat sedikit. Itu artinya, sebagian besar manusia yang lain terlempar dari lapangan pekerjaannya dan dibiarkan tanpa penghasilan sama sekali.
Di sisi lain, pengusaha yang mempekerjakan robot-robot otomatis tadi mungkin lupa, kalau robot-robot tidak membeli dan menggunakan produk hasil usahanya. Alhasil, di sinilah Ikaros menemui sayap-sayapnya telah meleleh: ekonomi anjlok dan badai krisis menerjang.
Alih-alih menentang laju perkembangan teknologi, Yanis Varoufakis di buku Talking to My Daughter about the Economy-nya ini justru mengajak pembaca untuk memahami perihal ekonomi serta perkembangan kapitalisme berbasis teknologi hari ini. Yanis juga menilik ulang visi dan misinya orang-orang yang disebut oleh Max Tegmark sebagai golongan Utopia Digital: yang menganggap kehidupan otomatisasi merupakan langkah alamiah. Oleh karenanya harus diwujudkan sesegera mungkin.
Menyukai teknologi dan manfaatnya yang luas untuk planet ini merupakan satu hal, dan anteng-anteng saja menonton sejarah sementara umat manusia diubah bertahap menjadi pembangkit energi ala The Matrix adalah hal lain–apalagi karena itu menggerogoti hal yang membuat ekonomi tetap hidup, manusia (hlm, 87). Yanis seolah ingin mengulangi ucapan Neil Postman bahwa, setiap teknologi adalah berkah sekaligus beban, bukan salah satu dari keduanya.
Kita sudah dalam keadaan darurat. Kita butuh cara untuk memanfaatkan secara penuh potensi teknologi tanpa secara berkala menghancurkan hidup umat manusia sampai akhirnya, memperbudak diri kita demi segelintir orang. Satu-satunya cara untuk menuju ke situ adalah, pendistribusian ulang yang bisa diproduksi oleh mesin-mesin melalui kepemilikan bersama atas mesin-mesin itu (hlm, 90).
Yanis Varoufakis melaui buku relatif tipis ini meyakini bahwa, ekonomi yang merupakan hajat hidup umat manusia terlalu penting untuk diserahkan kepada segilintir orang, para ekonom. Awam sudah seharusnya mengambil alih ekonomi itu sendiri, dan menyadari bila kalangan yang mendaku pakar eknomi hampir selalu salah.
Seperti halnya filsafat ataupun ilmu-ilmu lainnya, yang semakin rumit cara penyampaiannya, semakin banyak tokoh-tokoh agung yang harus dihapalkan, maka akan semakin jauh jaraknya dari masyarakat, begitu pula ekonomi. Bagi Yanis, semakin ilmiah model eknomi, semakin lemah relasinya dengan kenyataan yang ada di luar sana (hlm, vii). Padahal, menjamin bahwa semua orang bicara tentang ekonomi tanpa sungkan, menjadi prasyarat bagi masyarakat yang baik, serta prakondisi untuk demokrasi yang sejati, katanya.
Terakhir, coba bayangkan anak-anak kita, atau keponakan, atau siapa pun yang masih kecil-kecil itu bertanya kepada kita perihal ekonomi? Untuk menjawabnya, tentu dengan menghindari diktum-diktum rumit, pilihan bijaknya adalah dengan berusaha mencarikan gaya bahasa yang sederhana dengan dibumbui alegori-alegori agar mudah dipahami.
Yanis Varoufakis di buku ini melakukan hal yang demikian. Kerinduan kepada anaknya, Xenia, yang hampir selalu tak hadir dalam hidupnya dituangkan dalam percakapan-percakapan imajiner perihal ekonomi dengan gaya bahasa yang sederhana; alegori dari dunia kuno, serta film-film kontemporer yang mengalir di tiap-tiap bab sebagai penggambaran atas gagasan-gagasan ekonomi yang ada di buku ini.
Oleh karena itu, buku ekonomi yang satu ini agaknya berbeda dari lainnya. Pembaca dibuat tak perlu mengernyitkan dahi ketika membacanya. Dan seharusnya buku ekonomi memang begitu. []
Category : resensi
SHARE THIS POST