Status Anxiety: Diri yang Cemas Sibuk Mengejar Validasi
Saat ini, kita hidup di zaman dimana keberhasilan diukur dari seberapa banyak yang kita punya, bukan siapa diri kita sebenarnya. Tak sedikit dari kita hidup dalam kondisi yang rentan secara batin. Baik itu merasa tidak cukup, tidak berhasil, tidak penting, dan lebih parah dari semua itu adalah merasa tak layak dihargai. Seorang filsuf bernama Alain de Botton menyebut gejala ini sebagai status anxiety atau kecemasan status sosial.
Status anxiety merupakan sebuah fenomena psikologis dan kultural yang semakin umum dan marak dalam masyarakat modern. Kecemasan ini tidak sesederhana gugup menjelang presentasi atau merasa takut gagal saat hendak ujian. Kecemasan itu lebih eksistensial seperti merasa takut bahwa kita sebagai manusia, mungkin tidak dianggap berarti oleh lingkungan sekitar yang disebabkan karena tidak memiliki status yang terlihat.
Kecemasan status bukan semata lahir dari kelemahan secara personal. Ia adalah hasil dari dunia yang membentuk logika sosial berdasarkan perbandingan, ranking, dan pencapaian eksternal. Kita dibentuk untuk percaya bahwa nilai kita ditentukan oleh jabatan, pendapatan, pendidikan, atau popularitas. Ketika kenyataan kita tidak sesuai dengan ekspektasi itu atau bahkan hanya berbeda sedikit, maka muncullah rasa malu, minder, dan dorongan untuk mengejar pengakuan.
Dunia Menyamaratakan Martabat dengan Pencapaian
Alain de Botton mengidentifikasi beberapa penyebab utama sumber status dari fenomena status anxiety atau kecemasan status sosial ini, yakni kehadiran ekspektasi sosial yang tidak realistis; muncul karena ekspektasi dalam masyarakat modern yang sangat tinggi. Lewat media sosial, seringkali semakin memperparah hal ini. Lini masa beranda sosial media kita dipenuhi pencapaian orang lain, mulai dari kelulusan, promosi, pernikahan, pencapaian finansial dan sebagainya.
Dalam budaya modern ini, kegagalan seakan tidak punya ruang untuk diceritakan. Kita pun akhirnya jadi terdorong untuk menyembunyikan luka, menutupi kegagalan, lalu merasa semakin sendiri. Banyak penderitaan hadir bukan karena kenyataan yang buruk, tetapi karena harapan yang tidak realistis. Padahal tidak selalu yang dimiliki orang lain cocok untuk kita.
Selain itu, sistem yang meritrokrasi bahwa setiap orang akan mendapatkan apa yang diusahakannya. Konsep ini sekilas memang terdengar adil, tetapi jika dimaknai lebih dalam bisa berubah menjadi beban psikologis yang luar biasa. Sebagai contoh ketika seseorang mengalami kegagalan, individu akan merasa sepenuhnya bersalah karena dianggap “tidak cukup berusaha” atau “tidak cukup kompeten”. Padahal, mungkin saja ada faktor X lainnya, dunia kerja, ekonomi, bahkan kesempatan sosial yang tidak pernah benar-benar setara.
Selanjutnya adalah snobbery. “Snobb” adalah sebuah tindakan dimana orang dinilai hanya berdasarkan satu aspek hidupnya secara dangkal, lalu digeneralisir ke semua hal. Sebagai contoh menilai seseorang lebih tinggi karena mereka seorang dokter, guru, atau pejabat. Hal ini membuat orang berlomba-lomba untuk mengejar sesuatu yang membuat ia dihormati. Selain itu, mereka menjadi mengabaikan kompleksitas dan martabat manusia yang sejati.
Terakhir adalah dependensi atau ketergantungan pada pendapat orang lain. Di zaman serba teknologis ini, sebuah like, komentar, atau ucapan selamat bisa terasa seperti oksigen. Kita cukup mengandalkannya untuk merasa diri menjadi berharga. Sayangnya, saat validasi itu tidak datang, atau dirasa kurang banyak, kita kembali merasa tidak cukup. Ketika terlalu bergantung pada pandangan orang lain, perlahan akan mengikis relasi kita dengan diri sendiri, dan menggantinya dengan validasi social: “Siapa saya bergantung pada bagaimana orang lain memandang saya”. Akhirnya identitasnya menjadi rapuh, mudah goyah, kehilangan otonomi, membuang diri sendiri demi kesan orang lain.
Ketika Kasih Sayang Hilang, Gengsi Mengambil Alih
Menurut Botton, sumber terdalam dari status anxiety adalah lovelessness atau kehilangan kasih sayang. “Only as we mature does affection begin to depend on achievement.” Hanya saat kita dewasa, kasih sayang mulai bergantung pada pencapaian: ia menjadi bersyarat. Terkadang kita lebih kejam kepada diri sendiri, kita tidak mencintai diri kita. Padahal, pengakuan sejati adalah bentuk dari cinta. Secara naluriahnya, setiap dari kita ingin dianggap, dimengerti, dihargai bukan sebatas karena pencapaian, tetapi karena keberadaan. Namun, ketika kasih sayang direduksi menjadi sekadar alat tukar sosial, manusia akan mencari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Ketika mengalami kondisi tersebut kita cenderung mulai menampilkan citra, bukan jati diri. Menyusun pencitraan, hal-hal yang kelihatannya menyenangkan orang lain. Lebih parah, spiritulitas kadang kita gunakan untuk menambah nilai jual diri kita di mata orang lain, bukan sebagai penyembuhan luka dalam diri. Sepanjang hidup seakan menjadi proyek tanpa henti untuk “membuktikan diri”, padahal kita tidak benar-benar tahu membuktikan kepada siapa.
Jalan Keluar: Berhenti Membandingkan, Mulai Mengoptimalkan Potensi
Dalam mengatasi semua hal ini, solusi yang ditawarkan Alain de Botton bukan jalan pintas, melainkan undangan untuk memahami ulang cara kita melihat dunia. Botton menawarkan lima jalur meredakan anxiety, yaitu filsafat, seni, politik, agama, dan gaya hidup bohemia.
Filsafat, kata Botton, bukan hanya milik akademisi, tetapi filsafat adalah cara hidup. Filsafat bisa kita jadikan sebagai sumber ketenangan ketika merasa gelisah terhadap status sosial, penilaian orang lain, dan tekanan untuk “berhasil”. Filsafat membantu kita membebaskan pikiran dari jebakan opini publik dan penilaian dangkal.
Dari Socrates kita belajar bahwa hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tak layak dijalani. Dari Epicurus menekankan bahwa kebahagiaan bukan berasal dari status tinggi. Kita belajar bahwa kebahagiaan datang dari mengendalikan apa yang bisa dikendalikan dan merelakan sisanya. Filsafat mengajak kita menerima keterbatasan manusiawi dengan rendah hati dan bijak.
Seni, dalam hal ini adalah katarsis. Seni dapat menjadi ruang di mana rasa malu bisa diubah menjadi puisi, kegagalan menjadi lukisan, dan kesederhanaan menjadi narasi yang indah. Seni tidak memberi kita jawaban, tetapi ruang untuk bernapas. Ia menyadarkan bahwa kehidupan manusia biasa pun pantas dihargai dan dimaknai.
Sebagai contoh banyak karya seni menggambarkan orang miskin, pekerja keras, dan sebagainya. Namun, seni membuat tempat dalam sejarah bagi mereka yang dilupakan oleh sistem status sosial. Ketika seni sampai kepada orang lain dan memiliki kisah yang sama, akhirnya memberikan validasi emosional dan membantu merasa tidak sendiri lagi.
Politik hadir bukan hanya dalam parlemen, tetapi juga dalam kesadaran sosial. Perlu diingat, bahwa sistem status itu buatan manusia, sangat mungkin saja sistemnya tidak adil. Ketidakadilan secara struktural adalah kenyataan dan banyak dari kecemasan status yang kita alami sesungguhnya merupakan gejala dari sistem sosial-ekonomi yang timpang. Saat kita menyadari hal ini, akan membantu kita menghindari rasa bersalah yang berlebihan, dan mengarahkan energi kita untuk memperjuangkan perubahan bersama, bukan hanya saling menyaingi.
Agama, dalam pandangan Alain, adalah pengingat bahwa semua manusia setara di hadapan Tuhan. Agama tidak memeta-metakan manusia dari perlombaan status duniawi, dan menawarkan standar kemuliaan seperti ketakwaan, keikhlasan, kasih sayang. Agama mengajarkan bahwa hanya Tuhan yang berhak menilai manusia, bukan sesama manusia. Hal ini bisa membuat orang fokus pada hubungan vertikal bukan sekadar validasi sosial. Agama yang otentik tidak memamerkan moral, tetapi menumbuhkan ketenangan batin yang dalam. Agama menawarkan cinta tanpa syarat sehingga membebaskan manusia dari rasa harus membuktikan diri agar diterima.
Gaya hidup bohemia adalah pilihan untuk tidak ikut dalam perlombaan perihal status sosial. Bohemia adalah dunia para seniman, penyair, filsuf jalalan, dan pecinta kebebasan yang tidak hidup untuk mengejar status. Bohemia menolak standar sosial mainstream bukan karena ingin tampil beda, tetapi karena ingin hidup yang sebenarnya. Dalam dunia yang seragam, keaslian adalah bentuk perlawanan yang paling tulus. Lebih baik menjadi diri kita sendiri meskipun compang-camping daripada hidup mewah tetapi palsu.
Mengendalikan Keinginan, Menata Lingkungan
Selain uraian di atas, Botton—sebagaimana pemaparan Pak Faiz dalam Ngaji Filsafat 472: Alain de Botton - Kecemasan Status Sosial—mengajak kita untuk menata ulang relasi kita dengan keinginan. Kecemasan muncul bukan semata karena kita gagal dalam memenuhi kebutuhan standar, melainkan karena kita tidak tahu cara membatasi keinginan sekunder.
Setiap kita ingin diakui, tetapi sering lupa kapan harus berhenti mengejar. Kita juga ingin sukses, tetapi tidak meyakini bahwa sukses itu seharusnya punya definisi personal, bukan definisi publik.
Karena itu, memilih lingkungan sosial yang sehat tentu menjadi penting. Memperhatikan dengan siapa kita berteman, memilih sahabat yang tidak mengukur nilai kita dari pencapaian eksternal, akan menjadi terapi tersendiri. Saat kita sudah berada dalam lingkungan yang mendukung pertumbuhan, bukan kompetisi, secara tidak langsung akan membantu kita merasa cukup tanpa harus membuktikan diri setiap waktu.
Penutup: Martabat Manusia Tidak Tumbuh dari Gengsi
Kecemasan status sosial adalah gejala yang nyata, menyakiti lapisan paling dalam dari kehidupan manusia modern. Ia akan sulit disembuhkan dengan prestasi atau banyak pencitraan. Kita hanya bisa mengurainya dengan keberanian dan kejujuran, untuk pelan-pelan melepaskan topeng, dan kembali kepada nilai diri sendiri yang tak tergantung pada komentar orang.
Diri kita tidak terbatas oleh apa yang orang lain pikirkan tentang kita. Diri kita juga tidak ditentukan dengan seberapa banyak yang kita punya. Nilai diri manusia tumbuh dari kesadaran, bukan gengsi, dan dari kasih sayang, bukan kompetisi. Akhirnya, yang paling damai bukan mereka yang paling sukses secara sosial, tetapi mereka yang paling bisa berdamai menerima dirinya sendiri.
Referensi:
Ngaji Filsafat 472: Alain de Botton - Kecemasan Status Sosial edisi Kekayaan: Antara Keinginan, Status, dan Makna bersama Dr. Fahruddin Faiz, M. Ag di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, pada Rabu, 25 Juni 2025.
Category : catatan santri
SHARE THIS POST