Nasihat-Nasihat Religius Rusdi Mathari

slider
04 Juli 2020
|
1606

Kisah-kisah jenaka dari seorang Rusdi Mathari dalam banyak tulisannya mengandung banyak nasihat. Perlu kita perhatikan kembali, terkadang nasihat itu tidak hanya keluar dari qouli (ucapan) tetapi juga fi’li (perbuatan). Rusdi adalah seorang yang memiliki ilmu agama yang mumpuni, baik dibidang fikih ataupun ubudiah, juga seorang sastrawan dan wartawan.

Mungkin kita sering mendengar perkataan seperti ini, “Kalau ngaji harus ada gurunya”, dan biasanya ditambah argumentasi, “Kalau tidak ada gurunya, maka gurunya setan”. Dan satu lagi yang paling populer, “Harus ada gurunya, dan juga sanad keilmuannya harus diperhatikan”.

Perkataan demikian itu sering aku dengar, bahkan yang dapat aku ingat sejak masa kecil. Sekarang aku duduk dibangku kuliah pun masih sering mendengarnya. Perkataan tersebut tidak ada yang salah, namun perlu penjelasan di dalam diksi “guru”, dan juga bukankah setiap kita adalah murid dan setiap kita adalah guru?

Menyapa Rusdi Mathari

Rusdi Mathari lahir di Situbondo pada 12 Oktober 1967, meninggal di Jakarta pada 2 Maret 2018. Rusdi pernah bekerja sebagai wartawan lepas Suara Pembaharu (1990-1994), redaktur InfoBank (1994-2000), dan Detik.com, anggota staf PDAT majalah Tempo (2001-2002), redaktur majalah Trust (2002-2005), redaktur pelaksana Koran Jakarta (2009-2010), redaktur pelaksana BeritaSatu.com (2010-2011), pimpinan redaksi VHR Media (2012-2013), dan yang terakhir sebagai redaktur eksekutif Rimanews.com (2015-2017).

Pada masa hidupnya, Rusdi pernah menjadi peserta crash program reporter investigasi (ISAI Jakarta) di Bangkok, Thailland, serta pernah mendapat penghargaan untuk penulisan berita terbaik dari beberapa lembaga. Buku karyanya pun di antaranya merupakan ulasan kritik media berjudul Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan (Mojok, 2018). Begitu banyak perjalanan karir dan juga karya-karyanya, tetapi dalam kesempatan ini mari kita lihat pembelajaran sebagai nasihat dari kisah-kisah jenakanya.

Nasihat tentang keberadaan Tuhan

Pada suatu waktu di antara kita tentunya pernah menanyakan atau bertanya dalam diri kita sendiri, “Di manakah Tuhan?”. Barangkali dari pertanyaan ini yang melatari sinetron di stasiun televisi swasta yang tayang pada bulan Ramadhan. Pertanyaan tersebut sebenarnya simpel, tetapi terkadang menjebak kita sendiri.

Mengapa di sini saya menyatakan menjebak? Sebab memang ketika kita belum memiliki ilmu agama yang cukup, kita cenderung akan menanyakan “Tuhan itu ada di mana?”; “Di manakah Tuhan?”, dan berbagai pertanyaan sejenis lainnya. Sedangkan guru kita memberikan nasihat atas pertanyaan tersebut sebagai pertanyaan yang tidak pantas. “Ora ilok” kalau orang Jawa bilang. Dari keingintahuan jawaban atas pertanyaan di atas, ada sebuah kisah menarik, yaitu ketika seseorang menanyakan sebenarnya di mana Tuhan.

Suatu ketika ada seorang yang bertanya demikian, kebetulan sekali yang mengajukan pertanyaan adalah seorang yang bisa dikatakan terpandang di desanya. Karena ia selalu memikirkan dan membuatnya tidak tenang, datanglah ia kepada seorang yang dianggapnya bisa menjawab pertanyaannya “Di mana Tuhan?”.

Jawaban yang disampaikan bukannya langsung mengarah di mana Tuhan, tetapi mengambil lebih mudah dicontohkan seperti halnya ikan. Pernah tidak ikan itu keluar dan bertanya “Di mana air?”. Jelas sangat lucu sekali. Karena sejatinya si ikan sudah berada di dalam air selama ini dan masih menanyakan perihal keberadaanya. Seperti itu kiranya keberadaan Tuhan di mana. Dia sudah melingkupi kita, bahkan dari hembusan napas dan aliran darah kita. Jadi kalau masih menanyakan perihal keberadaan Tuhan, jawabannya, “Dia telah menyatu dan melingkupi kita sejak kita ada di dunia”.

Namun, semua itu kembali lagi pada keyakinan kita, sejauh mana kita meyakini-Nya. Terkadang ujian membuat kita bersikap pesimis akan pertongan-Nya, ya memang begitulah manusia. Namun rasa itu harus kita tepis, gunanya agar tidak telanjur patah hati terhadap Tuhan. Seperti latar bukunya Muhidin M. Dahlan, Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur (Scripta Manent, 2003), patah hatinya sang tokoh menjadikan pembenaran terhadap perbuatan yang dilakukannya seperti dalam novel.

Tentu bisa kita ajukan pendapat, apakah karena alasan demikian itu yang kemudian oleh si tokoh dijadikannya sebagai dasar pijakan untuk berbuat yang tidak semestinya? Mungkin iya, dan juga mungkin tidak, tetapi sebabnya adalah manusia memiliki akal. Akal yang dapat digunakan untuk peneguhan pembenaran atas perbuatan yang dilakukan. Akal juga yang menjadi pembeda antara manusia dan hewan. Kalau akal ini sudah tidak lagi sehat, apa perbedaan kita dengan hewan? Ketika dengan akal kita sudah memiliki banyak ilmu, kecerdasan yang mumpuni, namun ilmu kita tidak bertujuan kepada Tuhan, buat apa?

Nasihat tentang bangunan masjid

Pernah aku mengikuti rombongan ziarah Wali Songo, setiap tiba di tempat peziarahan, tidak jarang aku melihat bangunan masjid yang dibangun dengan kokoh dan begitu terlihat indah terletak di pusat kota. Bangunan tempat ibadah bisa berarti sebagai simbol dan sekaligus mengukur kepekaan tingkat spiritualitas masyarakat dan pemimpinnya.

Barangkali karena begitu fokus dengan pembangunan dan kemegahan tempat ibadah (masjid), ada yang lupa kita perhatikan, lupa akan kesejahteraan lingkungan masyarakat sekitar dan pendidikan anak-anak. Rusdi juga memiliki cerita dari kejadian semacam ini.

Di sebuah desa, terdapat bangunan masjid yang hampir selesai renovasi, bangunan masjid awalnya tergolong minimalis dan rencana akan diperluas dan dibangun megah. Kemegahan bangunan masjid tentu akan membuat bangga.

Fungsi utama masjid selain tempat beribadah, seharusnya juga bisa menjadi role model bagi kemaslahatan umat di sekitarnya, jangan sampai orang disekitar kita (masjid) menderita karena terlalu fokus memperindah bangunan, melupakan empati yang kekurangan, dan menepikan sisi humanitasnya masjid.

Dua nasihat Rusdi tersebut kiranya masih relevan untuk kondisi sekarang. Tak jarang pertanyaan atas keberadaan Tuhan menimbulkan keresahan batin, sampai menjadi pembenar untuk setiap perbuatan yang terlarang. Sejatinya Dia sudah meliputi kita. Sementara fokus masjid kian bertumbuh mewah dan megah, namun kemaslahatan lingkungan, umat, sedikit kurang menjadi fokus.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Rizky Rachmawan

Mahasiswa IAIN Surakarta Prodi Hukum Pidana Islam. Penulis berkecimpung di UKM LPM Dinamika.