Kultur Islam Masyarakat Mataram
Ngaji rutin Masjid Jendral Sudirman pada Selasa, 31 Januari 2023 diisi oleh akhinal kirom M. Yaser Arafat, mengulas kebudayaan Islam di Jawa dengan tema “Peradaban Islam Mataram”. Dalam hal ini ulasan yang disampaikan amat penting terkait catatan sejarah agar tidak terlapuk oleh waktu. Ulasan mengenai sejarah Islam di bumi Jawa apik untuk kita kulik kembali di sini.
Sebelum itu, Islam merupakan agama yang rahmatan lil alamin, begitulah singkapan yang sering kita dengar di setiap acara-acara pengajian. Letak geografis maupun sosial budayanya memengaruhi corak keislaman Jawa. Kiranya ini merupakan sebuah bentuk ke-rahmatan lil alamin-nya Islam yang penyebarannya tidak hanya di negeri gurun pasir saja. Tapi sampai ke wilayah yang terkenal dengan sebutan “Mataram” dengan corak dan kultur yang tidak bisa di singkirkan dari sejarah peradaban Islam di Indonesia.
Masuknya Islam di bumi Nusantara (khususnya Indonesia) berlangsung secara sistematis, terencana, dan tanpa kekerasan.[1] Islam ke Jawa, dalam konteks kebudayaan membawa dampak pada akulturasi Islam dan budaya Jawa, yaitu budaya yang telah hidup dan berkembang selama masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu Jawa.
Akulturasi Islam dan budaya Jawa dapat dilihat pada batu nisan, arsitektur (seni bangunan), seni sastra, seni ukir, dan berbagai tradisi perayaan hari-hari besar Islam. Akulturasi Islam dan budaya Jawa dapat dilihat pada tiap era kesultanan (kerajaan Islam) yang ada di Jawa, baik era Demak, era Pajang, maupun era Mataram Islam.[2]
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan paling tidak memiliki tiga wujud. Pertama, wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.
Kedua, wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dan masyarakat.
Ketiga, wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai tanda-tanda hasil karya.[3] Dalam tulisan ini akan menyajikan wujud kedua yaitu aspek kebudayaan pada corak peradaban sosial budaya Islam Mataram.
Sebelum masuk pada pembahasan era Mataram, penulis ingin mengajak pembaca untuk menilik sepintas kultur Islam masyarakat Mataram. Negeri Mataram terbagi ke dalam dua bagian telatah geografis, yaitu telatah utara dan telatah selatan.
Telatah utara dikenal sebagai negeri Ngeksintara, sekarang merupakan wilayah Pantura, sedangkan telatah selatan dikenal sebagai negeri Ngeksiganda. Kehadiran Islam menjadi semangat baru masyarakat Jawa, kehadirannya sekaligus memberikan inspirasi dan aspirasi bagi penataan baru.[4]
Corak dari ke dua wilayah ini memiliki perbedaan walaupun masih dalam satu telatah wilayah Jawa. Islam di bagian utara corak keislamannya cenderung diperlihatkan dan diungkapkan atau ditunjukkan. Berbeda dengan bagian selatan yang cenderung di simpan dalam lubuk hati.
Bila kita tarik garis lurus dari telatah utara ke arah timur akan menjumpai wilayah mulai dari Semarang, Demak, Kudus, Pati, Jepara, Lamongan, Tuban, Gresik, sampai Surabaya. Kalau ke arah barat mulai dari Kendal, Pekalongan, Pemalang, Tegal Cirebon, Indramayu, sampai ke Jakarta.
Telatah utara yang dikenal sebagai negeri Ngeksintara memiliki karakter Islam yang memang diperlihatkan seperti rajin ke masjid, rajin sedekah, dan beribadah. Sehingga jika orang yang dari telatah utara melihat orang telatah selatan yaitu negeri Ngeksiganda, menganggap bahwa mereka kurang Islam.
Kedua karakter tersebut dimulai ketika adanya pergeseran peradaban. Setelah masuk fase era kerajaan Demak 1478 M,[5] berangsur-angsur pindah ke selatan melalui wilayah Bawean, Salatiga, Boyolali, Pajang, dan sekitarnya, yang dikuasai oleh Joko Tingkir. Untuk itu, pada 1512 Sunan Giri memerintahkan kebijakan boyongan agung dengan memindahkan kekuasaan dari Ngeksintara (Utara) ke Ngeksiganda (Selatan) lewat rute Grobogan. Selama 1525-1540 adalah masa pengosongan Jepara, Demak, dan Prawoto menuju Pajang: sebagai transisi menuju Mataram.
Jika saat ini kita mengenal ada sembilan wali “Wali Sanga” sebenarnya bukan ada sembilan wali, tetapi “Wali Sang Ha” memiliki arti dewan yang memiliki banyak anggota wali, tidak hanya sembilan.
Peradaban yang dimulai dari Demak ini, para wali sebenarnya sudah tahu dan siap, bahwa nantinya akan dibuka sebuah peradaban baru di telatah Ngeksiganda. Inilah yang oleh Sunan Kalijaga ditandai dengan murid yang juga wali besar bernama Kiai Ageng Pandanaran, dikenal sebagai Sunan Bayat wilayah Klaten selatan dan Sunan Geseng yang memiliki makam di beberapa tempat.
Sunan Bayat pindah dari Surabaya ke Klaten atas perintah gurunya Sunan Kalijaga 1511 M, seiring dengan masuknya tentara Portugis ke wilayah Malaka untuk mencari rempah-rempah. Melihat rombongan Portugis mulai masuk ke Malaka, oleh para wali menjadi alasan akan terjadi peristiwa kehancuran peradaban.
Tempat makam Sunan Geseng di antaranya berada di Purworejo, Magelang, dan Kediri. Sebenarnya bukan makam, tetapi petilasan (tempat-tempat) beliau saat disuruh menuntun masyarakat untuk mempersiapkan tatanan baru itu. Adapun di wilayah selatan seorang wali bernama Syekh Maulana Maghribi, Parangtritis, ke barat ada Syekh Belabelu. Inilah yang nantinya disebut sebagai telatah Ngeksiganda, yang memiliki arti mencium keharuman. “Ngeksi” memiliki arti menyaksikan, sedangkan “ganda” berarti harum: karena menyaksikan keharuman itu tidak bisa jadilah mencium keharuman.
Jadi, merekalah orang-orang yang sudah dipersiapkan untuk membuka tatanan baru sebelum masuknya Kiai Ageng Pamanahan. Dimulai dari kerajaan Demak, setelah itu ke Pajang wilayah laweyan, baru kemudian membentuk ibu kota peradaban baru di Mataram. Jadi, bukan merupakan peristiwa gelutnya para wali dengan setan (demit). Tetapi karena memang sudah di setting oleh para wali sebelum Mataram menjadi kerajaan Mataram Islam di bawah tokoh yang juga mursyid thoriqoh bernama Panembahan Senopati, makanya kemudian disebut “Senopati ing ngalogo” yaitu orang yang mampu memerangi hawa nafsunya.[6]
Pada telatah Ngeksiganda yaitu di wilayah Yogyakarta, corak keislamannya cenderung dipendam. Jadi, mereka hanya bisa dilihat dari segi keharumannya (sikap) yang tampak yaitu lewat akhlakul karimah, atau perangai tingkah laku baiknya. Memang inilah corak dari keislaman yang ada di telatah selatan. Maka, jika di wilayah Jogja melihat orang yang tidak ke masjid itu tidak akan di cibir karena sudah menjadi hal yang lumrah. Bisa jadi mereka jamaah dengan keluarganya di rumah.
Sering terjadi pula, ketika hari-hari biasa masjid hanya penuh satu saf depan bahkan masih bolong-bolong. Begitu perayaan hari raya Idul Fitri atau Idul Adha, di dalam masjid sampai ke pinggiran jalan terpenuhi oleh para jamaah, bahkan ada yang sampai menutup jalan dan menyewa lahan warga. Aneh bin ajaib.
Pewarisan para wali yang berada di utara di antaranya Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gresik. Sedangkan di wilayah selatan ada Sunan Kalijaga, Sunan Pajang, Joko Tingkir, Sunan Bayat, Sunan Adhilangu, dan Panembahan Jaya Krana, merekalah yang mengawal berdirinya kerajaan Mataram Islam.
Perkembangan ini nantinya menjadi sebuah peradaban dari utara ke selatan, yang sebelumnya terlihat kemudian disembunyikan, yang sebelumnya menggunakan pakaian jubah disembunyikan seperti memakai lurik, batik, jarit, baju hitam, dan pakai ikat. Barulah kemudian lahir dua karakter keislaman di wilayah selatan yang sampai hari ini secara tersirat masih dilestarikan.
Pertama, karakter atau kelompok putihan, jika di kraton Jogja di lambangkan dengan pohon wringin yang ada di alun-alun utara sebelah barat. Pohon wringin tersebut bernama Kyai Dewadaru.
Tujuan dari memberikan nama kepada pohon ialah sebagai tanda pengingat rasa syukur atas pemberian nikmat Tuhan melalui alam. Adapun juga tradisi yang mengalir dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat Jogja dan sekitarnya ialah ketika hewan ternaknya lahiran atau panen kebun membuat syukuran (tumpengan). Karakter putihan ini adalah orang-orang yang kelihatan syariat dan ibadahnya tetapi rasa cintanya kepada Allah disembunyikan, bukan berarti mereka hanya memenuhi aspek-aspek syariat saja. Sebenarnya dalam hatinya terpaut kuat dengan Allah SWT.
Kedua, cemengan atau karakter hitam yaitu karakter yang jarang menampakkan ibadahnya, tapi sekalinya diundang tasyakuran seperti tahlilan dan kenduri pasti datang. Jika dalam sebuah acara karakter putihan biasanya menjadi pemimpinya dan yang cemengan hanya ikut-ikut saja. Tapi setelah hidangan datang seakan merekalah pemimpinnya. Hal ini mengingatkan saya pada analogi mesin dan roda motor, di mana karakter cemengan ini bergerak hanya mengikuti mesin (putihan) saja, tetapi sebenarnya ia mendahului mesin.
Lebih jelas lagi, jika di pedesaan atau daerah pedalaman wilayah selatan saat hari Jumat mereka seperti enggan untuk mendengarkan khutbah. Mereka lebih suka duduk nongkrong sambil rokokan di teras-teras rumah warga sekitaran masjid menunggu iqomat, bahkan ada yang berangkat ketika mendengar doa allahummaghfir. Bagi teman-teman yang memperhatikan doa sebelum shalat Jumat pasti paham. Jadi, jangan hanya menunggu shalat kemudian mengharap nasi bungkus. Itu lebih parah lagi namanya. Karena itu tadi, karakter cemengan ibadahnya itu dirahasiakan.
Tatanan Islam seperti ini mulai luntur pasca Perang Diponegoro 1425-1830 M. Habis sudah energi untuk Perang Diponegoro. Ada seorang sejarawan asal Inggris bernama Peter Carey meneliti selama 30 tahun kemudian menulis buku berjudul The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java, 1785-1855, yang menceritakan tatanan baru pasca Perang Diponegoro.[7]
Setelah perang tersebu, putihan dan cemengan hancur lebur (1900 M). Cemengan bergeser ke timur ditandai dengan simbol Kiai Joko Ndaru yang dikenal sebagai ahli kebatinan. Sementara putihan bergeser ke barat dengan simbol Kiai Dewa Ndaru, disebut sebagai santri.[8]
Setelah pergeseran tersebut, ada seorang peneliti bernama Clifford Geertz meneliti di Pare, Kediri, Jawa Timur, lalu menulis buku dengan judul Abangan, Santri, dan Priayi dalam Masyarakat Jawa. Inilah yang belakangan karakter cemengan disebut sebagai abangan yang jarang ke masjid, dan putihan disebut kaum santri yang rajin ke masjid.[9]
Sebenarnya sebutan-sebutan itu kurang tepat antara ‘santri’ putihan dan ‘cemengan’ abangan. Karena karakter cemengan ini sebenarnya juga sama-sama taat kepada syariat Allah, hanya saja ibadahnya disembunyikan.
Akhir kata penulis ingin bertanya, jika Anda orang Jawa termasuk karakter manakah Anda dari apa yang menjadi karakter masyarakat Mataram: Ngeksintara atau Ngeksiganda? Atau mau buat peradaban baru lagi?
[1] Nur Afidah, ”Perkembangan Islam pada Masa Kerajaan Demak”, dalam Jurnal Studi Islam dan Kemuhammadiyahan (JASIKA), Vol. 1, No. 1, 2021, hlm. 64.
[2] Donny Khoirul Azis, ”Akulturasi Islam dan Budaya Jawa”, dalam Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, Vol. 1, No. 2, 2013, hlm. 253.
[3] Muhammad Basri, Sejarah Peradaban Islam, Medan: Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, 2021, hlm, 4.
[4] Rizal Zamzami, ”Sejarah Agama Islam di Kerajaan Mataram pada Masa Penembahan Senapati (1584-1601)”, dalam JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam), Vol. 2, No. 2, 2018, hlm. 154.
[5] Muhammad Sabarudin, “Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan Sebelum Kemerdekaan”, dalam TARBIYA: Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Vol. 1, No. 1, 2015, hlm. 139.
[6] Sutrisna Wibawa, ”Nilai-Nilai Moral dalam Serat Wedhatama dan Pendidikan Budi Pekerti”, dalam Jurnal Cakrawala Pendidikan, Vol. 1, No. 3, 2010, hlm. 77.
[7] Peter Carey, The Power of Prophecy; Prince Dipanagara and the end of an old order in Java, 1785-1855, Leiden: Brill, 2008.
[8] Masuknya para peneliti dari Belanda dan Amerika yang kemudian menyebutkan bahwa istilah abangan sebagai sebutan atas karakter cemengan.
[9] Clifford Geertz, Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, perj. Aswab Mahasin, Bur Rasuanto, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.
Category : keislaman
SHARE THIS POST