Kaidah Dasar Perubahan Hidup

slider
13 Desember 2021
|
2900

Pada satu hari di tahun 1957, dalam suatu pertemuan di Banjarmasin yang diselenggarakan oleh institusi Kepolisian, Haji Abdul Malik Karim Amrullah berceramah. Ia menguraikan berbagai penyakit moral yang merebak di kalangan umat saat itu. Pergaulan bebas yang melanggengkan zina, beredar luasnya buku dan film porno serta majalah cabul, penggunaan narkotika, tawuran antarpelajar, sampai kebut-kebutan di jalan.

Setelah selesai ceramah, sesi tanya jawab berlangsung. Salah seorang hadirin mengajukan pertanyaan, “Apakah tidak sebaiknya dibentuk semacam Panitia Negara untuk mengatasi krisis akhlak yang telah sangat bersimaharajalela sekarang ini?”

Buya Hamka menjawab bahwa ia setuju dengan ide tersebut. Bahkan Hamka langsung menambahkan usul konkret, “Seluruh warga negara Indonesia menjadi anggota dari Panitia tersebut sekaligus setiap anggota diwajibkan mengurus, tidak usah banyak orang, cukup tiap orang mengurus satu orang saja, yaitu dirinya sendiri.”

Sepenggal kisah itu termaktub dalam buku berjudul Ghibah: Cemburu karena Allah buah pena Hamka. Jawaban Hamka tersebut mengajak kita untuk berpikir dan menyadari satu kaidah penting: perubahan mesti dimulai dari diri sendiri!

Karena itu, untuk memperbaiki akhlak umat, mengubah kondisi dari kehancuran moral menuju akhlak yang karimah, selayaknya kita mulai dari usaha memperbaiki diri sendiri. Kesadaran seperti itu penting, karena perihal perubahan (menuju kondisi yang lebih baik) bukanlah sesuatu yang datang dari luar (misalnya orang lain).

Perubahan komunal (masyarakat, negara, dunia) adalah akibat dari perubahan diri setiap individu yang terlibat di dalamnya. Atau, mirip dengan istilah Kuntowijoyo, superstructure (kesadaran manusia) menentukan structure (kenyataan-lingkungan sosial); transformasi pribadi menjadi condition sine qua non ‘syarat yang sangat diperlukan’, ‘syarat mutlak’, untuk mewujudkan transformasi kolektif.

Demikian pula dengan perubahan pada level individual. Perubahan diri kita, selain tentu saja bergantung pada ketentuan Allah, juga dipengaruhi oleh ikhtiar kita sendiri. Kita tidak boleh berpangku tangan, pasif, menanti, bersikap menerima saja perubahan itu diberikan orang lain. Kita mesti bergerak, aktif, menjemput, mengupayakan perubahan dengan segenap usaha yang mampu kita lakukan.

Jikalau seseorang ingin memperbaiki dirinya, misalkan hendak berubah dari malas-kurang pintar menjadi giat-cerdas, tentulah ia mesti mendisiplinkan dirinya untuk tekun belajar. Ratusan guru, ribuan buku, dan jutaan nasihat yang diberikan orang lain (atau hal-hal yang ada di luar dirinya) sekalipun tak akan berdampak signifikan, apabila tidak dibarengi dengan usaha sendiri untuk mengubah diri.

Dalam berbagai hal, masih banyak orang yang belum mempunyai kesadaran semacam itu, termasuk, barangkali, diri kita sendiri. Contoh kecil yang sering saya temukan salah satunya ada pada orang-orang dalam suatu perkumpulan, organisasi, ataupun komunitas. Saat hendak rapat atau melakukan pertemuan, acap kali pelaksanaannya molor dari jadwal yang telah ditentukan. Kesepakatannya rapat pukul empat sore, anggota rapat baru lengkap pukul lima. Setelah ditelusuri penyebab-penyebabnya, kerap ditemukan orang-orang yang menjawab, “Yang lain juga pasti telat.”

Kita ingin mengubah budaya ngaret seperti itu, tetapi kita sendiri sering enggan untuk mengusahakannya. Padahal, tanggung jawab perubahan ada di tangan setiap orang, dan karenanya tidak sepantasnya dilimpahkan kepada orang lain. Bagaimana ingin mengubah hal-hal besar kalau perubahan kecil saja tidak mampu kita lakukan?

Itulah kaidah kedua: perubahan besar mesti dimulai dari perubahan kecil!

Kita sering irasional: menginginkan perubahan gede secara drastis, transformasi instan, revolusi besar-besaran—baik dalam level komunal maupun individual. Pada level komunal: kita ingin bangsa kita bermoral, tetapi kita sendiri masih suka melempar caci maki di media sosial. Kita ingin masyarakat yang peduli alam, yang menjaga lingkungan tetap bersih dan sehat, tetapi kita sendiri masih gemar buang sampah di sembarang tempat.

Pada level individual, kita senantiasa ingin langsung berada di puncak, tanpa mau berupaya menapaki anak tangga perjuangan: ingin segera pintar walau baru sedikit belajar, ingin cepat menjadi penulis hebat dengan sekali-dua latihan, ingin buru-buru jadi saudagar kaya dengan sejumput modal (harta, tenaga, pikiran).

Anggaplah keberhasilan (sebagai satu hasil atau tujuan dari perubahan besar) seperti angka sepuluh. Maka untuk mencapai angka sepuluh, lazimnya kita melewati angka satu, dua, tiga, sampai sembilan terlebih dahulu. Meskipun memang bisa saja terjadi lompatan jauh, kita bisa saja langsung melampaui beberapa anak tangga sekaligus. Namun, hukum alam atau sunatullah perubahan dalam hidup kita adalah bertahap, selangkah demi selangkah, satu per satu. Bukan revolusi (perubahan mendadak), tetapi evolusi (perubahan perlahan-lahan).

Tanpa langkah-langkah kecil yang dilengkapi dengan konsistensi, perubahan besar adalah mimpi. Mimpi memang indah dalam tidur atau pikiran kita, tetapi di hadapan realitas, mimpi tidak akan menghasilkan apa-apa tanpa gerak aktif mewujudkannya.

Kaidah perubahan yang pertama (mulai dari diri sendiri) dan yang kedua (mulai dari hal yang kecil) menjadi perfek dengan kaidah ketiga, yakni mulai dari saat ini. Kaidah ketiga ini menjadi krusial untuk menghadapi musuh abadi kita, yaitu sifat menunda-nunda.

Sifat buruk untuk menunda-nunda menjadi lintangan kita untuk memulai perubahan. Sebab kita menunda-nunda ada banyak. Bisa karena keragu-raguan yang berakar pada rasa rendah diri—merasa diri tidak mampu, merasa diri bukan siapa-siapa. Bisa juga karena kita menunggu orang lain saja yang melakukannya—seperti masalah yang dihadapi kaidah pertama. Atau dapat pula disebabkan kegagalan kita dalam menentukan skala prioritas—tidak tahu perubahan apa yang harus ditunaikan dahulu.

Mengharapkan perubahan tetapi tidak segera melaksanakannya seperti berharap tiba (pada tujuan) tanpa pernah berangkat. Ingin sampai-berada di Jakarta, tetapi terus berdiam diri di Yogyakarta. Setiap hasrat untuk berubah mesti lekas-lekas ditunaikan. Sebab kesempatan dan waktu yang kita miliki terbatas.

Apakah itu artinya ada kata “terlambat” untuk berubah? Saya kira, “iya”. Saya ambilkan contoh dalam tataran individual dan komunal. Pada tataran individual, misalnya, kita ingin berubah dari muslim-katepe menjadi muslim yang lebih taat. Untuk itu kita mesti memperbaiki kualitas dan meningkatkan kuantitas ibadah. Kalau kita menunda-nunda, membuang kesempatan dan menyia-siakan waktu, pertanyaannya: apakah ada jaminan Allah tidak lebih dahulu memanggil kita sehingga kita berakhir tetap pada kondisi tidak lebih baik?

Atau bayangkan, kita ingin memperbaiki kinerja di perusahaan tempat kita bekerja. Kalau kita menunda-nunda perubahan-perbaikan tersebut, bisa jadi kita dipecat duluan. Sedangkan pada tataran komunal, umpamanya, kita ingin melestarikan kembali budaya jujur dalam dunia pendidikan. Perubahan itu tidak akan terejawantah dalam kenyataan kalau kita tidak segera membuang kebiasaan menyontek atau menjiplak karya orang lain. Dunia pendidikan akan selalu berada dalam kegelapan, makin jauh dari cahaya, jika kita terus menunda perubahan.

Penundaan untuk melaksanakan perubahan punya dua konsekuensi buruk: kegagalan dan menambah beban. Karena itu, untuk menghindari keduanya, menyegerakan langkah untuk memulai perubahan adalah solusi. Kita harus menyongsong perubahan secepatnya. Tidak tahun depan, tidak bulan depan, tidak juga besok atau nanti, tetapi sekarang!


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Febrian Eka Ramadhan

Peserta Kelas Menulis menemui senja di MJS Jilid #5. Lulusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNY. Penulis buku Satu Hal Yang Tak Boleh Sirna: Esai-Esai Pilihan (2022).