Jamuan Makan Malam Terakhir
Makan malam itu terasa begitu hening, bahkan terlalu hening. Semua memang di rumah, tapi tak ada lagi cengkerama ramah antara kedua anakku denganku, atau pun dengan suamiku. Suamiku juga tak lagi berkelakar pintar dengan Wiesya, anak laki-laki sulungku. Biasanya mereka saling melempar kelakar cerdas mengenai apa pun, mulai dari wabah yang sudah menyerang seluruh dunia sejak tiga bulan yang lalu, sampai dengan usaha besar yang dimiliki si Menteri Pendidikan. Suamiku juga sudah cukup lama mengabaikan Ratri, gadis manis anak kedua kami. Biasanya, Ratri akan kesal sekaligus senang ketika cerita tanpa hentinya tentang teman-teman di kelas 5 sekolahnya ditanggapi dengan bercandaan garing ayahnya. Jika mereka sudah seperti itu, aku pasti ditanyai pendapat oleh Wiesya, atau dimintai bantuan Ratri menanggapi bercandaan ayahnya.
Dan suamiku akan sebentar-sebentar melirikku, terkadang dengan kedipan sebelah mata yang genit sebagai tanda agar aku ikut mengerjai kedua anakku. Aku selalu senang dengan suasana makan malam seperti itu yang membuatku bersikeras ikut menyiapkannya bersama dua pembantu di rumah kami: Murni dan Yu Wiji. Keduanya aku bawa dari desaku dan suamiku di Pracimantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Mereka kami boyong saat suamiku mengiyakan tawaran menjadi staf Kementerian Sosial yang dipilih oleh mantan Presiden Tunjung Pramono. Suamiku menawarkan pembantu lebih banyak lagi sepuluh tahun kemudian setelah ia menjadi Menteri Sosial di era Presiden Muhammad Arif, bersikeras agar rumah Menteri harus punya pembantu lebih dari dua orang. Menurutnya, biar kebersihan dan urusan makanan sehari-hari mereka yang urus. Aku cukup tahu biaya belanja dan sibuk berdandan guna menemani suamiku hadir dalam semua acara negara. Lagi pula, ia sering menggunakan rumah jadi tempat rapat, jadi wajar jika butuh pembantu lebih banyak.
Agaknya suamiku lupa, aku hanya gadis desa dulunya, seperti dia yang juga seorang pemuda polos pada awalnya. Kami satu sekolah sebelum terpisah ketika belajar di perguruan tinggi. Aku meneruskan kuliah di Yogyakarta, sedangkan ia memilih kuliah di Solo, yang katanya lebih dekat untuk pulang setiap kali ayahnya memanggil. Kami sempat berpacaran waktu SMA, tapi sejak kuliah aku jarang mendengar kabarnya. Dia hanya mengabariku kapan ia sidang skripsi dan lulus dari Fakultas Hukum, dan aku mengabarinya kapan aku lulus dari Fakultas Seni Tari. Karena tanggal kelulusan kami tidak berselang lama, kami sepakat merayakannya bersama di Yogyakarta. Ia berangkat mengendarai sepeda motor dari kos-kosannya di Jalan Kabut, Jebres, belakang kampus UNS, menuju kos-kosanku di daerah Sewon, dekat dengan kampus ISI.
Tak ada rencana hari itu. Barulah saat ia sampai untuk menjemputku, ia mengajakku makan di salah satu tempat makan yang terkenal di kalangan kawula muda di Yogyakarta. Saat kami makan, barulah ia menyebutkan tujuannya menjemputku. Aku mengernyitkan dahi mengetahui ia bisa membawaku ke tempat makan yang terbilang mahal bagi kantong mahasiswa ini. Gaya Andika juga sudah jauh berbeda, kini ia jauh lebih perlente dari dulu sewaktu kami masih satu sekolah. Kuperhatikan juga kendaraannya sudah berganti dari sebelumnya motor Honda Supra X menjadi mobil Jeep Willys lawas yang aku bahkan tak pernah tahu ia miliki. Tentu saja anak ini punya uang jajan lebih banyak dari aku. Tidak heran, orang tuanya sendiri menjadi Camat Pracimantoro, pastinya ia diberi uang jajan lebih.
“Hari ini kita ke pantai, ya?” pintanya.
“Di mana?”
“Timang, Gunung Kidul.”
“Jauh, tau!”
“Tak apa. Sehabis itu kita pulang ke Pracimantoro.”
“Kamu mau pulang lewat jalanan Gunung Kidul? Yakin bisa melewati jalanan padas itu?”
“Tak masalah buatku. Bagaimana?”
“Oke…”
Selesai makan, kami berangkat menuju Pantai Timang, Gunung Kidul. Perjalanan memakan waktu cukup lama karena jalanan macet di kota Yogyakarta. Sesampainya di Gunung Kidul jalanan cukup sepi meski berliku-liku. Namun itu hanyalah jalan utama. Semakin jauh kami dari jalan utama, badan jalan berubah dari aspal halus menjadi batu-batu belah berwarna abu-abu kehitaman. Jalan mulai menanjak berkelok-kelok mengitari gunung batu gamping dengan lanskap pepohonan jati. Pantai Timang sendiri adalah pantai paling sepi di Gunung Kidul, sehingga lokasinya lebih jauh dari pantai yang lain, bahkan jalannya sudah bukan lagi jalan batu, melainkan jalan tanah. Beruntung hari itu cerah sehingga jalan tidak berlumpur.
Benar saja, sesampainya di Timang tak ada orang, pantai itu benar-benar sepi berisikan kami berdua saja. Aku tak mengerti mengapa ia mengajakku kemari. Tatapan lelaki itu juga sudah berbeda. Saat ia duduk di atas pasir putih sembari memainkan tangannya menyibak pasir-pasir itu, dia bukan lagi Andika Haris yang aku kenal. Dulu, ia sering tertawa dan bercanda, tapi kini ia selalu memasang ekspresi serius ditambah dengan kacamata minusnya. Aku mendekat kepadanya setelah puas bermain air.
“Kamu tak mau bermain air?”
“Kamu saja. Aku membawamu ke sini karena aku perlu meminta sesuatu darimu.”
“Apa itu?”
“Hidupmu, Nanik.”
“Ha?”
“Aku akan terjun ke politik. Aku butuh istri…”
“Dan kau memintaku jadi istrimu?”
“Ya, jika kamu mau.”
“Kenapa harus aku?”
“Oh, untuk alasan romantis, aku menyukaimu sejak lama. Untuk pragmatisnya, kau tahu aku, keluargaku, pilihan-pilihanku. Dan kau bisa mengambil hati ayahku.”
“Jika kita menikah, apakah itu pernikahan demi status?”
“Mungkin, tapi bukankah kamu juga berpikir suatu hari akan menikah denganku?”
Justru saat ia bicara sejujur itu, aku tahu Andika tulus memintaku jadi istrinya. Namun bagaimana dengan mimpiku?
“Aku masih ingin menjadi penari, atau mungkin guru tari.”
“Aku bisa menyediakannya setelah kita menikah, Nanik.”
Kami menikmati waktu sedikit lebih lama di pantai sebelum pulang ke Pracimantoro. Beruntung sekali ayah Andika yang juga Camat Pracimantoro sudah merampungkan jalur lintas selatan Wonosari/Gunung Kidul yang memapras gunung gamping serta memangkas waktu perjalanan. Jalanan mulus itu membuat perjalanan berliku yang biasanya sampai 3 jam menjadi 2 jam saja. Akhirnya kami tiba di rumahku pukul setengah 6 sore, bersamaan dengan kutemui orang tua Andika di rumahku, yang katanya hendak sowan keluargaku. Tak perlu waktu lama, kunjungan mereka berubah menjadi lamaran yang cukup manis. Walaupun Andika banyak diam dan tampak grogi, tapi ia tersenyum tulus saat aku mengiyakan lamarannya. Membuatku juga tersenyum bahagia.
Lama berselang, setelah menikah Andika menggantikan posisi ayahnya sebagai Camat Pracimantoro. Yah, sedikit nepotisme memang, tapi warga Pracimantoro tidak keberatan dipimpin kami yang sama-sama muda. Ayah mertuaku sendiri jadi Bupati Wonogiri, walaupun tidak berselang lama ia menjadi Gubernur Jawa Tengah. Bisa dikatakan secara regional, ayah mertuaku adalah calon terkuat dari partai politik yang meraih dukungan terbesar di Jawa Tengah. Mungkin hal itu karena sosoknya yang berhasil menjaga kerendahan hati dan tampilan sederhana. Yang pasti, ayah mertuaku memang bisa memberdayakan masyarakat, sesuatu yang ditiru suamiku.
Sayangnya, suamiku sering memberikan hadiah tiba-tiba kepadaku dan dengan tiba-tiba juga mengganti mobil, motor, maupun ponsel yang kami miliki. Saat kutanya uangnya dari mana, ia hanya mengatakan semua sudah diatur oleh dia dan ayah mertuaku. Tentu saja aku mengingatkannya agar tak berulang kali memakan uang yang kemungkinan haram itu. Benar saja, ternyata uang pembangunan jalan di Pracimantoro sebagian besar malah ia pakai untuk membangun rumah kami dan membelikan aku hadiah-hadiah bagus. Aku sudah menolaknya, tapi ia mengatakan akan aneh jika aku tidak ikut tambil lebih baik karena ibu-ibu pejabat Wonogiri lainnya juga lebih ‘mewah’ dariku.
Ketika Wiesya berumur 10 tahun, pernikahan kami sudah berusia 15 tahun dan saat itulah hal mengejutkan datang. Aku dan suamiku sudah berpikir tentang posisi Bupati Wonogiri akan diberikan ke suamiku. Kami tidak meminta banyak, sehingga tak ada ambisi menjabat posisi lebih dari itu. Namun tawaran yang jatuh ke suamiku justru dari Istana Negara sendiri.
Ayah mertuaku mengingatkan suamiku agar posisi itu diambil saja. Toh, semua karena aturan koalisi partai yang dipimpin partai pembesar nama suamiku. Menurut Bapak, Presiden Tunjung Pramono ingin memulai periode kedua dengan orang-orang muda dan pemikiran yang segar. Akhirnya suamiku mengambil posisi di staf Kementerian Sosial dan membawaku beserta Wiesya ke Jakarta. Kami tinggal di rumah yang lebih besar, karena suamiku ingin punya anak lagi. Setahun kemudian, Ratri lahir. Aku kerepotan mengurusi bayi perempuanku, sehingga Andika meminta ibu mertuaku dan ibuku mencarikan pembantu. Setelah Murni dan Yu Wiji datang, aku bisa fokus mengurusi anak-anakku.
10 tahun berlalu, tak terasa Ratri sudah duduk di bangku SD dan Wiesya sudah menjadi mahasiswa. Saat itulah Presiden Muhammad Arif meminta suamiku jadi Menteri Sosial di kabinetnya yang kedua. Menurutnya, suamiku bisa memimpin dan punya program-program bagus dan ia sudah mengenyam pendidikan S2 sesuai bidangnya lewat beasiswa kementerian. Saat itulah ia bertanya kepadaku.
“Nanik, menurutmu aku harus mengambilnya?”
Aku teringat perkataan nenekku, yang memintaku sabar dan pengertian ketika suamiku, seorang priyayi, meminta pendapatku. Ia sedang kebingungan, dan hanya aku yang bisa menjawab kebingungannya. Kemudian aku teringat kebiasaan jelek yang membuatku ingin menegurnya, terakhir kali Pracimantoro mendapatkan proyek besar.
“Tapi kamu harus ingat untuk selalu jujur dan amanah, Mas.”
Akhirnya, suamiku jadi Menteri Sosial yang baru. Awal mulanya, makan malam yang hangat masih bisa kami lakukan tak peduli betapa sibuknya dia. Terkadang di rumah, atau di restoran yang kami sukai. Setiap kali kami bersama, aku memperhatikan anak-anakku dan suamiku. Aku melihat dalam tawa dan kerlipan mata mereka apakah mereka masih orang yang sama atau sudah berubah. Yang pasti, suamiku masih menggelar shalat berjamaah setiap kali ia ada di rumah, dan kami masih tadarus setiap habis shalat Maghrib. Ia juga sering mengajak Wiesya untuk berjamaah di masjid. Meskipun ia tidak banyak bicara soal pekerjaannya, aku merasa suamiku baik-baik saja.
Tahun kedua dia menjabat, wabah Corona menyerang seluruh dunia. Suamiku sibuk menyiapkan subsidi untuk seluruh rakyat dan memintaku beserta kedua pembantuku menghubungi warga-warga di desa kami di Wonogiri untuk memastikan orang-orang terdekat kami yang membutuhkan sudah mendapatkan bantuan. Aku mendukungnya membantu masyarakat agar tetap menyambung hidup, walau banyak yang dirumahkan dan tidak punya uang untuk membeli beras. Saat itu aku tahu, posisi suamiku sebagai menteri sosial berdampak besar bagi hajat hidup semua orang. Kedua anakku juga sudah tak asing melihat sosok ayah dan ibunya di televisi, memantau penyebaran bantuan sosial ke seluruh Indonesia.
Namun, perlahan suamiku berubah.
Tepat saat kami hendak berangkat ke Papua bersama Presiden dan Ibu Negara, memantau penanganan Corona di tengah gerilya perang TNI-Polri melawan KKB Papua, suamiku memberikan aku tas baru dari Hermes tipe Kelly berwarna burgundy muda. Aku curiga. Aku tidak pernah meminta tas mewah dan aku punya uang belanja sendiri setiap bulannya. Tapi Andika menyerahkannya padaku di pesawat yang terbang ke Jayapura. Akhirnya, saat di depan rakyat Papua aku terpaksa membawa tas Hermes mewah itu.
Dua hari kemudian, suamiku mengganti mobil pribadinya dari Toyota Camry Crown Royal Saloon menjadi Jaguar XJ Sedan keluaran terbaru, dan membelikan Wiesya Mini Cooper yang sudah lama ia inginkan. Aku makin curiga, dari mana ia mendapatkan uang sebanyak itu. Kutanyai pembantuku apakah mereka mendapat hadiah apa pun dari suamiku, mereka menjawab tidak, tapi masing-masing baru saja dikirimi uang senilai dua kali gaji di rekening mereka. Aku katakan agar uang itu jangan mereka pakai lebih dahulu, dan mereka mengiyakan. Kepada Wiesya aku juga melarangnya menggunakan Mini Cooper itu, sedangkan Ratri juga kularang memakai ponsel iPhone XI baru dari ayahnya. Akhirnya, kutemui suamiku di ruang kerjanya.
“Mas, uang dari mana Mini Cooper Wiesya dan Jaguarmu itu?”
“Tak usahlah khawatir, Nanik. Kamu mau ganti mobil juga? Bisa kuatur.”
“Kurasa tak perlu, bukan? Camry-mu masih terawat.”
“Ya, tapi…”
“Tapi apa?”
“Kita tak perlu lagi hidup kesusahan. Harta sudah kita miliki sekarang, kenapa kamu tak mau menikmatinya?”
“Apakah harta ini semua milik kita?”
“…”
“Bagaimana dengan penyaluran bansos tahap 2? Tumben kantormu belum rapat.”
“Uangnya belum cair. Lagi pula kita harus bayar mahar ke partai, Nanik. Aku sedang mencari uang itu.”
“Lewat mana? Tunjangan menteri?”
“Tak ada tunjangan bulan ini, semua dipakai untuk penanganan Corona. Itulah sebabnya, ada sisa kemarin aku pakai membeli kebutuhan kita…”
“Sisa?”
“Ya, sisa subsidi. Toh, tahap 1 sudah selesai, `kan?”
Detik itu aku tahu dari mana suamiku mendapat uang membeli semua mobil dan tas serta ponsel anak kami. Detik itu aku tahu, waktuku hidup sudah tak lama lagi.
***
Kini, aku sendiri di meja makan rumah besar kami. Semua ada di rumah, tapi tidak ada yang berbicara. Hanya Wiesya dan Ratri yang kusak-kusuk berdua di kamar, merutuki nasib buruk mereka menjadi anak dari suamiku. Aku tak sempat merutuki nasib ini, walaupun kami sudah jadi tahanan rumah setelah korupsi suamiku ketahuan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kami sedang dalam masa persidangan dan Andika, aku, serta kedua anakku akan dimintai keterangan. Aku berhasil membuat Murni dan Yu Wiji lolos dari hal ini dengan mencegah mereka memegang uang haram itu dan menyuruh mereka pulang. Tentu saja uang yang diberikan suamiku kuganti dengan uangku pribadi. Namun, aku harus berjuang mati-matian menyelamatkan kedua anakku. Aku tahu, pelaku korupsi dana bantuan di kala bencana sudah pasti menghadapi kematian. Jika memang demikian, biarlah aku dan suamiku diadili, tapi jangan sampai mereka mengeksekusi mati Wiesya dan Ratri. Kedua anakku masih berhak atas seluruh dunia seisinya.
Datanglah saat suamiku dimintai keterangan. Aku, Wiesya, dan Ratri pun hadir dalam sidang hari itu. Kami dijemput dengan mobil KPK dari rumah dan setelah sidang itu kami harus langsung kembali ke rumah. Kami mendengar bagaimana tuduhan diberikan kepada suamiku, dan bagaimana ia menjawab tuduhan tersebut.
“Saya tidak melakukannya.”
“Mengaku mungkin akan lebih mudah bagi Anda, Pak Menteri. Jika Anda mengaku, mungkin nasib istri dan kedua anak Anda masih bisa diselamatkan.”
“Saya tidak melakukannya.”
“Lantas kenapa ada laporan pemindahan uang dari rekening negara ke rekening pribadi Anda?”
“Bukan saya yang melakukannya.”
Suamiku terus-terusan menyangkal dan membuat hakim geram. Wiesya mendengus saat mendengar cara ayahnya menyangkal tindakan yang ia lebih ketahui itu. Sesampainya di rumah, suamiku mengajak kami semua berkumpul di ruang tamu dahulu. Segera saja Wiesya mencecarnya.
“Ayah tidak melihat di sini akan penuh dengan polisi menjagai kita selama 24 jam? Mau bilang apa? Kami harus menyangkal Ayah tidak melakukannya? Sudah korupsi masih mengajari anak-anaknya berbohong?”
“Wiesya!” Aku mencegah Wiesya mengamuk lebih hebat lagi. Bukan untuk membela Andika, aku hanya tidak ingin Wiesya hidup dengan kemarahan dan menjadi seorang tukang pukul. Wiesya bisa jadi orang lebih baik. Aku memeluk Ratri dan kuminta Wiesya datang kepadaku. Polisi mulai datang dan menanyai kami ada apa. Aku hanya menjelaskan kami mengalami sedikit perbedaan pendapat.
Sejak sidang suamiku, kedua anakku mengajakku tidur di satu ruangan di kamar Wiesya, dan kami selalu beribadah bersama di sana. Kuminta Wiesya mengajak ayahnya, tapi kekecewaannya atas sosok ayah yang selama ini ia kagumi sudah menghancurkan rasa percayanya kepada suamiku, sampai Wiesya tak sudi lagi berbicara kepada ayahnya. Ratri selalu tak berani mengajak ayahnya berbicara. Ia takut, karena menurutnya, ayahnya bukan lagi ayah yang ia sayangi. Jika aku yang pergi ke kamar suamiku, kedua anakku mencegahnya, takut aku tak akan kembali bersama mereka. Saat itu aku tahu, aku tak akan temukan Andika yang dulu berjanji membuatku bahagia.
Akhirnya tiba saat aku dimintai keterangan. Malam sebelumnya, suamiku meminta aku untuk menyangkal aksi korupsinya dengan menyebut-nyebut nasib dirinya, Wiesya dan Ratri. Bajingan, padahal dia yang menyebabkan kami semua di ujung tanduk antara hidup atau mati di tiang gantungan, tapi dia memintaku menyelamatkannya dengan membawa kedua anakku. Sudah kubilang berulang kali bahwa ia harusnya jujur, karena aku tahu walaupun ia raja di Wonogiri, di pemerintahan pusat ia hanyalah ikan cupang dalam satu kolam besar berisikan ikan lebih besar dan buas. Dengan itu pun ia sudah bergaya menyelundupkan uang negara yang seharusnya dipakai untuk menyelamatkan hajat hidup orang banyak. Akhirnya, keesokan harinya, aku yang lebih dahulu mengaku sebelum hakim bertanya.
“Hakim, suami saya korupsi dana bansos virus Corona tahap pertama. Sebelumnya ia menggunakan uang itu untuk membayar mahar kepada partai politik yang menaunginya, kemudian uang itu untuk memperkaya keluarga kami.”
“Apa saja kekayaan yang diberikannya kepada keluarga kalian, Ibu Nanik?”
“Tas Hermes Kelly berwarna burgundy satu buah, mobil Jaguar XJ Sedan satu unit, mobil Mini Cooper satu unit, dan satu unit ponsel iPhone XI.”
“Untuk siapa saja barang-barang itu?”
“Untuk saya, Pak Hakim.”
Hakim memandangiku dengan ganjil. Ia tampak berpikir.
“Siapa yang Anda lindungi?”
“Anak-anak saya, Pak. Mereka tidak tahu menahu mengenai ketidakjujuran ayahnya.”
“Dan Anda tahu?”
“Sejak ia menjadi Camat di Kecamatan Pracimantoro, Wonogiri, beberapa kali saya mengetahui ketika suami saya menyelundupkan uang pembangunan untuk rumah dan hadiah bagi saya.”
“Anda tidak menghentikannya?”
“Tidak, Pak Hakim.”
Hasil sidang dengan cepat keluar. Anakku semuanya lolos dari hukuman, tapi aku dan suamiku harus menghadapi hukuman. Akhirnya, hari eksekusi tiba. Aku akan dieksekusi dahulu, dan saat itu Wiesya menemuiku. Ia menggandeng Ratri. Aku tersenyum melihat keduanya.
“Kalian kemari untuk ayah kalian juga?”
“Tidak.”
“Ini saat terakhir kalian melihatnya, temuilah dia.”
“Tidak, Bu. Cukup bertemu Ibu saja, kemudian kami akan pergi. Aku sudah tak peduli dengan pria itu,” jawab Wiesya.
“Baiklah…”
Wiesya bertanya kepadaku lagi.
“Ibu, kenapa Ibu mau diseret ke tiang gantungan? Ibu bisa keluar tidak bersalah seperti kami!”
“Karena ayahmu sudah meminta hidupku, Wiesya sayang.”
Petugas mulai menarikku menuju lokasi eksekusi mati: di sebuah aula besar kosong yang hanya berisi aku, suamiku, dan satu algojo. Kami diminta berbaris dan algojo mendatangiku terlebih dahulu. Aku menoleh terakhir kali kepada suamiku, yang hanya memandangku nanar dan datar. Tak ada lagi kehidupan di dalam matanya, tak ada lagi rasa sayang yang kurasakan tulus dari dalam dirinya. Ia sudah lama mati sejak ia mulai tidak jujur itu. Nyatanya, ia memang sudah meminta hidupku sampai tidak bersisa lagi.
Selamat tinggal.
Category : sastra
SHARE THIS POST