Ambiguitas Perjuangan Perempuan Arab Saudi

slider
06 Oktober 2021
|
1811

Judul Film: The Perfect Candidate (2019) | Sutradara: Haifaa al-Mansour | Produser: Haifaa Al Mansour, Gerhard Meixner, Roman Paul | Naskah: Haifaa Al Mansour, Brad Niemann | Pemeran: Mila Al Zahrani, Nora al Awadh, Dae Al Hilali, Khalid Abdulraheem, Ahmad Alsulaimy | Durasi: 101 menit.

Haifaa al Mansour kembali hadir dengan  film berjudul The Perfect Candidate. Film tersebut bercerita tentang perempuan dan politik di Arab Saudi. Haifaa adalah sutradara perempuan pertama di Arab Saudi dan memulai debutnya dengan film berjudul Wadjda (2012) sekaligus meneguhkan diri sebagai sutradara film pertama di Arab Saudi.

Film Wadjda berhasil ditengok oleh komunitas film internasional dan banyak peroleh penghargaan, seperti di Venice Film Festival atau Dubai International Film Festival. Begitu pula dengan The Perfect Candidate. Saat ini, komunitas film internasional kembali menengok karya terbaru Haifaa tersebut.

The Perfect Candidate (dirilis pertama kali pada 2019 dan kemudian Mei 2021 di AS) menampilkan kisah seorang perempuan Arab Saudi modern. Ia berprofesi sebagai seorang dokter dan bisa menyetir mobil sendiri. Perempuan dalam film tersebut bernama Maryam (diperankan oleh Mila Al Zahrani).

Maryam bekerja di sebuah klinik medis. Jalan masuk menuju klinik itu buruk, tidak beraspal, dan berlumpur. Jalan yang buruk itu menghambat kerja petugas paramedik ambulans yang harus segera melarikan pasien dalam kondisi kritis masuk ke klinik.

Salah satu agenda yang ditunggu oleh Maryam adalah menghadiri konferensi medis di Dubai. Namun, ayahnya (Khalid Abdulraheem), yang berprofesi sebagai musisi sedang mengadakan konser keliling, lupa untuk menandatangani surat keterangan perjalanan jauhnya.

Karena ia perempuan dan diwajibkan untuk membawa surat keterangan yang telah ditandatangani oleh wali, kepergian Maryam terhambat di bandara. Ia perlu wali lain untuk tanda tangan: sepupunya (Ahmad Alsulaimy).

Lagi-lagi karena ia perempuan, sekretaris si sepupu memintanya menunggu. Akan tetapi, ada kondisi yang ditawarkan oleh sekretaris tersebut: jika Maryam bisa segera bertemu dengan sepupunya, andai urusannya adalah pencalonan dirinya sebagai kepala daerah.

Merasa terdesak, Maryam mengatakan kepada sang sekretaris, urusannya adalah pencalonan diri sebagai kepala daerah. Jadilah seorang Maryam kandidat pejabat publik. Program yang diusung adalah memperbaiki jalan tak beraspal dan berlumpur menuju kliniknya.

Arab Saudi sudah melonggarkan aturannya bagi perempuan. Perempuan dapat mengendarai kendaraannya dan mencalonkan diri sebagai pejabat publik. Maryam, sebagai perempuan Arab Saudi modern, memanfaatkan peluang tersebut.

Mencalonkan diri adalah satu hal, realitas politik dan sosial adalah hal lain. Aturan yang longgar belum tentu menggeser persepsi masyarakat yang paternalistik dan menolak partisipasi perempuan di ruang publik. Hal ini yang menjadi pesan Haifaa dalam The Perfect Candidate. Haifaa dengan baik mengeksplorasi realitas sosial politik seorang perempuan di Arab Saudi saat masa transisi.

Misal, sebagai dokter, Maryam mendapat tantangan dari pasiennya. Seseorang dalam kondisi kesehatan kritis dan membutuhkan tindakan operasi medis segera, masih menyempatkan diri menolak Maryam dengan keras dan tegas sebagai dokter untuk melakukan operasi karena ia seorang perempuan.

Selain itu, film ini juga menampilkan kehidupan Maryam sebagai warga negara yang haknya diabaikan di bandara maupun di kantor pemerintahan. Sebagai kandidat pejabat publik, Maryam diremehkan di televisi dan acara kampanyenya sendiri. Calon pemilih perempuan langsung menolak untuk memilih dirinya. Sebagian lain menunggu konsultasi dan perintah dari suami mereka untuk suara mereka.

Perubahan adalah jalan panjang yang ujung akhirnya belum tertuliskan, dan ini diwakili oleh adegan awal dan akhir The Perfect Candidate. Film dibuka dengan adegan ketika Maryam yang bercadar sedang mengendarai mobil barunya menuju ke tempat kerja. Di akhir film, Maryam mengendarai mobilnya dari klinik menuju rumahnya. Mobil tersebut menjauhi kamera, dan semakin jauh, menuju jalan raya yang disesaki oleh kendaraan yang bergerak cepat.

Apakah ini suatu alegori untuk perjuangan perempuan? Jika ya, apakah ini berarti politikus perempuan di Arab Saudi berjuang untuk sesuatu yang begitu sulit berubah? Apakah ada peluang bagi realita sosial dan politik untuk berpihak kepada perempuan? Atau apakah yang mereka perjuangkan adalah suatu kesia-siaan?

Jika kita membandingkan The Perfect Candidate dengan karya Haifaa sebelumnya, Wadjda, Haifaa memilih untuk menuntaskan filmnya dalam akhir yang menyenangkan (happy ending). Wadjda, anak perempuan yang mengidamkan sepeda, bergembira bermain sepeda dengan sahabatnya, Abdullah.

Wadjda dan ibunya tentunya hidup dalam alam paternalistik. Keinginan Wadjda ditentang ibunya. Teman-teman satu sekolah menertawai keinginan Wadjda untuk membeli sepeda dengan uang kompetisi melantunkan ayat Al-Qur’an yang dimenangkan oleh Wadjda.

Mengetahui rencana Wadjda untuk membeli sepeda, kepala sekolahnya secara sepihak menentukan bagaimana uang tersebut digunakan: uang hadiah tersebut disumbangkan ke Palestina.

Melalui karakter Wadjda, Haifaa menampilkan sisi kritisnya. Anak seumur Wadjda adalah anak yang lugu dan innocent. Anak-anak itu masih berpikir genderless, main sepeda itu menyenangkan dan semua orang bisa bermain sepeda. 

Sementara ibunya harus berpasrah menunggu keputusan sang suami untuk membelikan Wadjda sepeda baru atau tidak. Sang ibu tidak lagi memedulikan apa yang dikatakan masyarakat tentang anak perempuan bersepeda. Ia bahkan mengabaikan perkataannya sendiri yang melarang putrinya membeli sepeda.

Wadjda dan ibunya adalah personifikasi cara berpikir dan bertindak kritis. Bedanya adalah kekritisan Wadjda terbuka karena keluguannya sehingga kerap diberikan teguran, peringatan, dan hukuman. Di sisi lain, kekritisan ibunya adalah cara berpikir dan bertindak yang kritis terselubung (veiled/concealed criticism).

Sang ibu menyadari budaya masyarakatnya. Ia tahu bahwa tidak bisa menentang masyarakatnya yang membatasi anak perempuan bergembira dengan bersepeda, sebagaimana ia juga tahu bahwa dirinya tidak bisa menentang sang suami untuk menikah kembali. Walaupun begitu, ia bisa memilih penentangan yang lunak dan terselubung: membelikan Wadja sepeda.

Singkatnya, film Wadjda menampilkan kekritisan perempuan, dan ragam penentangannya. Sebaliknya, The Perfect Candidate menampilkan ambigu. Maryam bukan sepenuhnya tokoh yang kritis. Ia seorang dokter yang ikut pencalonan kepala daerah secara kebetulan dan terpaksa. Tentu ada perlawanan, perjuangan, dan penentangan dari Maryam terhadap nilai masyarakatnya. Namun, usai kampanye, bagaimanakah nasib perlawanan dan perjuangan itu?

Dengan kata lain, Wadjda menampilkan optimisme atas nasib perempuan, sedangkan The Perfect Candidate menawarkan kebimbangan dalam perjuangannya.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Deda Ibrahim

Penulis dan peresensi film, pernah memenangkan lomba ulas film Pusbangfilm Kemdikbud dua kali. Beberapa resensinya pernah dimuat di beberapa media online.