R. Ng. Ronggowarsito: Manusia yang Eling lan Waspada

slider
30 Agustus 2024
|
401

dilalah kersa Allah – namun sudah kehendak Allah

begja-begjaning kang lali – sebahagia-bahagianya orang yang lupa

luwih begja kang eling lan waspada – lebih bahagia mereka yang sadar dan waspada

(R. Ng. Ronggowarsito, Serat Kalatidha).

Begitu salah satu penggalan sajak Ronggowarsito yang Pak Fahruddin Faiz sampaikan, dalam Ngaji Filsafat edisi R. Ng. Ronggowarsito: Wolak-Waliking Jaman, pada 26 Juni 2024, di Masjid Jendral Sudirman. Pada edisi ngaji kali ini, Pak Faiz memfilsafati syair-syairnya Ronggowarsito, sang pujangga Jawa yang punya nama asli Bagus Burhan, dalam serat: Kalatidha, Jaka Lodhang, dan Sabda Jati.

Manusia dalam Zaman-zamannya

hanya harta bendalah yang dihormati pada zaman tersebut

seluruh dunia berisi benda

kesengsaraan makin menjadi-jadi

(R. Ng. Ronggowarsito, Serat Jaka Lodhang).

Ronggowarsito membagi zaman peradaban manusia menjadi tiga: kalatidha, kalabendhu, dan kalasuba. Menurutnya, peradaban manusia wolak-walik (bolak-balik) mengorbit dalam jalur tiga zaman itu.

Kalatidha adalah zaman kebingungan atau ketidakpastian yang muncul setelah manusia mengalami masa stabilitas atau kemapanan. Pak Faiz menjelaskan kalau kala ini bercirikan egoisme. Di mana, manusia hanya peduli pada kepentingan dan kesenangan diri sendiri. Benar-salah atau baik-buruk pun menjadi barang remeh, yang utama apalagi kalau bukan memperkaya diri, sebab, “hanya harta bendalah yang dihormati.”

Jadi, paradigma manusia versi kala ini menganggap: tidak ada yang lain selain kepentingan dan kesenangan diriku sendiri. Cara pandang ini tidak lepas dari kebingungan manusia yang mulai terperdaya materi. Manusia mulai bingung dan meremehkan standar baik-buruk atau benar-salah, entah dari pertimbangan akal-budi maupun ajaran agama.

Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan keinginan untuk kaya dan senang. Alamiah. Namun, tatkala jalan mengupayakan keinginan tidak lagi mempertimbangkan baik-buruk, apa pun itu yang penting mendapat kekayaan dan kesenangan, maka materi dan nafsu mulai memperdaya diri manusia. Akhirnya membuat manusia perlahan mulai edan dan menjauh dari jalan bimbingan Tuhan.

Jika kebingungan semakin menjadi, materi makin memperdaya dan nafsu sudah menguasai, maka hasilnya adalah kalabendhu. Zaman kerusakan atau kesengsaraan. Pada kala ini, orang sudah benar-benar tidak lagi peduli pada ukuran baik-buruk atau benar-salah. Sudah ditinggalkan. Manusia hanya fokus pada kepentingan memperkaya diri dan memuaskan nafsunya. Pertimbangan akal-budi dan ajaran agama tidak lagi dihiraukan.

yang tampak hanyalah perbuatan-perbuatan tercela

orang besar kehilangan kebesarannya

lebih baik tercemar nama daripada mati

yang kecil tidak mau mengerti akan keadaannya

orang-orang alim penuh kepalsuan

di luar putih, dalamnya kuning

ulama gemar maksiat

madat, madon, minum, dan berjudi

para haji melemparkan ikat kepala hajinya

wanita kehilangan kewanitaannya karena terkena pengaruh harta benda

semuanya hanya bertujuan harta benda saja

(R. Ng. Ronggowarsito, Serat Jaka Lodhang).

Inilah yang namanya sudah zaman edan. Kata Pak Faiz bahwa tidak seperti kalatidha, di mana orang masih bingung atau meremehkan baik-buruk/benar-salah, pada zaman ini orang tidak lagi bingung, sudah stabil dan beres. Namun, stabil dalam ketidakstabilan, dan beres dalam ketidakberesan. Orang sudah tidak lagi peduli pada baik-buruk, jalan Tuhan pun ditinggalkan, sebab, “semuanya hanya bertujuan harta benda saja.”

Bila sudah pada masanya akan muncul ratu adil dan para pengikutnya. Mereka yang memilih jalan untuk tidak edan, yang eling lan waspada (sadar dan waspada), yang tetap berpegang pada pertimbangan akal-budi dan tidak meninggalkan jalan Tuhan. Hadirnya mereka, menurut Ronggowarsito, menjadi tanda pengakhiran zaman edan atau kalabendhu, menuju kalasuba yang merupakan zaman stabilitas dalam kebaikan yang membawa pada kemakmuran.

Kita hari ini sedang di zaman apa berdasarkan pandangan Ronggowarsito itu? Mau over-thinking di kalabendhu, zaman edan, masih banyak juga yang baik di negeri ini, meski nyatanya keedanan merajalela. Mau bilang di kalatidha, juga bingung menilai berbagai fenomena yang terjadi di negeri ini. Mau geer di kalasuba, sudah sebaik dan semakmur itukah negeri ini?

Zaman apa pun saat ini yang jelas sebaiknya diri kita tidak menjadi manusia zaman edan, namun berupaya menjadi manusia yang eling lan waspada. Manusia yang apa pun zamannya tetap berpegang pada pertimbangan akal-budi dan ajaran agama.

Manusia Zaman Edan

dalam kitab Panitisastra

terdapat ajaran dan peringatan

di zaman yang penuh bencana

orang bijaksana justru kalah dan di belakang

(R. Ng. Ronggowarsito, Serat Kalatidha).

Pada zaman edan, dunia menjadi terbalik. Tidak edan malah dipandang edan. Sebagaimana yang Pak Faiz jelaskan, yang tidak adil dipuji, yang terzalimi dimaki. Yang jujur ditertawakan dan disingkirkan, yang jahat dianggap pahlawan. Yang mulia disia-siakan, yang jahat diberi derajat. Di zaman ini, “orang bijaksana justru kalah dan di belakang.”

Hal itu sebab manusia zaman edan terjebak pada materi dan nafsu diri. Jalan bimbingan Tuhan maupun pertimbangan akal-budi dalam menjalani kehidupan, sudah ditinggalkan. Keadaan yang Ronggowarsito bahasakan sebagai “semuanya hanya harta benda saja.”

Paradigma manusia standarnya bukan lagi baik-buruk atau benar-salah berdasarkan ajaran agama maupun pertimbangan akal-budi. Standarnya sudah bergeser pada memenuhi materi dan memuaskan nafsu. Manusia hanya menghormati harta benda serta memperturutkan syahwat, dan sudah kehilangan penghormatan pada ajaran agama dan pertimbangan akal-budi.

Hal baik bisa dianggap buruk, dan hal buruk bisa dianggap baik. Tergantung jalan mendatangkan materi atau tidak, memuaskan nafsu atau tidak. Di masyarakat muncul ungkapan uang bisa membeli segalanya, atau segalanya membutuhkan uang. Akibatnya, orang tidak lagi peduli baik-buruk, pertimbangan akal-budi, dan ajaran agama. Bagi manusia zaman edan yang penting adalah mendatangkan uang.

Tren Edan

bagi yang bijaksana

galau dalam hati

jika tidak ditiru disalahkan

hidup tanpa makna

kalau ditiru hidup jadi hina

(R. Ng. Ronggowarsito, Serat Sabda Jati).

Demikian gambaran zaman kegalauan bagi orang yang masih memegang pertimbangan akal-budi dan ajaran agama. Sebab, keedanan sudah menjadi tren. Di antara tren edan, berdasarkan syair Ronggowarsito, adalah madat (narkoba), madon (maksiat), minum (mabuk), dan main (judi).

Pada anak muda yang tidak mau ikut tren madat dan minum, dipaksa teman-temannya, tetap tidak mau. Malahan dikata tidak menghargai persahabatan. Sebab sudah sering dikata, dia pun jadi agak tergoda untuk ikut tren saja. Tetapi, seperti kata Ronggowarsito; “melu edan nora kuat (mau ikut edan tidak kuat).” Bila masih ada pertimbangan akal-budi dan agama belum sepenuhnya luntur, mundurlah dia dari lingkungan edan itu.

Pada perempuan dipaksa ikut tren madon dengan pacar. Katanya, zaman sekarang tren seks pra-nikah (pre-marital seks). Dianya tidak mau; no free sex. Malah dikata sok suci. Namun, sebab masih ingat ajaran agama yang melarang dan pertimbangan akal-budi yang tidak membenarkan hubungan badan sebelum nikah, si perempuan tetap tidak mau ikut tren edan, maka ditinggallah pacar toxic yang hanya mencari kesenangan syahwat semata.

Banyak lagi contoh ajakan untuk ikut tren edan di zaman sekarang. Dalam setiap ajakan tren edan itu, sebagaimana Ronggowarsito; “jika tidak ditiru disalahkan.” Ah, tapi; “kalau ditiru hidup menjadi hina.”

Manusia yang Eling lan Waspada

pahami kata-kata ini

meskipun merendah satu gunung

akan tetap masih terlihat bekasnya

beda dengan jurang yang curam

jurang yang curam itu

meskipun dapat menonjol

namun tanpa tanggul akan mudah longsor

(R. Ng. Ronggowarsito, Serat Jaka Lodhang).

Sederhananya, Ronggowarsito ingin menyampaikan, meski gunung menjadi rendah, bekasnya tetap kelihatan, meski manusia yang tidak ikut tren edan disalahkan, dihina, dan dipinggirkan, yang mulia pasti tetap mulia. Meski jurang menonjol akan mudah longsor, manusia yang ikut tren edan tampak menonjol dan trendi, yang hina tidak berarti menjadi mulia. Oleh karena itu, tidak mengapa untuk kita tidak ikut-ikutan tren edan yang tidak baik berdasarkan ajaran agama dan pertimbangan akal-budi.

sebaiknya menjauhkan diri dari keramaian

supaya mendapatkan anugerah kasih Tuhan

(R. Ng. Ronggowarsito, Serat Kalatidha).

Jika memang bukan hal yang baik, dilarang agama dan tidak sejalan pertimbangan akal-budi, tidak mengapa untuk menjauh. Memilih terpinggirkan dari keramaian tidak ada salahnya. Sebab, daripada menjadi manusia zaman edan lebih memilih menjadi manusia eling lan waspada. Materi mungkin tidak dapat banyak, nafsu juga tidak puas (dan memang tidak akan ada puasnya), tetapi bukan berarti tidak bahagia.

kebahagiaan akan datang

atas kemurahan Tuhan

(R. Ng. Ronggowarsito, Serat Sabda Jati).

Manusia zaman edan yang terperdaya materi dan nafsu diri, dari luar tampak senang, tetapi dalamnya belum tentu bahagia. Jiwa yang kering dari akal-budi dan agama, tidak dapat merasakan kebahagiaan yang datang dari kemurahan Tuhan.

Berbeda dengan manusia yang eling lan waspada. Mereka tidak kehilangan akal-budi dan agama. Soal memenuhi materi dan nafsu diri, ada cara lain, selain tren edan, yang lebih sesuai dengan pertimbangan akal-budi dan tidak melanggar ajaran agama. Manusia yang eling lan waspada sejatinya tidak kehilangan apa pun. Karena itu, sebagaimana Ronggowarsito, “lebih bahagia manusia yang eling lan waspada.” Bahagianya manusia level ini merupakan bagian dari kemurahan Tuhan.


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Moh. Rivaldi Abdul

Mahasiswa Doktoral S3 Studi Islam, Konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta