Pak Guru dan Tanah Desanya

slider
02 Februari 2022
|
2907

Siang itu sedikit gersang. Debu-debu bertebaran di jalan disinari cahaya mentari yang tengah mencari celah di antara rimbunnya pepohonan di desa. Dan seperti hari-hari biasanya, sepulang sekolah, si Tunggul kecil menunggu kawan-kawannya datang menjemputnya di teras rumahnya. Sambil menunggu, ia perhatikan sepasang burung yang terbang dari dahan ke dahan saling berkejaran. Namun, waktu itu ada yang lebih menarik perhatiannya daripada memperhatikan burung-burung yang tengah berkejaran itu.

Siang itu si Tunggul kecil melihat kerumunan warga yang membawa spanduk seraya berteriak dengan penuh semangat melewati depan rumahnya. Wajah-wajah orang itu memang tidak asing baginya, beberapa adalah tetangganya. Pak Suryo si petani aren, Pak Wardi si petani durian, Bu Sundari si pengrajin sabut kelapa.

Si Tunggul kecil agak bingung dengan apa yang sedang terjadi di desanya. Ketika ia tengah asyik memperhatikan kerumunan warga itu, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara bapaknya menegurnya.

“Ada apa toh, Le, kok melamun begitu?”

“Itu lho, Pak. Kok warga pada ramai teriak-teriak begitu?” tanya si Tunggul kecil dengan memasang tampang keheranan.

“Oh, itu warga yang tanahnya mau digusur untuk dijadikan area tambang. Mereka melakukan demonstrasi untuk menghalangi petugas yang akan datang ke desa ini, Le,” jawab bapaknya.

“Lho, kok digusur. Memang buat apa tambangnya, Pak?” tanya si Tunggul kecil dengan memasang ekspresi yang sama.

“Buat nambang batu. Nanti, batunya diambil dari sana buat bangun bendungan di desa sebelah, Le,” jawab bapaknya mencoba untuk menjelaskan dengan perlahan-lahan.

Si Tunggul kecil yang sudah dijelaskan oleh bapaknya pun nampak masih terlihat kebingungan. Di dalam kepalanya, ia masih bertanya-tanya. Apa hubungannya warga yang berteriak-teriak dengan tambang dan bendungan?

Pak Darsono yang melihat wajah anaknya kebingungan itu hanya bisa tersenyum seraya berkata, “Nanti kalau sudah besar koe juga bakal tahu, Le.”

Setelah itu ia bergegas memakai sandal, dan menyuruh si Tunggul kecil untuk menjaga rumah, karena ia akan ikut berdemonstrasi di gapura desa sebagai ajang solidaritas sesama warga desa.

Walaupun Pak Darsono bekerja sebagai guru sekolah dasar di desa itu bukanlah bagian dari orang-orang yang tanahnya terkena rencana penggusuran, tetapi kejadian ini mengingatkannya dengan kejadian beberapa tahun yang lalu, ketika rumah peninggalan orang tuanya di desa sebelah dirampas demi pembangunan sebuah pabrik semen. Ia dan kedua adiknya diberikan uang ganti rugi yang tak seberapa. Dan akhirnya, dengan berbekal uang ganti rugi yang sebagian sudah dibagi rata kepada kedua adiknya itu, ia memutuskan untuk pindah ke desa ini. Mula-mula ia membeli sebidang tanah, dan mulai membangun rumah di atasnya.

Sudah hampir 10 tahun kejadian itu berlalu, sebelum anaknya si Tunggul kecil lahir. Akan tetapi, ingatan itu masih terpatri di kepalanya. Ia tidak ingin kejadian yang sama terulang di desa ini. Ia masih ingat bagaimana orang-orang tua di desanya yang dulu berprofesi sebagai petani terpaksa kehilangan mata pencahariannya. Dan anak-anak muda di sana memilih untuk bekerja di pabrik semen itu sebagai buruh kontrak dengan upah yang tak seberapa.

Berbekal pengalaman itu, ia memutuskan pulang lebih cepat dari tempatnya mengajar untuk ikut berdemonstrasi bersama warga desa yang lain. Ia sendiri tahu, hampir seluruh warga di desa ini berprofesi sebagai petani yang menggantungkan hidupnya kepada tanah subur di bukit desa. Penduduk desa biasa menamai tanah itu dengan julukan bukit emas. Bukan berarti di dalam bukit itu terkandung emas. Tapi, apa-apa saja yang ditanam di bukit itu sudah pasti menghasilkan sesuatu yang dapat memenuhi kehidupan para warga yang tidak akan bisa disamakan dengan gundukan emas sekalipun.

***

Dengan sedikit berlari, Pak Darsono mulai bergegas menyusul kerumunan warga yang berniat untuk menghalangi kedatangan petugas yang berencana untuk mematoki tanah di bukit desa. Satu per satu warga dari rumah mereka masing-masing mulai menggabungkan diri dengan kerumunan massa yang lewat. Makin lama makin besar, bagai gulungan ombak yang siap menghantam karang yang keras.

Sebenarnya, sudah cukup lama ia memperkirakan kejadian ini akan terjadi, karena beberapa tahun yang lalu sudah ada beberapa petugas yang datang ke desa ini. Mereka didapati tengah melakukan pengukuran dan pengeboran di sekitaran areal kaki bukit. Beberapa warga yang terganggu dengan kegiatan itu mencoba untuk menanyakan perihal pekerjaan yang sedang mereka lakukan. Namun, mereka mengaku sebagai mahasiswa yang tengah melakukan praktik mengukur dan mengetes kekuatan tanah di areal kaki bukit desa.

Beberapa bulan setelah kejadian yang mencurigakan itu, tiba-tiba saja, petugas dari pemerintahan daerah datang ke balai desa ditemani oleh beberapa tokoh masyarakat desa. Pihak petugas mulai menjelaskan kalau mereka tengah berencana membangun sebuah bendungan di desa sebelah yang materialnya akan ditambang dari tanah di bukit desa. Tiap-tiap warga yang tanahnya terkena pembukaan area tambang akan diberikan ganti rugi sejumlah rupiah yang mereka sebutkan. Mereka juga berjanji akan memberikan pekerjaan kepada warga jika area tambang itu sudah dibuka. Pak Darsono yang mendengar janji semacam itu merasa tidak asing karena janji serupa sudah pernah didengarnya beberapa tahun yang lalu di desanya.

Warga yang jengkel mendengar maksud dan tujuan petugas itu merasa tertipu karena baru diberi tahu perihal pembukaan area tambang. Alih-alih memberikan pekerjaan kepada warga di area tambang, hal itu hanya akan menjadikan warga desa sebagai kuli dengan upah harian yang tak seberapa dibandingkan penghasilan yang mereka dapatkan dari panen hasil perkebunan di bukit desa. Karena suasana di balai desa mulai memanas, beberapa tokoh masyarakat yang awalnya mendampingi akhirnya menyuruh para petugas untuk segera meninggalkan desa.

Kejadian itu sudah cukup lama sekali. Mungkin, sekitar 2 tahun yang lalu. Namun, hari ini mereka akan melaksanakan aksinya mematoki tanah di area bukit desa dengan dalih telah mengantongi izin untuk pembukaan area tambang.

***

Sesampainya massa di gapura pintu masuk desa yang di atasnya sudah dipasang spanduk bertuliskan, “Rakus Tambang Harus Tumbang!”. Massa sempat dikejutkan dengan kedatangan pihak keamanan dari aparat kepolisian yang ditugaskan untuk menjaga keamanan kegiatan pematokan tanah. Walaupun begitu, tak sedikit pun terlihat raut wajah ketakutan dari massa yang berhadapan langsung dengan aparat kepolisian. Anak-anak muda malah semakin bersemangat meneriakkan yel-yel menolak tambang yang mereka karang di hadapan para petugas kepolisian.

Awalnya, situasi antara massa dengan aparat kepolisian cenderung tenang. Massa sambil duduk-duduk di jalan saling mengobrol, dan di barisan depan mulai terdengar salawat yang dilantunkan oleh ibu-ibu. Perwakilan dari aktivis dan tokoh masyarakat desa mulai bersosialisasi dengan petugas pematok tanah. Tawar-menawar terasa sengit, apalagi hawa pada siang hari itu cukup panas, walau terhalang oleh rimbunan dedaunan di desa.

Negosiasi berjalan alot, petugas pematok tanah berdalih telah mengantongi izin dari pemerintah daerah setempat terkait pembukaan area tambang. Namun, aktivis dan tokoh masyarakat sudah menjelaskan bahwa warga tetap menolak adanya kegiatan penambangan di desa. Dengan keras kepala petugas pematok tanah mulai memerintahkan aparat kepolisian untuk memukul mundur massa karena kegiatan pematokan tanah sudah terlambat dari jadwal yang telah direncanakan.

Massa yang bersikeras tetap bertahan mulai merapatkan barisannya. Fokus massa mulai terpecah ketika di barisan depan didapati seorang aktivis yang ditarik oleh seorang petugas kepolisian karena dianggap memprovokasi massa. Terjadilah tarik-menarik antara massa dengan aparat kepolisian. Situasi makin tidak kondusif. Pak Darsono mulai menyadari semua ini. Akan tetapi, tekadnya sudah bulat, barang sejengkal pun ia takkan pernah mundur.

Ia mencoba merangsek ke barisan terdepan, dan menolong orang-orang yang mulai ditangkapi. Namun, tiba-tiba saja aparat kepolisian mulai menembakkan gas air mata ke arah kerumunan massa. Massa yang kokoh mulai buyar bagai gulungan ombak yang dihantam oleh sebuah kapal besi. Satu per satu dari mereka mulai berjalan mundur, ada yang pingsan karena tak tahan dengan kepulan asap, ada yang tersungkur karena dorong-mendorong.

Pak Darsono yang mencoba untuk menolong beberapa orang yang jatuh pun sempat tersungkur karena kerumunan massa mulai berlarian mundur. Ketika tersungkur ia sempat melihat seorang anak kecil yang postur tubuhnya sama persis dengan anaknya di rumah. Ia perhatikan anak itu dengan jeli. Ia tak salah lihat, anak itu adalah si Tunggul kecil yang sedang tergeletak pingsan di antara kerumunan massa yang mencoba menghindari kepulan asap.

Ternyata, sedari tadi si anak mengikuti bapaknya dari arah belakang. Seperti anak-anak kecil yang lain, si Tunggul kecil ingin mengetahui apa yang sedang terjadi di desanya. Dan dengan beberapa kawannya, ia mengikuti rombongan massa dari arah belakang. Awalnya, ia merasa riang karena ramainya warga yang berkumpul. Namun, ketika aparat kepolisian mulai menembakkan gas air mata ke barisan massa, si Tunggul kecil terjatuh karena terdorong oleh kumpulan massa, lalu pingsan karena terkepung kepulan asap.

Dengan tongkat besi di tangan, para petugas kepolisian mulai mengganas membabi buta memukul siapa saja yang ada di hadapannya, tak peduli itu ibu-ibu, bapak-bapak atau anak muda. Pekik takbir menggelegar dari barisan ibu-ibu yang mulai mundur menghindari pukulan dan kepulan asap. Bentrokan semakin mengerikan, darah mulai menetes di tanah desa akibat pukulan yang dilayangkan oleh petugas ke arah kepala anak-anak muda yang mencoba untuk melawan.

Seketika degup jantungnya terasa berat ketika mengetahui anak kecil itu adalah anaknya. Dengan napas yang terengah-engah dan keringat yang mulai bercucuran di keningnya, ia mulai berlari menghampiri anaknya. Namun, sebuah benda keras tiba-tiba saja terasa menghantam bagian pundaknya. Bukan hanya sekali, benda itu terus mencari sasaran di beberapa bagian tubuh Pak Darsono. Hantaman benda keras itu tak sedikit pun dihiraukannya, karena kini tujuannya hanya satu, menolong anaknya yang sedang terkapar. Sesampainya di tempat anaknya, ia langsung menggendong, dan membawanya pergi dari kepulan asap yang membuat mata meringis kesakitan.

Warga yang sudah berlari menuju balai desa mencoba membuat semacam barikade penghalang yang terbuat dari batang kayu besar untuk menghalangi laju para petugas kepolisian. Sebenarnya, langkah ini sudah diperhitungkan untuk mengantisipasi jika terjadi bentrokan. Penghalangan jalur akses menuju desa pun sudah dilakukan. Malam sebelumnya, anak-anak muda sudah menyusun beberapa batu kali di jalan akses menuju desa agar menghambat kendaraan petugas pematok tanah. Namun, langkah ini dengan mudah dapat diatasi oleh para petugas kepolisian, menurut anak-anak muda yang berjaga semalaman di jalan akses itu.

Saat ini, beberapa orang sudah sampai di balai desa, termasuk Pak Darsono. Dengan susah payah ia menggendong anaknya. Tetesan darah mulai berjatuhan dari kening si Tunggul kecil. Ketika ia jatuh, kepalanya sempat terbentur sebuah batu. Darah itu menetes terus sampai menimbulkan sebuah jejak pelarian. Beberapa anak muda yang berlari paling belakang mulai membela diri dengan melempari para petugas kepolisian dengan batu-batu yang mereka temukan di sepanjang jalan setapak menuju balai desa. Namun, perlawanan itu hanya upaya kecil, karena tak sedikit pun petugas kepolisian mundur. Mereka malah terus maju, bagai sebuah buldoser yang siap meratakan perkebunan warga di bukit desa.

Bentrokan itu telah sampai di balai desa. Beberapa petugas kepolisian yang ditimpuki batu agak terhambat lajunya dengan penghalangan dari batang kayu yang dibentangkan oleh warga di jalan menuju balai desa. Warga mulai melakukan perlawanan dengan menimpuki para petugas kepolisian dengan barang apa saja yang mereka temukan di balai desa. Hingga akhirnya bentrokan itu terlerai oleh lantunan azan Zuhur dari musala yang berada persis di samping balai desa. Para petugas kepolisian berangsur-angsur mundur kembali menuju gapura desa, sedangkan warga mulai beristirahat di balai desa, dan sebagian menuju musala untuk melaksanakan salat.

Pak Darsono yang datang ke balai desa langsung mencari pos yang sudah disiapkan untuk orang-orang yang terluka. Di sana, puluhan orang yang terluka dirawat oleh petugas medis yang sudah didatangkan untuk membantu pengobatan bagi warga desa yang terluka ketika berdemonstrasi. Ia membaringkan anaknya di sebuah matras yang telah disediakan. Lalu oleh petugas medis luka anaknya dibersihkan, diobati, dan bagian kepalanya pun diperban. Pak Darsono yang melihat anaknya terbaring tak berdaya sempat menghela napas panjang seraya berkata dalam hatinya. “Aduh..., kenapa koe pakai ikut-ikutan sih, Le?”

Kini, Pak Darsono hanya bisa terduduk lesu di salah satu bangku yang tersedia di sudut pos seraya menunggu anaknya yang masih belum sadarkan diri itu.

***

Malam selepas salat Magrib, warga desa melaksanakan doa bersama memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk diberikan kekuatan dalam menjaga kelestarian alam di desa mereka, dan untuk mengusir setan-setan tambang yang ingin merampas tanah mereka. Dalam raut wajah para warga terlihat kesungguhan memohon kepada Tuhan, karena mereka sendiri sudah tidak dapat berharap apa-apa lagi pada pemerintah daerah, ataupun aparat kepolisian yang jelas-jelas berada di pihak yang bertentangan dengan mereka. Pak kiai yang memimpin doa pun sempat berkata.

“Jika kepada pemerintah kita sudah tidak bisa berharap lagi, hanya kepada Gusti Allah-lah kita berharap minta perlindungan dan kekuatan.”

Pak Darsono yang berada di antara kerumunan warga yang tengah berdoa pun sempat tertegun mendengar perkataan itu. Seketika ia teringat dengan anaknya di rumah yang sedang terluka. Ketika siuman anaknya sempat bertanya kepadanya.

“Pak, kenapa para polisi itu memukuli warga desa seperti itu?”

Dengan perasaan yang amat pilu, Pak Darsono yang tidak ingin membuat anaknya bingung hanya bisa berkata, “Nanti kalau sudah besar koe juga bakal tau, Le.”

Tanpa disadari, air mata Pak Darsono mulai menetes perlahan menuruni pipinya ketika ia sedang menengadahkan tangannya ke atas seraya merundukkan kepalanya, ikut hanyut dalam lautan doa.


Category : sastra

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Gielangbina

Penulis cerpen kelahiran kota Jakarta. Kegemarannya membaca buku sejarah menjadikan cerpennya khas dengan aroma sejarah yang berbeda dengan narasi yang sering diajarkan di bangku sekolah. Kini, cerpen-cerpennya dapat ditemukan di beberapa media online. Dapat ditemui di Instagram dengan username @gielangbina.