Nusantara, Laut, dan “Nahkoda-Nya”: Adrian Bernard Lapian (1929-2011)
Nusantara dan Lapian “Kecil”: Sebuah Perjumpaan
Lapian “Kecil” lahir di Tegal pada 1 September 1929. Putra tertua dari pasangan Bernard Wilhelm (B. W.) Lapian dan Maria Adriana Pangkey yang menikah pada 1928. Kelahiran Lapian “Kecil” tidak lepas dari aktivitas B. W. Lapian, ayahnya, yang seorang pegawai pada perusahaan KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) hingga menjadi hofmeester yang mengurus logistik kapal dan bekerja di Batavia. Kemungkinan kelahiran A. B. Lapian di Tegal tidak lepas dari pekerjaan ayahnya, B. W. Lapian sebagai hofmeester (penanggung jawab administrasi kapal) untuk perusahaan KPM yang sedang berlayar hingga akhirnya Lapian “Kecil” lahir di Tegal.
Pengaruh akademik dalam keluarga Lapian “Kecil” memang sudah tertanam dari kakeknya, Enos Lapian, yang seorang kepala sekolah di Sekolah Rakyat yang berada di Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara dan ayahnya, B. W. Lapian yang seorang pendiri Surat Kabar Fadjar Kemadjoean (1924-1928) dan surat kabar lokal di Kawangkoan bernama Semangat Hidoep.
Karier B. W. Lapian dalam dunia akademik cukup mempengaruhi Lapian “Kecil” ketika berusaha mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang yang menggandrungi dunia akademis. Lapian “Kecil” juga mendapat didikan dari kakeknya, Aristarkus M. Pangkei, yang juga seorang guru di Tomohon. Latar belakang inilah yang membuat Lapian “Kecil” untuk tertarik menekuni dunia pendidikan.
Mimpinya yang ingin berlayar telah ada sejak usianya masih belia, ketika dirinya masih duduk di bangku sekolah dasar. Meskipun mimpinya tersebut tidak langsung terwujud, namun ia tetap menjadikan mimpi itu sebagai sebuah motivasi untuk dirinya di masa depan. Asa yang terpendam tak pernah padam, begitulah kira-kira yang ada dalam pikiran Lapian “Kecil” yang telah beranjak menjadi dewasa.
Kesempatan itu Labian dapatkan ketika dirinya menjadi salah satu wartawan di Indonesian Observer. Asa dan mimpi tersebut terwujud bersamaan dengan dirinya yang juga meliput berita tentang Konferensi Asia-Afrika di Bandung 1955, sebagai seorang mahasiswa dari Jurusan Teknik Sipil (namun tidak dilanjutkannya) dan berganti haluan menjadi mahasiswa sejarah di Universitas Indonesia pada 1956 serta menjadi pertemuan pertama baginya dengan Sartono Kartodirjo.
Di sisi lain, ketika ayahnya, B. W. Lapian, menjadi seorang anggota Volksraad (cikal-bakal DPR) dan anggota Minahassa Raad (Dewan Minahasa) sarana dan fasilitas untuk Lapian “Kecil” mengenyam pendidikan semakin terbuka luas, termasuk untuk semua saudara-saudaranya. Salah seorang adik dari Lapian “Kecil” yakni Louisa Magdalena Lapian juga dikenal sebagai seorang ahli hukum, serta adiknya yang lain bernama Benjamin Julian ‘Bert’ Lapian yang pernah menjabat sebagai Walikota di Manado pada awal 1950-an.
Jika membaca kembali memoir dan kisah keluarga Lapian “Kecil”, maka tidak salah kita menemukan sebuah jalan terbuka baginya untuk mampu menjadi seorang yang berjasa bagi dunia akademik di Indonesia pada masa kini. Lingkungan yang membentuknya menjadi seorang yang aktif dalam dunia penulisan, penelitian, dan berbagai aktivitas akademik lainnya kemudian mengantarkannya sebagai seorang “pelopor” dalam Kajian Sejarah Nusantara dan Indonesia, khususnya dalam Bidang Sejarah Maritim.
Akademisi/Dosen cum Peneliti
Aktivitas Lapian dalam dunia kepenulisan terus berkembang ketika dirinya terlibat aktif sebagai jurnalis/wartawan dalam Surat Kabar Indonesian Observer. Lapian mengasah kepekaannya terhadap dunia kepenulisan yang juga didukung dengan berbagai literatur bacaan yang kuat. Bahkan ditopang dengan penguasaan bahasa asing, terutama Belanda, Inggris, Portugis, dan Spanyol, yang mengantarkan dirinya sebagai salah seorang jurnalis/wartawan yang terkemuka pada masanya.
Kepekaan akademiknya terus berkembang meskipun mendapatkan protes dan kritik dari berbagai artikel yang ditulisnya. Kritikan dan protes tersebut dijawabnya dengan semakin memperluas pengetahuannya melalui literatur sejarah.
Di tengah kesibukan dan padatnya aktivitas pekerjaan, dirinya menyempatkan untuk tetap produktif melalui berbagai kegiatan akademik. Lapian membangun sistem akademiknya dengan menulis beberapa hasil bacaan dan observasinya dengan kesimpulan yang bernas sesuai dengan minat yang digelutinya selama ini (baca Sejarah). Cukup banyak karya Lapian yang menjadi potret dirinya sebagai seorang akademisi dan dosen cum peneliti yang berkontribusi pada perkembangan keilmuan di Indonesia.
Beberapa karyanya yang pernah penulis baca di antaranya komentar mengenai kajian Fernand Breudel, ahli Sejarah Politik dalam kajian maritim, hingga mengomentari aktivitas Mare Liberium, Masa Perdagangan Bebas. Sebuah artikel yang cukup bernas dari A.B. Lapian, “Perebutan Samudera: Laut Sulawesi Abad XVI dan XVII” dalam Prisma, No. 11, 1984, menguatkan posisinya sebagai seorang Ahli Sejarah Maritim, terlepas dari profesi akademiknya sebagai dosen.
Proses akademis juga Lapian buktikan dengan menyempatkan waktu untuk menerjemahkan sejumlah karya ilmiah, seperti buku Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942 karya George D. Larson (1990) dan Bawean dan Islam karya Jacob Vredenbregt (1990). Sebagai dosen, Prof. Lapian telah membimbing belasan mahasiswa doktoral dan puluhan mahasiswa S-1 serta S-2 dalam meraih gelar mereka di berbagai universitas di Indonesia. Ia dihormati sebagai pendidik yang sabar dan telaten. Pengabdiannya tak hanya terbatas pada perguruan tinggi, namun juga menulis untuk berbagai media, termasuk cerita anak “Perompak Laut” pada majalah Si Kuncung untuk anak-anak sekolah dasar.
Minat dan pengetahuannya yang luas telah membawa Lapian berkeliling dunia untuk melakukan penelitian, mengajar, memberikan ceramah, serta berpartisipasi dalam berbagai konferensi ilmiah internasional. Daftar tempat yang telah dikunjungi Lapian cukup panjang untuk mengisi beberapa halaman buku ini dan menjadikannya seorang pelancong dunia sejati.
Minat dan wawasan Prof. Lapian dalam bidang sejarah mendapat dukungan kelembagaan saat ia bekerja sebagai peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1966. Di sana, ia mendirikan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB-LIPI) serta menjabat sebagai Kepala dari 1986 hingga 1990, dan kemudian menjadi Ahli Peneliti Utama pada 1990 hingga 1994.
Di LIPI, Prof. Lapian menghasilkan kontribusi penting, terutama dalam sejarah lisan dan sejarah lokal, dengan fokus pada kawasan timur Indonesia serta mengangkat kembali kisah “people without history” di wilayah tersebut. Prof. Lapian mendalami studi kawasan berdasarkan perspektif para pelaku sejarah di tempat itu, bukan berdasarkan batas-batas administratif yang terbentuk kemudian. Pengetahuan mendalam tentang kawasan ini menjadi landasan yang lebih kokoh bagi penyusunan sejarah nasional.
Adrian B. Lapian: “Nahkoda” Yang Terus Berlayar
“Jika Sartono Kartidirjo kuat dengan kajian petani dan orang desa, maka A. B. Lapian lebih dekat dengan Laut dan Orang Laut”
Perhatiannya terhadap sejarah maritim Indonesia dimulai sejak masih menjadi mahasiswa dan kemudian menyusun skripsi mengenai jalan perdagangan maritim ke Maluku pada awal abad ke-16. Minat ini juga yang menjadi landasan penting baginya saat bekerja pada Seksi Sejarah Angkatan Laut dan Maritim di Markas Besar Angkatan Laut antara 1962 dan 1966.
Lapian mengawali studi sejarah maritim bukan hanya di Indonesia tetapi di wilayah Asia Tenggara dan memegang otoritas dalam bidang studi tersebut sampai saat ini. Ia juga seorang pekerja yang tekun, rapi dan berdedikasi, yang membawanya ke berbagai posisi penting dalam berbagai lembaga penelitian di dalam dan luar negeri. Sekalipun minat dan pengetahuannya mengenai berbagai aspek sejarah Indonesia dan Asia Tenggara terus berkembang, perhatian khusus terhadap sejarah maritim ini tidak pernah ditinggalkan.
Pada 1992 Lapian diangkat sebagai guru besar luar biasa di Universitas Indonesia dengan judul pidato pengukuhan “Sejarah Nusantara Sejarah Bahari”. Pada Konferensi IAHA ke-15 Tahun 1988 oleh Shaharil Thalib, seorang sejarawan guru besar University Malaya, disandangkan gelar sebagai “Nakhoda pertama sejarawan di maritim Asia Tenggara”.
“… Karyanya, yang juga menjadi magnum opus, Sejarah Maritim Indonesia: Orang Laut, Bajak Laut, dan Raja Laut di Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX mengantarkannya sebagai Nahkoda dalam perjalanan panjang Maritim Nusantara, Indonesia, dan dunia di masa kini dan akan datang…”
Anthony Reid mengakuinya dengan mangatakan, “Tidak ada sejarawan Indonesia yang mendemonstrasikan keahliannya sebagai sejarawan lebih baik dari Adrian B. Lapian, khususnya dalam sejarah maritim.”
Trilogi Aktor Laut
Orang Laut dalam pandangan Lapian bermakna luas yang menunjukkan praktik-praktik kebudayaan melalui actor: individu, kelompok, komunitas, etnis, dan entitas, yang beraktivitas pada wilayah perairan, baik laut, pesisir, dan jaringan sungai-sungai, sebagai pelaku langsung dan penghubung dalam aktivitas maritim pada lingkup lokal dan global.
Lebih jauh, Lapian menyebut Orang Laut adalah mereka yang menggantungkan hidupnya pada laut lepas dan kawasan perairan yang didukung dengan berbagai aktivitas, baik kultur, ekonomi, politik, dan ideologi.
Pun dengan istilah Bajak Laut yang digunakannya sebagai representasi politis-kultural, dengan mengkritik literatur asing, dalam perairan Nusantara ketika masa perniagaan dan perdagangan maritim menjadi—seperti tercermin dalam literatur tentang perairan Nusantara pada abad XIX—masalah yang sangat penting.
Pada 1960-an kegiatan bajak laut sangat mengganggu keamanan berlayar, seperti halnya di darat, inseden-insiden pungli dan penghadangan oleh gerombolan bersenjata sering terjadi. Menjelang akhir abad XX tindakan mereka semakin brutal dengan menggunakan persenjataan mutakhir. Raja Laut, bagi Lapian, adalah mereka yang memiliki “kekuatan politis” dalam mengatur “aktivitas ekonomi” di kawasan perairan dan jaringan maritim. Lebih jauh lagi, Raja Laut memiliki fungsi yang lebih luas yang mampu mengatur dan mengontrol hingga menciptakan kondisi strategis dalam aktivitas maritim.
Heart Sea dan Episentrum Jaringan Maritim Lokal dan Global
Kenneth R. Hall memberikan pandangan mengenai peran dari Laut Tengah sebagai “heart sea” yang menjadi penghubung jaringan maritim di kawasan Eropa, Afrika, dan Asia, pada periode klasik hingga pertengahan dengan menekankan aspek ekonomis, sosial, dan politik. Lapian juga memberikan pandangan yang sedikit berbeda mengenai “heart sea” dalam konteks lokal di periode pertengahan hingga modern.
Keduanya sama-sama memberikan pandangan mengenai “pusat” dan “periferi” yang menggambarkan pusat perdagangan yang dinamis di mana laut memainkan peran penting sebagai “jantung” penghubung berbagai masyarakat dan peradaban.
Dalam pandangan sejarawan maritim Indonesia A.B. Lapian, “heart sea” memiliki konotasi yang sangat khas dan berhubungan erat dengan pandangannya tentang peran penting laut dalam sejarah Nusantara. A.B. Lapian memandang lautan sebagai “jantung” (heart) dan “jiwa” dari identitas maritim Indonesia, dengan laut bukan sekadar sebagai medium geografis atau jalur perdagangan, melainkan sebagai elemen integral yang membentuk pola kehidupan, budaya, dan sejarah politik masyarakat Nusantara.
Menurut Lapian, laut di Asia Tenggara, khususnya di Nusantara, bukanlah penghalang, melainkan penghubung yang menyatukan berbagai pulau dan komunitas. Dalam pemahaman ini, konsep “heart sea” mengacu pada bagaimana lautan menjadi pusat dinamika sosial, ekonomi, dan budaya yang mempertemukan berbagai suku bangsa dan komunitas.
Lapian menekankan bahwa kawasan maritim memiliki sejarah peradaban yang berdiri sendiri dan tidak hanya sebagai penerima pengaruh kebudayaan dari luar seperti India atau Cina, tetapi sebagai aktor aktif yang menciptakan jaringan perdagangan dan budaya yang kompleks. Hal penting bagi Lapian adalah kawasan maritim adalah ruang pertemuan “budaya” (cultural crossroads) dari berbagai entitas etnis atau dengan kata lain sebagai “melting pot” dalam wacana identitas, kultur, dan budaya.
*Disampaikan dalam Kelab Baca MJS Diskusi Buku “Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Sulawesi Abad XIX”, pada 27 Oktober 2024 di Taman Indah Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta.
Sumber bacaan:
Lapian, AB. 2009. Orang laut, Bajak Laut, Raja Laut (Sejarah Kawasan Laut Sulawesi abad XIX). Jakarta: Komunitas Bambu.
Fernand Braudel. 1973. The Mediterranean and Mediterranean World in the Age of Philip II. Glasgow: William Collins
Hall, K. R. (2011). A History of Early Southeast Asia: Maritime Trade and Societal Development, 100–1500. Ukraine: Rowman & Littlefield Publishers.
Hall, K. R. (2019). Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia. United States: Humanities Open Books program, a joint initiative of the National Endowment for the Humanities and the Andrew W. Mellon Foundation.
M. F. Mukthi, “Warisan Nakhoda Pertama” dalam https://historia.id/sains/articles/warisan-nakhoda-pertama-PyaVP.
web.archive.org/web/20100826050142/http://www.komunitasbambu.com/regular/isi.php?id=164.
Category : kolom
SHARE THIS POST