Memaknai Rupa Megengan
Sebagai seorang yang terlahir menjadi muslim Jawa, tradisi bukanlah hal yang perlu digugat dengan sekian keberatan. Toh dalam banyak riwayat, tradisi yang meluber menjadi rupa-rupa itu dipercayai berasal dari para wali. Figur sentral yang kedudukannya dalam beragama Islam sudah teruji. Terlepas dari pendapat bahwa banyak tradisi tersebut adalah warisan agama lama, namun tetap saja, para wali dengan sekian naluri kreatifnya mengubah beberapa unsur tradisi lama itu, lantas membubuhi makna berislam yang relevan dengan konteks zamannya.
Sejak belia, tradisi-tradisi berislam ala Jawa dikenalkan. Nyekar, slametan, termasuk halnya megengan merangsek ke alam bawah sadar manusia-manusia Jawa dari berbagai jalan: pitutur si mbah, teladan keluarganya, dan pembelajaran di langgar, musala, masjid, dan atau pesantren.
Perkenalan ini tentu saja bertahap, selaras dengan usia dan pengalaman berislam seorang manusia. Misalnya saja, Megengan yang umumnya ditunaikan masyarakat Jawa sebelum kedatangan Bulan Ramadan. Bulan berkah dengan segenap kelimpahan pahala.
Bagi anak-anak, tradisi Megengan tidak lebih dari sekadar acara makan-makan. Mereka diajak keluarganya untuk turut serta menghadiri gelaran Megengan di langgar. Dengan pakaian muslim, mereka duduk bersila sambil sesekali beranjak dan bermain berlarian di pelataran langgar.
Mereka absen dengan rangkaian acara Megengan, tetapi tidak dengan acara pungkasannya; makan-makan. Saat pembacaan doa selesai, mereka dengan rapi duduk berderet sambil menunggu takir datang di hadapannya. “Biar dapat berkahnya Pak Kyai mas”, ujar seorang anak yang duduk di sebelah saya. Ia memakan takir itu dengan lahap.
Sementara bagi si remaja, Megengan jadi mantra yang bisa merekatkan kembali dirinya dengan lingkungan sosialnya. Mereka yang saban hari sibuk mengail ilmu atau kerja seharian, ditarik oleh Megengan di langgar agar mau menyapa tetangganya.
Tentu saja mereka menyempatkan datang. “Wah ya malu mas kalau tidak ikut. Yang lain pada ikut, masak saya enggak. Minimal pernah absen muka di langgar sebelum (bulan) Ramadan tiba”, ujar remaja yang memilih duduk di teras dari pada di dalam langgar.
Lain remaja, lain juga orang tua. Sebagian dari mereka menghayati tradisi Megengan memandangnya sebagai pintu masuk menuju sebuah tempat ibadah. Megengan adalah penyucian diri. Kedalaman diri yang dijejali sekian laku kotor, menurut mereka, perlu disucikan agar bulan Ramadan yang akan datang bisa ditunaikan dengan ayem dan tenteram.
Sedang bagi sebagian yang lain, tradisi Megengan adalah wujud rupa rasa syukur. Syukur lantaran pemberian umur yang memungkinkan dirinya untuk bersua dengan bulan Ramadan.
Mereka berharap bisa mendulang pahala berganjar surga di bulan Ramadan yang akan dilaluinya. Meskipun mereka sadar, tidak banyak waktu yang bisa diluangkan untuk duduk berlama-lama di langgar, mendaras Al-Quran, atau memaksakan diri dengan segala kepayahan untuk menunaikan salat tarawih.
Kendati begitu mereka tidak pesimis. Lantaran ada seorang sepuh yang nyeletuk: “Kalau semua aktivitas kebaikan di bulan Ramadan diganjar pahala, maka kerja yang halal itu diganjar pahala.” Celetukan yang saya rasa bermuasal dari pengalaman hidupnya menghayati laku berislam, bukan dari pesantren kilat di pendidikan formal.
Ya, terlepas dari makna-makna itu, saya rasa tradisi Megengan dengan segala rupa di nusantara ini, tetap saja menarik. Bukan saja karena acara makan-makannya. Tetapi karena perkembangan zaman yang melaju pesat, ngugemi tradisi berislam ala Jawa dengan menggelar Megengan meski dengan berpayah-payah, menjadi laku yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Apalagi ditanggal-tinggalkan. Sekian.
Category : kebudayaan
SHARE THIS POST