Konsumerisme dalam Pandangan Jean Baudrillard
Definisi dan Sejarah Konsumsi
Secara etimologis, kata “konsumsi” berasal dari bahasa Inggris, “consume”. Kata “consume” diambil dari kata kerja bahasa Latin “consumere” yang berarti menguasai ataupun mengambil alih sepenuhnya. Dalam artian yang harfiah, kata “konsumsi” tidak hanya merujuk pada menghabiskan atau menguasai suatu objek, tetapi juga menghancurkannya.[1]
Kata atau istilah “konsumsi” sendiri muncul kali pertama pada abad XIV dalam bahasa Inggris. Dalam konteks bahasa Prancis dan Inggris, awalnya konotasi dari kata ini selalu memiliki makna yang negatif.[2] Di sini mengonsumsi sesuatu berarti “menghancurkannya, membuatnya terbakar atau membuangnya.”[3] Hal ini berdampak pada konteks penggunaan dari kata konsumsi.
Dalam konteks dunia medis sebagaimana yang dikatakan dokumentasikan oleh Kamus Oxford, dikatakan bahwa “penyakit ‘menggrogoti’ penderitanya”. Di awal penggunaannya, makna konsumsi sebagaimana yang kita ketahui sekarang adalah makna yang sekunder. Sedangkan makna primernya selalu identik dengan penghancuran akan sesuatu.[4]
Seiring berjalannya waktu di akhir abad XVIII, kata “konsumsi” digunakan dalam literatur ekonomi-politik oleh Adam Smith dan David Ricardo sebagai kebalikan dari kata ‘produksi’.[5] Dalam konteks ekonomi produksi adalah suatu perilaku untuk menghasilkan barang atau benda yang memiliki nilai. Dalam arti ini, konsumsi sebagai kebalikannya ialah sebagai tindakan menghabiskan barang ataupun benda yang diproduksi.[6]
Bertolak dari sejarah perkembangan kata “konsumsi” di atas, maka dapat diartikan bahwa konsumsi merupakan salah satu dari perilaku ekonomi. Konsumsi sendiri mengacu pada penggunaan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup.[7] Konsumsi biasanya juga merujuk pada perilaku untuk menghabiskan barang secara sekaligus ataupun bertahap. Di sini orang yang melakukan kegiatan konsumsi disebut sebagai konsumen.[8] Dalam konteks dunia ekonomi, konsumsi memainkan peran yang sangat penting. Dengan adanya konsumsi maka akan ada kestabilan dalam roda perekonomian khususnya dalam hal produksi dan distribusi. Artinya, tanpa adanya konsumsi dan konsumen maka roda perekonomian menjadi tidak stabil bahkan mengalami kemacetan.[9]
Definisi Konsumerisme
Pada dasarnya manusia senantiasa harus memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dengan beragam kemajuan yang ada, terjadi pergeseran dalam kehidupan masyarakat. Mereka mulai memiliki keinginan akan barang-barang dengan alasan bukan untuk bertahan hidup melainkan untuk memenuhi hasrat ataupun keinginan mereka akan suatu barang. Dalam arti inilah konsumerisme didefinisikan sebagai suatu sikap yang mengacu pada kecanduan belanja barang-barang yang diinginkan tetapi tidak dibutuhkan atau tidak penting.[10]
Lebih jauh dari itu, masyarakat konsumeristik mengacu pada fenomena di mana orang-orang terjebak pada perilaku kecanduan belanja dan terjadi pergeseran identitas di dalamnya. Pergeseran identitas dalam masyarakat konsumeristik dapat dilihat bahwa statusnya sebagai pribadi tidak ditentukan oleh apa atau siapa ia, melainkan oleh seluruh barang, produk yang dibelinya. Melalui hal itu orang membangun citra dirinya sebagaimana yang ingin direpresentasikan dan diproyeksikan tentang diri mereka.[11]
Dalam hal ini, konsumerisme terjadi karena dua hal. Pertama, konsumen yang memiliki keinginan untuk memenuhi segala keinginannya melalui pembelian barang-barang mewah dan branded. Kedua, produsen yang tidak lain adalah kaum kapitalis yang berusaha untuk mencari keuntungan melalui propaganda dari media dan perkembangan teknologi yang ada.[12]
Sederhananya, konsumerisme mengacu pada aktivitas belanja yang berlebihan di mana orang-orang tidak berbelanja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melainkan untuk memuaskan keinginannya akan barang-barang yang mewah dan branded. Aktivitas ini dipicu oleh kaum kapitalis, yaitu produsen yang melakukan propaganda melalui pemanfaatan perkembangan teknologi dan media.
Konsumerisme dalam Pandangan Jean Braudillard
Pandangan Baudrillard tentang konsumerisme dimulai pada fenomena masyarakat kontemporer. Baudrillard melihat adanya suatu transformasi dan pergeseran yang terjadi dalam struktur masyarakat. Baudrillard menyebut perubahan ini dengan istilah masyarakat simulasi dan hiperrealitas.[13] Menurut Baudrillard, segala bentuk produk kebudayaan yang direpresentasikan dengan media massa telah menciptakan makna dan pesan yang sama sekali berbeda dengan makna yang sebenarnya. Lebih jauh dari itu, Baudrillard menambahkan bahwa penciptaan budaya melalui media massa inilah yang disebut dengan simulakra.[14]
Dalam pandangan Baudrillard, kebiasaan masyarakat kontemporer atau postmodern yang konsumtif itu didasarkan pada prestise dan kebanggaan simbolik dan bukan pada fungsi atau kegunaan dari barang yang dibeli. Di sini semakin banyak suatu objek dikonsumsi, maka itu menunjukkan dan mempertegas status sosial dari orang yang mengonsumsinya.[15] Misalnya ketika seseorang memiliki mobil Rubicon, ia tidak lagi melihat kendaraan ini sebagaimana fungsinya melainkan lebih pada nilai yang berada di baliknya, yaitu status sosial tertentu – karena ia memiliki mobil tersebut.
Menurut Baudrillard, masyarakat konsumeristik tidak lagi melihat nilai guna dari barang-barang produksi. Nilai guna telah mengalami pergeseran di mana masyarakat konsumeristik lebih mementingkan nilai tanda dan simbol dari barang-barang yang dikonsumsinya. Di sini Baudrillard meminjam konsep Barthes untuk mengkaji makna dari nilai tanda dan nilai simbol dari barang-barang yang diproduksi oleh kaum kapital.[16]
Baudrillard menyatakan bahwa nilai tanda dan nilai simbol ini mengaburkan nilai guna dari barang produksi melalui media massa dan perkembangan teknologi.[17] Artinya, sesuatu tidak lagi dinilai berdasarkan manfaat yang diberikan olehnya melainkan berdasarkan pada makna simbolis seperti: status sosial, prestise, gaya hidup dan juga kehormatan yang diperoleh melalui barang tersebut. Lebih jauh dari itu, Baudrillard mengatakan bahwa dalam konteks masyarakat konsumeristik, identitasnya diterima oleh sesamanya bukan dari siapa dan apa yang dilakukannya, melainkan dari apa yang dikonsumsi, dimiliki, dan ditampilkannya dalam interaksi sosial.[18]
Contohnya ketika seseorang menggunakan atau mengonsumsi produk yang memiliki prestise tinggi seperti menggunakan mobil Lamborghini, tas Hermes, Louis Vuitton, dan lain sebagainya. Dengan menggunakan barang-barang yang bermerk dan berprestise tinggi maka dia akan dipandang sebagai orang yang memiliki status sosial yang tinggi di masyarakat. Simbol prestise yang ditampilkan ini dibentuk oleh propaganda yang diciptakan melalui media massa yang tidak lain adalah instrumen untuk menyampaikan nilai tanda dan simbol kepada masyarakat.[19]
Dalam pandangannya tentang konsumerisme, Baudrillard menegaskan bahwa masyarakat konsumeristik berada dalam simulakra. Simulakra merupakan sebuah ruang yang menduplikasi realitas yang sebenarnya. Di dalam simulakra yang hanyalah salinan atau tiruan yang tidak memiliki orisinalitas di dalamnya. Secara sederhana, simulakra dapat diartikan sebagai realitas palsu yang memenjarakan manusia, di mana manusia tidak lagi mampu membedakan mana yang asli dan mana yang semu.[20]
Menurut Jean Baudrillard, simulakra memiliki tiga periode:[21] periode pertama adalah periode tiruan. Periode ini dimulai sejak era pra-modern hingga awal era Revolusi Industri. Dalam periode ini realitas dan tanda memiliki keserasian dengan maknanya. Periode yang kedua adalah periode reproduksi yang ditandai dengan industralisasi sebagai konsekuensi dari revolusi industri. Di periode ini ada kecenderungan bahwa objek-objek tiruan yang dibuat menjadi lebih mirip dengan asli. Periode yang ketiga ialah era simulasi. Periode ini ditandai dengan perkembangan ilmu dan teknologi informasi, komunikasi global, media massa, konsumerisme dan kapitalisme. Secara sederhana, simulakra dalam pandangan Baudrillard mengacu pada realitas yang sudah digantikan oleh tanda dan simbol melalui proses simulasi, yang tercipta melalui berbagai macam media.[22]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsumerisme dalam pandangan Baudrillard merujuk pada pola perilaku konsumtif masyarakat yang terjebak pada realitas semu sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi informasi dan media yang begitu masif.
Faktor-faktor Penyebab Konsumerisme
Pada umumnya pola perilaku konsumtif ataupun fenomena konsumerisme tidak pernah lepas dari faktor-faktor yang menciptakan hal itu bisa terjadi. Berikut ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan hal itu terjadi.[23]
Pertama, kemajuan teknologi. Perkembangan teknologi yang semakin maju menghadirkan beragam keuntungan bagi hidup manusia. Ditambah lagi kehadiran e-commerce dan media sosial, yang menjadikan seseorang dengan mudah untuk membeli apapun yang diinginkannya sehingga tidak mengherankan perilaku konsumerisme muncul dari kemajuan teknologi ini.
Kedua, globalisasi. Melalui globalisasi yang begitu masif seseorang dipermudah untuk memenuhi kepuasannya dalam membeli barang-barang yang diinginkannya baik itu yang berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri.
Ketiga, trend life style atau trend gaya hidup. Gaya hidup masyarakat yang glamour, hedon dan boros. Kini tersebar luas melalui platform, media sosial. Hal ini membuat orang lain terpengaruh dan akhirnya terjebak pada perilaku konsumerisme.
Keempat, budaya pop. Selain propaganda media sosial, budaya pop juga menjadi salah satu instrumen kaum kapitalis dalam menciptakan suatu realitas semu. Hal inilah yang membuat banyak brand-brand ternama menggunakan para artis atau influencer untuk mempengaruhi minat konsumen dan menarik perhatian publik. Padahal itu hanyalah suatu tipuan belaka. Ini senada dengan ungkapan Tom Phillips, yang pernah mengatakan bahwa “kita setiap harinya dibohongi oleh artis, pegiat media sosial, selebgram dan influencer.”[24]
Berdasarkan keempat faktor di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumerisme yang mewabah itu diakibatkan oleh perkembangan dan kemajuan zaman yang ada. Perkembangan ini belum siap dihadapi oleh manusia maka tidak mengherankan bahwa banyak orang dari segala golongan terjebak pada konsumerisme.
Penutup
Fenomena konsumerisme menurut Jean Baudrillard tidak sekadar berhubungan dengan aktivitas konsumsi barang atau jasa, tetapi mencakup dinamika yang lebih kompleks dalam masyarakat modern. Konsumsi, bagi Baudrillard, telah menjadi proses yang didominasi oleh tanda dan citra, di mana objek-objek konsumsi lebih dihargai karena nilai simboliknya ketimbang fungsi aslinya. Konsumerisme, dalam kerangka simulasi dan hiperrealitas, menciptakan dunia yang penuh dengan citra-citra palsu yang menggantikan realitas. Manusia tidak lagi mengonsumsi untuk memenuhi kebutuhan dasar, melainkan untuk memenuhi hasrat yang dibentuk oleh konstruksi sosial dan budaya.
Melalui teorinya tentang simulakra, Baudrillard menunjukkan bahwa dalam masyarakat modern, realitas telah tergantikan oleh tiruan yang lebih meyakinkan daripada realitas itu sendiri. Hiperrealitas yang dihasilkan oleh budaya konsumerisme ini mengaburkan batas antara yang nyata dan yang ilusi, sehingga individu terjebak dalam siklus konsumsi yang tiada henti. Kesimpulannya, pemikiran Baudrillard mengingatkan kita untuk lebih kritis terhadap budaya konsumerisme yang melingkupi kehidupan sehari-hari, agar kita tidak kehilangan makna sejati dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh citra dan simulasi.
[2] David Graeber, “Consumption,” 491-492.
[3] To consume something meant to destroy it, to make it burn up, or waste away. David Graeber, “Consumption,” 491-492.
[4] diseases “consumed” their victims. David Graeber, “Consumption,” 492.
[5] David Graeber, “Consumption,” 492.
[6] David Graeber, “Consumption,” 492.
[7] Muhammad Dinar dan Muhammad Hasan, Pengantar Ekonomi: Teori dan Aplikasinya, (Makassar: CV Nur Lina, 2018), 8.
[8] Selviana Zakiah, “Teori Konsumsi dalam Perspektif Ekonomi Islam,” El-Ecosy: Jurnal Ekonomi Dan Keuangan Islam, Vol. 02, No. 02, (2022): 181.
[9] Selviana Zakiah, “Teori Konsumsi dalam Perspektif Ekonomi Islam,” 181.
[11] Martin Johnson, Consumerism: Critical World Issues, 10.
[12] Martin Johnson, Consumerism: Critical World Issues, 10.
[13] Yolanda Stellaros, Kecanduan Belanja: Budaya Konsumerisme Dalam Teks, 20.
[14] Yolanda Stellaros, Kecanduan Belanja: Budaya Konsumerisme Dalam Teks, 20.
[15] Yolanda Stellaros, Kecanduan Belanja: Budaya Konsumerisme Dalam Teks, 20.
[16] Yolanda Stellaros, Kecanduan Belanja: Budaya Konsumerisme Dalam Teks, 21.
[17] Yolanda Stellaros, Kecanduan Belanja: Budaya Konsumerisme Dalam Teks, 21.
[18] Yolanda Stellaros, Kecanduan Belanja: Budaya Konsumerisme Dalam Teks, 21.
[19] Yolanda Stellaros, Kecanduan Belanja: Budaya Konsumerisme Dalam Teks, 22.
[20] Medhy Aginta Hidayat, Jean Baudrillard & Realitas Budaya Pascamodern, (Yogyakarta: Cantriks Pustaka, 2021), 110.
[22] Medhy Aginta Hidayat, Jean Baudrillard & Realitas Budaya Pascamodern, 113.
[23] OCBCNISP, Pengertian, Contoh & Dampak Gaya Hidup Konsumerisme, tersedia dari https://www.ocbcnisp.com/id/article/2022/12/29/gaya-hidup-konsumerisme, diakses pada 9 September 2024.
[24] Tom Phillips, Truth: A Brief History of Total Bullsh*t, (New York: Hanover Square Press, 2020), xiv.
Category : filsafat
SHARE THIS POST