Kesadaran Surga dan Revolusi Harapan

slider
04 November 2020
|
1345

Age is no guarantee of maturity”—Lawana Blackwell

Saat kita sedang mengalami cobaan dalam kehidupan, seringkali kita akan menjadi sedih, putus asa, dan merasa seolah menjadi satu-satunya orang yang paling menderita di dunia. Cobaan yang dihadapi seakan tak sebanding dengan kemampuan yang kita miliki.

Akibatnya kita menjadi pesimis dan beranggapan bahwa kita tidak mungkin bisa melewatinya. Pertanyaan demi pertanyaan datang memasuki kepala kita bagai musuh yang mengajak berperang setiap harinya.

Kepala kita menjadi bising, ramai dengan bisikan suara-suara yang meragukan, menggelisahkan, mencemaskan, dan menakutkan, meskipun kita sedang sendirian mendekam sepi di pojok kamar. Seakan kita terkena gangguan mental. Merasa seperti pengidap penyakit bipolar ataupun skizofrenia, dan menjadi sering terjaga pada malam hari karena terlalu sering memikirkan banyak hal (overthingking).

Ingin sekali berteriak, “Kenapa dunia ini tidak adil?”. “Kenapa aku selalu menderita?”. “Kenapa?”. “Kenapa aku tak bisa merasakan bahagia?”. Jiwa menjadi tergoncang, bak jatuh ke dalam jurang kegelapan, diri kita gemetaran menghadapi ketidakpastian, merasa sendiri, sunyi, sepi karena harapan-harapan kita tak terwujud.

Begitulah sekiranya gambaran manusia modern abad ini. Kebanyakan kita memiliki harapan yang besar dalam kehidupan, namun tidak bisa memaknai harapan dengan benar.

Kesalahan dalam memaknai harapan akan menimbukan banyak kesalahan dalam memutuskan suatu tindakan sosial baik secara kolektif ataupun personal. Sebagaimana Erich Fromm tuliskan dalam bukunya yang berjudul Revolusi Harapan (2019), bahwa “Harapan adalah unsur penentu dalam sembarang upaya untuk membawa perubahan sosial ke arah sifat hidup, kesadaran diri, dan akal yang lebih besar. Tetapi sifat asal harapan seringkali disalahpahami dan dicampuradukan dengan sikap-sikap yang tidak ada kaitannya dengan harapan, bahkan faktanya justru bertentangan”.

Dalam buku tersebut, Fromm juga menjelaskan secara detail perbedaan antara harapan dengan nafsu. Harapan bisa kita definisikan sebagai suatu hasrat atau keinginan untuk mewujudkan, mengada, dan memiliki sesuatu di kehidupan. Namun, apakah orang yang berhasrat pada mobil, rumah, harta benda yang melimpah bisa disebut sebagai orang yang penuh harap? Atau mereka hanya sekadar orang yang penuh dengan nafsu duniawi?

Untuk mengetahui hal itu, kita harus bisa mengenali sifat-sifat harapan lebih dekat. Suatu hal bisa kita katakan sebagai harapan apabila memiliki kualitas kepasifan dan “menunggu” sampai harapan tersebut menjadi kenyataan fakta.

Kepasifan tersebut akan mendorong manusia untuk segera mewujudkan harapannya, ini adalah proses di mana manusia akan mengada suatu yang tidak ada dan memastikan suatu yang tidak pasti—dalam kondisi ini harapan menjadi sangat berkaitan dengan keimanan dan ketabahan.

Harapan juga tak terlepas kaitannya dengan nafsu. Dalam beberapa teori ilmiah Sigmund Freud menganggap bahwa semua tindakan manusia didasari oleh nafsu seksual. Sementara dalam Islam kita mengenal nafsu dengan banyak macamnya.

Secara umum nafsu yang kita kenal dalam Islam ada nafsu mutmainnah, yang mendorong manusia untuk melakukan kebaikan. Lalu ada nafsu lawamah yang mendorong manusia untuk memenuhi keinginan-keinginan namun masih ada pengontrolan dan memiliki kesadaran untuk lebih mengutamakan sesuatu yang dibutuhkan.

Terakhir, ada nafsu amarah yang mendorong manusia untuk memenuhi keinginan-keinginan tanpa pengontrolan sehingga menimbulkan banyak keserakahan, kerusakan dan kehancuran bagi pelakunya.

Abu Hamid Imam Al-Ghazali sendiri berpendapat bahwa nafsu tidak semunya buruk. Nafsu tidak harus kita binasakan sebab ia merupakan bagian dalam diri kita yang tidak mungkin bisa kita binasakan. Hanya saja perlu adanya pengontrolan atas nafsu agar manusia tak dikendalikan oleh nafsunya, diri manusia sendiri harusnya yang mengendalikan nafsunya sesuai dengan kehendaknya.

Bila Freud menganggap bahwa nafsu seksual merupakan akar dari segala perbuatan manusia, di Islam kita bisa mengenal nafsu dengan level yang berbeda, dan akar dari tindakan manusia bukanlah nafsu, melainkan kehendak manusia sendiri atas nafsu.

Nafsu menjadi bagian penting dalam perwujutan harapan, ia adalah bahan bakar yang mendorong manusia untuk bergerak mewujudkan harapannya. Harapan bisa menjadi buruk apabila ia didorong oleh nafsu yang buruk yang hanya memfokuskan pada kepuasan-kepuasan sementara dan konsumsi tanpa batas untuk mempertahankan kenikmatan dunia yang fana.

Harapan akan menjadi baik apabila didorong oleh nafsu yang baik, memungkinkan seseorang untuk bersikap altruis, suka menolong sesama, toleran, dan berbelas kasih.

Al-Qur’an menyebutkan dalam surah Al-Fajr bahwa nafsu mutmainnah akan mendorong kita menuju surga, tempat yang damai, tenang, nyaman, dan penuh kebahagiaan.

┘è┘Ä┘░┘ôÏú┘Ä┘è┘æ┘ÄϬ┘Å┘ç┘ÄϺ ┘▒┘ä┘å┘æ┘Ä┘ü█íÏ│┘Å ┘▒┘ä█í┘à┘ÅÏÀ█í┘à┘ÄϪ┘É┘å┘æ┘ÄÏ®┘Å ┘▒Ï▒█íϼ┘ÉÏ╣┘É┘è┘ô ÏÑ┘É┘ä┘Ä┘ë┘░ Ï▒┘ÄÏ¿┘æ┘É┘â┘É Ï▒┘ÄϺÏÂ┘É┘è┘ÄÏ®┘ù ┘à┘æ┘ÄÏ▒█íÏÂ┘É┘è┘æ┘ÄÏ®┘ù ┘ü┘Ä┘▒Ï»█íÏ«┘Å┘ä┘É┘è ┘ü┘É┘è Ï╣┘ÉÏ¿┘Ä┘░Ï»┘É┘è ┘ê┘Ä┘▒Ï»█íÏ«┘Å┘ä┘É┘è ϼ┘Ä┘å┘æ┘ÄϬ┘É┘è 

Artinya, “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku (QS Al-Fajr [89]: 27-30).

Surga di sini bisa kita maknai menjadi dua macam, yaitu pemaknaan surga sebagai sebuah tempat setelah kematian dan pemaknaan surga sebagai kondisi jiwa seseorang yang masih hidup.

Dalam banyak literatur dinyatakan bahwa surga bersifat transenden (tak mampu digapai oleh akal manusia). Keberadaannya sulit sekali untuk dibuktikan, sehingga beberapa orang mengingkari keberadaannya. Namun keberadaan surga bisa kita rasakan sebelum kematian datang.

Angin-angin surga selalu berhembus ke setiap jiwa manusia dan meneduhkan hati orang-orang yang beriman kepada-Nya. Hembusan angin surga yang membuat hati kita menjadi tenang, bahagia, nyaman, dan setiap siang dan malam. Ini merupakan satu kenikmatan surga yang bisa kita rasakan selama kita masih hidup di dunia, surga yang kita maknai sebagai kondisi jiwa manusia.

Akar kata “surga” dari bahasa Sanskerta, berasal dari kata “svar” dan “ga”. “Svar” berarti “cahaya” dan “ga” berarti “pergi”. Jadi, surga dalam artian lengkap adalah perjalanan menuju cahaya.

Dalam perjalanan menuju cahaya seorang pejalan akan diterangi pancaran dari cahaya-Nya, atau melihat kemerlip sinar yang akan menghantarnya menuju sumber cahaya sejati.

Surga adalah tempat di mana cahaya selalu terpancar, penuh dengan penerangan. Pencaran, percikan, kilatan ataupun kemerlip cahaya yang kita lihat tersebut yang bisa kita maknai sebagai salah satu dari sedikit kenikmatan surga yang bisa kita nikmati di dunia sebagai suatu kondisi jiwa yang tenang.

Problem manusia abad-21 adalah kesalahan dalam memaknai harapan, sehingga tak bisa menikmati kenikmatan surga selama hidupnya. Harapan masyarakat modern seakan tak punya kualitas pasifnya. Ketiadaan kualitas pasif yang memungkinkan manusia kehilangan sifat-sifat religiusnya dan tak lagi memiliki lebih banyak waktu untuk berkontemplasi.

Manusia lebih memilih tinggal di antara tumpukan beton dan aspal ketimbang dengan alam. Kemajuan teknologi juga telah memanjakan manusia dan membuatnya terbiasa untuk mendapatkan sesuatu dengan cepat tanpa harus menunggu.

Keimanan dan ketabahan menjadi terkikis sebab manusia telah berpikir secara praktis dan mengabaikan rasa emosionalnya dalam menjalani kehidupan. Manusia menjadi terlalu ambisius, opimis yang berlebihan, dan tak jarang bersikap arogan untuk mewujudkan harapannya.

Harapan dari manusia modern tidak lagi memiliki tujuan yang berarti dalam kehidupan. Manusia modern kehilangan esensi dari harapannya. Tujuan dari harapan yang seharusnya adalah ketenangan jiwa sehingga bisa hidup lebih bahagia malah beralih pada hal-hal yang bersifat materi.

Kenyataannya kita menjadi terlalu sibuk pada pekerjaan, namun tidak lagi produktif sebagai manusia. Kita menjadi terlalu bergantung pada data-data komputer dan hasil produksi untuk bisa menikmati kebahagiaan. Harapan kita menjadi bersifat materialis dan beransumsi bahwa pencapain harapan adalah ketika kita bisa menumpuk harta benda sebanyak-banyaknya dan menguasai dunia.

Terlalu banyak orang yang berambisi untuk menguasai dunia, tetapi ia sendiri tidak bisa menguasai dirinya sendiri. Hal inilah yang membuat banyak orang terjatuh pada jurang keputusasaan, kehancuran, kekecewaan, dan kesediah.

Segala hal yang membuat kehidupan manusia tidak lagi tampak cerah bercahaya, wajahnya menjadi suram dan gelap. Kondisi bantin seperti ini bisa kita sebut sebagai kondisi di mana seseorang berada dalam dunia bawah, dunia yang gelap, tidak ada cahaya sehingga ia tak mampu melihat sebenar-benarnya realita, langkahnya tak terarah, dan dipenuhi kecemasan.

Adakah yang bisa manusia lihat dalam kegelapan? Tak ada!

Mata perlu cahaya untuk bisa memandang jalan. Lalu bagaimana manusia bisa melangkah di kehidupan apabila kedua bolanya tak menangkap cahaya? Dalam kegelapan, kehidupan adalah sebuah kefanaan yang tak bermakna.

Ada salah satu kalimat dalam kitab Al-Hikam karya Ibn Atha’illah yang berbunyi, “Al-kaunu kulluhu zhulmatun wa innamaa anaarahu zhuhuurul haqqi fihi” (Seluruh alam raya adalah kegelapan. Yang membuatnya bercahaya dan terang ialah terbitnya Yang Maha Benar di dalamnya).

Bagaimana cahaya-Nya bisa terbit dalam hati kita, sedangkan diri kita terhijab oleh tembok keinginan-keinginan dan menjadikan materi sebagai tujuan? Bagaimana Allah tidak cemburu kalau kita menduakan-Nya dengan harta benda, kekuasaan, titel, dan jabatan? Seluruh keinginan kita di dunia menghalang-halangi kita untuk mencicipi kenikmatan surga. Padahal, pintu surga telah dibuka lebar-lebar setiap harinya, angin surga terus berhembus keluar menyejukkan hati para penghuni dunia.

Untuk bisa menuju surga kita harus bisa mengurangi beban kita di dunia, kurangi bagasi kita agar perjalanan akan lebih ringan untuk mendaki tangga kehidupan.

Dalam Zen kita akan mengenal bahwa gelas yang telah terisi penuh tak akan bisa terisi lagi. Dalam Tao dan Konfusius kita akan mengenal bahwa kosong adalah isi. Sedang dalam Islam kita akan mengenal hakikat kehidupan dengan lebih sederhana, “Apa yang kamu berikan, itu yang akan kamu dapatkan”.

Kita harus mengurangi isi pikiran dan hati agar dapat menerima cahaya-Nya. Setiap hal yang kita miliki memiliki sedekahnya sendiri-sendiri. Jangan biarkan diri terisi sesak oleh dunia, lepaskanlah sedikit demi sedikit agar langkah menjadi ringan menapaki kehidupan, agar tak menjadi seperti atlas yang dibebani dunia di pundaknya.

Dengan demikian itu nantinya kita bisa berjalan menuju cahaya, sebab perjalanan manusia sejatinya adalah perjalanan menuju cahaya, bukan perjalanan untuk menguasai dunia. Harapan manusia seharusnya adalah untuk bisa mencapai kenikmatan surga bukan sekadar kenikmatan dunia semata.

Referensi:

Fromm, Erich, 2019, Revolusi Harapan, terj. Hafi Taqwan Santoso, Yogyakarta: IRCiSoD.

Abdalla, Ulil Abshar, 2019, Menjadi Manusia Rohani: Meditasi-meditasi Ibnu Atha’illah dalam Kitab al-Hikam, Bekasi: Alifbook.

Wattimena, Reza A.A,2016, Tentang Manusia: Dari Pikiran, Pemahaman, sampai dengan Perdamaian Dunia, Yogyakarta: Maharsa.

Al-Ghazali, 2020, Proses Kebahagiaan: Mengkaji Kimiya’us Sa’adah Imam al-Ghazali, terj. K.H. A. Mustofa Bisri, Jakarta Selatan: Qaf.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Rizki Eka Kurniawan

Lahir di Tegal. Seorang pembelajar psikologi dan filsafat Islam. Aktif dalam Forum Sinau Bareng Poci Maiyah Tegal.