Burung-Burung Spiritual Fariduddin ‘Attar: Kerinduan pada Kampung Halaman

slider
08 November 2023
|
1963

Fariduddin ‘Attar lebih dari sekadar seorang pejalan dari wujud keberadaan sebagai makhluk jasmani menjadi makhluk ruhani. Ia tidak hanya bepergian jauh mencari kebenaran sejati sembari memikul beban kerinduan. Tetapi ia seorang pejalan bersama burung-burung spiritual yang selalu berhasrat kembali ke kampung halaman ruhani, tempat di mana ruh berasal.

‘Attar lahir di Nisyapur, Iran, yang juga menjadi kota kelahiran tokoh terkenal lain, Umar Khayyam. Ia seorang sufi masyhur, salah satu guru spiritual Jalaluddin Rumi. Ia pernah meramal Rumi kecil. “Kelak,” ungkap ‘Attar kepada Bahauddin Walad, ayah Rumi, penuh yakin dan daya ruhani, “anakmu ini akan harum namanya, baik di Barat maupun Timur (W.M., 2016).

Ramalan itu benar. Melalui puisi-puisi mistik dan Tari Darwish (tari sufi), nama Rumi mewangi hingga kini. ‘Attar juga turut andil mengilhami Muhammad Iqbal (penyair dan filosof terkenal abad ke-20) dalam menggubah puisi-puisi dan karya-karyanya.

Guru spiritual satu ini seorang pengagum perjalanan. Ia selalu terdorong kerinduan sejati yang menyadarkan bahwa dunia sebagai persinggahan untuk meraup bekal hingga tergoda mencari rumah abadi.

Dalam karya monumentalnya, Mantiq al-Thair (Percakapan Burung), ia mewejang: kerinduan tidak menjadikan seorang sebagai perindu (sejati) sampai kerinduan itu membuatnya lebur (fana’) dengan apa yang ia rindukan. Setiap orang yang rindu harus melebur dengan apa yang dirindukannya.

“Kerinduan identik dengan api,” ungkap ‘Attar, “sedangkan akal sebagai asapnya.” ('Attar, 2002). Tidak layak dikatakan perindu sebelum akalnya mem-fana-kan diri atau dikuasai total kerinduan itu.

‘Attar berjalan mencari kampung halaman ruhaninya, sebuah perjalanan melampaui batas-batas iman dan kafir. Rindu yang sakral dijadikannya bekal untuk suatu waktu berjaga di tengah godaan duniawi.

Kerinduan oleh para sufi terlukiskan begitu esoterik. Kita akan sulit memahami rindu yang dalam puncaknya sampai pada keadaan fana’ dan baqa’, tanpa memahami perkembangan dua istilah itu.

Jagat sufisme menggambarkan fana’ (peleburan) sebagai suatu proses di mana jiwa dihilangkan dari semua hasrat, suka, dan keinginan-keinginannya, sehingga dalam posisi ini kemauan diri menjadi objek kehendak Tuhan semata (Nicholson, 2002). Kekasihnya adalah Tuhan, yang ia rindukan hanya Tuhan. Ia setia mencintai dan dicintai secara lahir dan batin, darinya adalah nyata, bukan dari yang telah “tiada” tetapi yang selalu “ada”.

Sedangkan puncak dari memfanakan diri adalah terciptanya kondisi baqa’ atau merasakan kebakaan: memasuki kehidupan sejati. Keadaan baqa’ menyatakan dirinya tak lagi terpisah dari Tuhan (Nasr, 2020).

Seluruh ciptaan, seperti halnya jiwa manusia, selalu tergerak tanpa henti dalam kegelisahan yang suntuk sebelum mencapai titik akhir, yaitu penghayatan yang mendalam atas hakikat dan makna kefanaan. Setelah itu barulah ia merasakan kebakaan.

Kerinduan dalam laku ‘Attar oleh kita barangkali melahirkan permenungan: siapa pun yang kakinya menapaki jalan kerinduan sejati, ia sedang menuju rumah asal yang adalah rumah kekasihnya—Sang Pencipta.

Ada sebuah ilustrasi tentang kerinduan dalam kitab legendaris ‘Attar. Suatu waktu ada seekor Bulbul merindukan mawar. Tetapi kerinduannya ditampik Hudhud—raja para burung—sebab kerinduan pada mawar adalah semu dan berpotensi membuat akal jemu. Sebagaimana seseorang yang mencintai permata karena keelokan warna, ketika warnanya hilang, tinggallah batu semata.

Hudhud menyarankan kerinduan ideal: ia harus didefinisikan sebagai kerinduan yang bergerak total dari hati hingga pikiran menuju yang tak terbatas dan kekal—kerinduan makrifat.

‘Attar seperti ingin mengatakan, bahwa kerinduan harus lepas dari tampilan-tampilan luar. Sebab, menurutnya, kerinduan pada bayang-bayang fisik akan sampai pada keping-keping kebosanan.

Pada tahap kerinduan yang sangat, seseorang akan berkata: “Ketika kamu dilempari batu oleh yang kamu rindukan, itu lebih baik daripada dilempari permata oleh yang lain” ('Attar, 2002). Rasa sakit dari kekasih harus ditafsirkan sebagai bagian dari makanan bagi perindu sejati. Begitu kira-kira.

‘Attar rela melakukannya. Ia seolah meyakini hidup tanpa kerinduan sejati tidak akan pernah menjadi sebutir mutiara berkilauan.

Burung-Burung yang Berkilauan Mutiara

Tamsil burung dalam sastra Islam kali pertama dipakai Ibn Sina ketika menulis tentang jiwa manusia. Kemudian tamsil burung dipakai Suhrawardi dan Majuddin Sana’i. Namun, burung menjadi tamsil makin hidup dan bermakna setelah diramu ‘Attar dalam Mantiq al-Thair yang ditulis pada 1178 M (W.M., 2016).

Di dalamnya dikisahkan burung-burung berkumpul dan bersidang membicarakan keadaan kacau dan tiadanya raja. Dalam pertemuan itu, Hudhud akhirnya hadir sebagai pemimpin dan mengatakan bahwa keadaan burung akan pulih apabila mereka berhasil menjumpai raja sejati.

Meski seekor Hudhud adalah raja bagi bangsa burung, tetapi ada raja sejati yang oleh petunjuk Hudhud, seluruh bangsa burung harus sampai pada tahapan merindukan pulang ke hadapan raja sejati ini. Ialah Simurgh yang juga disebut garuda dalam kisah Mahabharata.

Simurgh tinggal di puncak Gunung Qaf. Si burung raksasa ini raja sejati yang berdaulat raya dan bermandikan kesempurnaan dari keagungannya. Ia tak menampakkan diri sepenuhnya meskipun di tempat persemayamannya sendiri, dan tentang ini tak ada pengetahuan atau kecerdasan yang dapat meraihnya.

Jalan menuju sang Simurgh tak dikenal, meskipun ribuan burung melewatkan hidupnya dalam kerinduan. Bahkan jiwa yang paling suci pun tak pula dapat memahami. Kedua mata ikut buta dalam menapaki jalan menujunya. Dilukiskan bahwa si burung paling bijak bestari sekalipun tak dapat mengetahui kesempurnaannya dan si arif tak pula dapat mengamati keindahannya.

Meskipun perjalanan ke sana sangat berat, semua burung harus terbang mencari rajanya. Dan, dari sekian burung yang terbang mencari Simurgh, hanya tiga puluh burung yang berhasil. Dalam perjumpaan itu para burung sadar, ternyata Simurgh tidak lain adalah hakikat diri mereka sendiri. Saat rasa takjub hadir, mereka berkata:

Mereka saksikan kehadiran tanpa nama dan kata

Jauh dari jangkauan indra, pikiran dan pemahaman biasa

Apabila kilatan Cahaya terpancar darinya

Maka seratus dunia pun hangus terbakar dalam sekejap

Seratus ribu bulan dan bintang, malahan lebih

Mereka saksikan penuh takjub

Seperti zarrah mereka datang dan menari mengitari-Nya

Begitulah ilustrasi tentang Simurgh, Sang Cahaya. Segera kita mengerti, ia sebagai rahasia keagungan Tuhan.

‘Attar dalam karyanya mengisahkan burung-burung yang tak tahan bahaya dan godaan, tetapi ia juga mengisahkan burung-burung yang selamat. Tiga puluh burung yang selamat adalah mereka yang telah melakukan perjalanan dari diri ke Diri: dari perjalanan diri hina ke Diri Sejati. Itulah burung yang hidupnya penuh kerinduan. Segera saja kita dapat berkata, itulah burung-burung yang berkilauan mutiara.  

Burung-burung dalam karya monumental ‘Attar mencipta eksemplar teladan bagi para pejalan ruhani. Para burung memiliki sayap dan tanpa peduli apakah berpengalaman atau tidak, akan berusaha terus menerus terbang mencari Tuhan. Sebagaimana para sufi yang merindu asal ciptaan dan Sang Pencipta.

Merindukan asal ciptaan dan Sang Pencipta terberkati melalui pancaran ruhani (isyraqat ruhiyyah). Dorongan manusia kembali ke asal mengakar hingga alam bawah sadar. Manusia meskipun menampik, akan secara ontologis tergerak merindukan itu sebab adanya perjanjian primordial dengan Sang Pencipta di alam ruh. Mereka merasa terpanggil untuk pulang ke kampung halaman.

Dalam perjalanan pulang ke kampung halaman, para pejalan akan menyaksikan cahaya “membakar jasmani”. Bukan menghindar, tetapi semakin mendekat sampai lebur dan kekal bersama sumber Cahaya. Itulah jalan pulang yang ditempuh Fariduddin ‘Attar dan para burung spiritual yang berkilauan cahaya.

Referensi:

'Attar, F. (2002). Manthiq al-Thair. Bairut: Dar al-Andalus.

Nasr, S. H. (2020). Tasawuf Dulu dan Sekarang. Yogyakarta: Ircisod.

Nicholson, R. A. (2002). Gagasan Personalitas dalam Sufisme. Yogyakarta: Pustaka Sufi.

W.M., A. H. (2016). Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Jejak-Jejak Pergumulan Kesusastraan Islam di Nusantara. Yogyakarta: Diva Press.


Category : keislaman

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Muhammad Faizul Kamal

Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tertarik pada sufisme, musik, filsafat, sepak bola, dan sastra. Bisa disapa melalui Instagram @m_faizulkamal.