Tadabur tentang Tidur
Bila kita mengkalkulasikan secara keseluruhan aktivitas manusiawi dari hari ke hari hingga zaman ke zaman, manusia di bumi ini tidak dapat dilepaskan dari tindakan-tindakan serupa hewan, seperti makan, minum, tidur, buang hajat, berhubungan seksual atau bereproduksi. Keserupaan dalam hal ini tidak dalam upaya melihat korelasi atau kesuaian antara manusia dengan binatang, akan tetapi keunikan manusia dalam menilai, mempertimbangkan, merenungkan, bahkan sampai membuat jadwal untuk membagi waktu kapan aktivitas tersebut dilakukan.
Penulis menilik tidur yang tampaknya sering menjadi aktivitas yang hanya dipahami sebagai bentuk istirahat seseorang atau kondisi tidak sadarnya manusia ketika ia terlelap. Tentu dunia kesehatan sering menganjuran untuk tidur yang berkualitas dan adanya bahaya begadang. Namun bila berhenti pada dunia kesehatan saja, bagaimana dapat diambil adanya hikmah dari tidur?
Para filsuf berbeda-beda dalam membicarakan tentang tidur. Rene Descartes berkata, “Saat tidur, kita dapat membayangkan diri kita memiliki tubuh yang lain atau melihat bintang-bintang yang lain serta bumi yang lain, dimana tidak ada yang menyerupainya.”
Sedangkan David Hume berkata lain, “Seseorang yang tertidur lelap tidak peka terhadap waktu.” Kierkegaard lain lagi, menganggap bahwa tidur adalah puncak kejeniusan. Adapun Plato dan para filsuf Athena mengkritik mereka yang banyak tidur sebagai suatu aib atau bahkan tidak berguna, layaknya orang mati.
Dalam dunia kerja, banyak orang rela lembur semalaman atau shift malam demi proyek pekerjaannya selesai. Bagi para pengganguran, lain lagi dalam keseharian, waktu terbilang habis untuk nongkrong semalaman suntuk secara tidak produktif. Sebagian lagi, bahkan ada yang mengidap insomnia lantaran problem ekonomi dan percintaan.
Bagi pelaku tidur cukup, mereka akan mengatur jadwal siklus tidur yang berkualitas, menyempatkan tidur di sela waktu istirahat jam kerja, atau rela tidur di pinggir jalan atau dimana tempat asal dapat rehat secara nikmat. Namun juga ada makhluk manusia yang tertidur di tengah waktu kuliah atau rapat instansi tengah berlangsung. Begadang atau tidur lelap, keduanya dapat dinilai secara situasi dan kondisi.
Penulis teringat dulu ketika nyantri di Krapyak, para santri memang terbiasa dengan tidur tanpa kenal lelah dan tak tahu waktu dan tempat, entah ketika di kamar, aula pengajian, masjid, bahkan di kamar mandi. Santri dapat tidur dimana tempat bukan tanpa alasan, sebab lebih baik tidur saat ngaji atau sekolah daripada bolos ngaji atau sekolah. Kyai kami mengajarkan bahwa tidur merupakan pengalaman yang dapat disebut sebagai “latihan mati”, sebagaimana tercermin dalam doa sebelum tidur, “Bismika alllahumma ahyaa wa bismika amuut” (Dengan nama-Mu ya Allah aku hidup dan dengan nama-Mu aku mati).
Tidur sebagai “latihan mati” dapat dipahami sebagai hikmah; langkah manusia menuju hadirat Allah SWT dengan menyerahkan dan memasrahkan jiwa raga menjelang “ajal” atau ketika menjelang mata tertutup.
Dalam kitab Jami’ al-Ushul fi al-Awliya’, Syaikh Dhiyauddin Ahmad Al-Kamaskhanawi An-Naqsyabandiy mengatakan, bahwa termasuk adab seorang murid atau salik dengan saudara sesama penempuh jalan ruhani adalah menganggap tidur sebagai “ibadah paling ikhlas”. Sebab, orang yang tidur tidaklah ditulis baginya dalam lembar catatan amal. Hal ini menegaskan tidur memang murni tanpa adanya dosa dan pahala, sehingga tidurnya para penempuh jalan ruhani hanya diniatkan untuk Allah SWT semata.
Para sufi maupun salik penempuh jalan ruhani memilik kebiasan tersendiri terkait dengan tidur. Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibn al-‘Arabi menjelaskan dalam Futuhat al-Makkiyyah bahwa manfaat sahr atau terjaga di malam hari agar ia dapat terus bangun untuk menyibukkan diri bersama Allah SWT demi menggapai apa yang diharapkan. Sahr atau tidak tidur termasuk dalam amalan lahiriah yang harus dilakukan seorang murid sebelum berjumpa dengn guru ruhaninya, selain ju’ (lapar), ‘uzlah (mengasingkan diri), dan sumt (diam).
Para sufi memang memiliki latihan spiritual atau riyadhah berupa menyedikitkan makan-minum, berbicara, dan menyedikitkan tidur. Namun ketika tertidur, tentu hal ini sebagai bentuk memenuhi hak mata atau hak jasmani tubuh samata. Tidur dalam hal ini dapat dipahami sebagai upaya memahami diri kita di hadapan hadirat Tuhan semesta alam.
Dalam Al-Qur’an surah an-Naba’ ayat 9 dikatakan bahwa, “Wa ja’alna naumakum subatan” (Dan Kami jadikan tidurmu sebagai istirahat). Terkait tidur ada juga hadis Rasulullah Saw ketika beliau bersabda, “An-Naasu niyaamun, fa idza matuu intabahuu” (Manusia sedang tertidur, ketika mati mereka terbangun).
Ayat dalam Al-Qur’an surah an-Naba’ ayat 9 tersebut mengisyaratkan bahwa manusia tidur mengambil “jeda” dari kebersamaannya dengan Tuhannya sehingga ia terpisah dari-Nya secara indrawi dan maknawi. Adapun hadis Nabi Saw di atas menegaskan bahwa kehidupan di dunia ini merupakan “tidur di dalam tidur”, yakni ketika manusia mati mereka akan terbangun dari tidurnya di dunia dan alam barzakh, sehingga ia terjaga selamanya di akhirat.
Dari sini tampak bahwa tidur kita memang suatu kebiasaan fisik yang membuat kita berjarak dengan Allah SWT, sehingga kadang kita lupa dan lalai untuk terjaga dan bangun untuk bersama dengan hadirat-Nya.
Jika kita kembali pada hikmah bahwa tidur adalah latihan mati, maka dapat direnungkan kembali bahwa kehidupan kita di dunia ini tak lebih adalah tidur selama umur masih dikadung badan. Selama kita hidup di dunia di situlah kita melatih jasmani dan ruhani demi kehidupan yang hakiki kelak di akhirat. Tentu kita sering mendengar bahwa Kanjeng Nabi Muhammad Saw yang kedua matanya tertidur, tetapi hatinya terjaga, atau Nabi Isa a.s yang tidak pernah tidur dan senantiasa berpuasa. Dari sini kita dapat mengambil hikmah dan ibrah jika tidur meskipun bersifat jasadi atau badaniah, kita dapat mengarahkanya pada peningkatan kualitas diri secara ruhani.
Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam Bidayah al-Hidayah menganjurkan bahwa kita harus beradab di hadapan Allah SWT secara lahir-batin; dimulai sejak dari kita bangun tidur hingga sebelum kita merebahkan diri di atas ranjang tidur. Para ulama dahulu memiliki kebiasaan menulis apa saja dosa, kemaksiaatan atau kesalahan yang terjadi, bahkan sampai pada hal yang terlintas dalam hati selama sehari sebelum beranjak tidur.
Agar tidur bukan sekadar bentuk istirahat selepas dari segala aktivitas fisik selama seharian, namun dapat menjadi bernilai ibadah, arahkan tidur sebagai istirahat dari segala keburukan atau sebagai upaya penghindaran diri dari kemaksiatan. Barangkali dari sini dapat dipahami, upaya atau proses seseorang dalam meningkatkan kualitas hidupnya secara lahir-batin, dimuai dari semenjak ia bangun dari tidurnya hingga ia kembali menuju tidurnya.
Alhamdulillahi alladzi ahyaana ba’da amaatanaa wa ilayhi an-nusyuur.
Category : keislaman
SHARE THIS POST