Rukyatulhilal: Sebuah Catatan Pengalaman

slider
23 April 2020
|
815

Setiap bulan Ramadhan, baik saat hendak menyambut kedatangannya atau melepas kepergiannya, umat muslim di Indonesia selalu disibukkan dengan rukyatulhilal. Hal ini menjadi semacam prasyarat sebelum menentukan kedatangan bulan baru. Entah sebagai yang berpegang pada rukyah atau yang tidak, rukyatulhilal selalu menjadi tema yang ramai, meski tidak terlalu asyik untuk diperdebatkan. Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai perlu tidaknya rukyatulhilal untuk menentukan kedatangan awal bulan, rukyatulhilal tidak sesederhana yang biasa kita dengar ceritanya.

Secara harfiyah, rukyatulhilal berarti melihat bulan tanggal satu. Sekilas, hal ini bisa dilakukan dengan sederhana. Karena meskipun mungkin hilal tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, ada bantuan alat modern yang canggih untuk melihat hal-hal yang sebelumnya tidak bisa dilihat oleh mata telanjang. Hal ini kemudian menggiring kita pada pemahaman bahwa, selama ada alat yang canggih, cuaca sedang cerah, dan mata tidak sedang dalam keadaan sakit, maka rukyatulhilal bisa dilakukan. Tapi rukyatulhilal pada praktiknya tidak sesederhana itu. Ada hal-hal yang lebih penting dari sekadar kesehatan mata, cuaca yang cerah, dan alat yang canggih, yaitu hasil hisab (perhitungan).

Pada awal mendengar tentang rukyatulhilal saya juga dulu berpikir bahwa rukyatulhilal hanyalah tentang melihat bulan tanggal satu. Hingga kemudian muncul sebuah pertanyaan yang diajukan oleh guru falak saya, di sebelah mana kita akan menemukan hilal? Langit terbentang luas di atas kita, sementara di saat yang sama hilal juga kerapkali hanya terlihat sangat kecil (karena memang masih awal bulan).

Pertanyaan sederhana, namun mengungkap tentang satu pengetahuan menarik, bahwa seseorang tidak bisa berangkat melihat hilal dengan tanpa modal hisab (perhitungan). Menemukan titik kecil hilal di antara luasnya langit adalah hal yang sulit jika kita berangkat dengan pengetahuan yang tidak cukup. Ibarat pergi ke medan perang dengan tanpa mengetahui peta kekuatan lawan, hancur.

Saya masih ingat betul ketika saya dan teman-teman seangkatan di Madrasah Mu’allimin Tambakberas, Jombang, berkesampatan untuk praktik rukyatulhilal di pantai Boom, Tuban. Kami berangkat dengan modal hasil hisab yang telah kami lakukan satu tahun sebelumnya. Penasaran, sedikit sombong dan bercampur lupa atas hasil perhitungan yang kami lakukan sebelumnya, kami berangkat dengan modal yang cukup lengkap, termasuk alat pemantau. Alat pemantau harus ditata di tempat yang sedatar mungkin. Mencari tempat datar untuk alas alat pemantau di bibir pantai tak semudah mengkhatamkan cerpen dalam sekali duduk. Hal ini butuh kesabaran.

Setelah memastikan alat pemantau ada di tempat yang datar, saatnya menentukan arah alat pemantau. Di sinilah fungsi hisab. Alat pemantau hanya akan difokuskan pada titik yang telah ditentukan oleh hisab. Berapa derajat hilal dari permukaan tanah, berapa derajat dari garis lurus arah barat, jam berapa kira-kira hilal akan muncul serta berapa lama hilal akan bertahan? Pada titik ini orang yang melakukan rukyatulhilal harus taat pada hasil hisab yang telah ditentukan.

Pertanyaannya kemudian, mungkinkah hilal muncul pada titik di luar yang telah ditentukan oleh hisab? Pengalaman saya berikut mudah-mudahan memberi terang.

Saat pemantauan sudah berlangsung beberapa menit krusial (karena ada di saat menit-menit seharusnya hilal muncul), ada beberapa orang dari kami yang tiba-tiba menunjuk satu titik kuning di sebelah barat di sela-sela kami mengamati kemunculan hilal. Titik kuning itu muncul di titik yang berbeda dengan perhitungan kami. Dalam suasana yang capek menunggu kemunculan hilal serta waktu yang semakin menunjukkan petang, temuan titik kuning itu menjadi oase di tengah padang pemantauan kami. Hilal telah terlihat. Artinya, rukyah berhasil dilakukan.

Tetapi dengan cekatan, pembimbing kami, KH. Mujib Adnan mengingatkan. Secara teoritis falak, tidak mungkin hilal muncul di luar titik perhitungan. Lalu dengan mengutip Sullam an Nayrayn, beliau menyebut ada banyak titik kuning di langit, termasuk bintang dan planet-planet lain selain bulan. Jadi, jika ada titik kuning menyerupai bulan di luar titik yang telah ditentukan oleh perhitungan, itu bukan hilal. Keterangan ini seperti menahan kami dari perasaan lega. Masih ada rasa capek dan konsentrasi yang harus tetap ditahan.

Sekadar catatan, selama kami belajar falak, kami hanya berpedoman pada satu kitab, Sullam an Nayrayn. Kitab ini dikarang oleh ulama asal Betawi, Syaikh Manshur al-Batawi. Selain Sullam an Nayrayn, ada beberapa kitab falak lain yang beredar di Indonesia, seperti Badi’ah al Mitsal karangan KH. Ma’shul Ali (menantu KH. Hasyim Asy’ari), Tadzkirat al-Ikhwan fi Ba’dli Tawarikhi wal ‘Amali al-Falakiyyah karya KH. Ahmad Dahlan (menantu KH. Sholeh Darat), al-Qawaid al-Falakiyyah karya Abdul Fattah ath Thufi, Almanak Menara Kudus karya KH. Thuraikhan Ajhuri, dan lain sebagainya. 

Kenangan tentang kekhilafan dalam rukyatulhilal yang pernah kami lakukan itulah yang menyadarkan kami tentang arti penting perhitungan. Ia akan menuntun orang yang mau rukyah ke titik yang tepat. Sehingga secara otomatis akan menyingkirkan titik-titik yang dianggap titik hilal, macam temuan titik kuning itu.

Pertanyaannya kemudian, mengapa beberapa orang yang melakukan rukyah gagal melihat hilal padahal sudah sesuai dengan perhitungan? Selain karena cuaca dan alasan non teknik lainnya, salah satu alsan mengapa hilal tidak bisa dilihat adalah karena hilal berada di titik di bawah dua derajat. Ada juga mazhab yang berpendapat empat derajat dari permukaan tanah/laut. Karena itu, jika secara hisab hilal berada di bawah angka di atas, hampir mustahil hilal akan terlihat.   

Dengan berbagai prasyarat yang begitu ketat, bisa melihat hilal selalu menjadi kenikmatan tersendiri. Apalagi jika terlibat sejak masa melakukan hisab. Ini seperti menemukan jawaban pasti atas ramalan yang telah kita lakukan atas alam. Dan alhamdulillah, Tuhan pernah menganugerahkan kesempatan itu kepada saya.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Hamdani Mubarok

Squad #4 Literasi Masjid Jendral Sudirman. Kontributor buku Serat Kehidupan (MJS Press, 2021).