Mau Alasan Apa Lagi Aku?

slider
11 April 2020
|
1664

“During moments of strife and 'dis-ease', check your flow and redirect your focus to that which is naturally good” (T.F. Hodge, From Within I Rise)

Ada beberapa hal yang aku risaukan akhir-akhir ini, tidak melulu tentang pandemi bernama virus corona, yang ‘mengistirahatkan’ dunia tua ini dari segala kesombongan aktivitas dan produktifitasnya; juga bukan tentang segala efek samping politik-sosial-budaya-intelektual yang dilahirkannya. Pertama-tama yang aku risaukan adalah diriku sendiri, ya, diriku sendiri.

Sudah hampir satu bulan aku menyepi dan ‘merebah’ di rumah, sebagaimana “diperintahkan”. Hidupku belakangan ini hanya berputar di tiga tempat: dapur, Kasur, dan smartphone. Selain tidur dan makan, menu harian yang kulahap setiap hari tidak jauh-jauh seputar corona juga: mencurigai orang sekeliling, kontestasi ide, perlombaan prediksi, konflik antarkepentingan, adu statistik, pertarungan perspektif, pertandingan komentar, persaingan antar ‘kebijaksanaan’, dan lain sejenisnya.

Menu luar biasa itu terpaksa kulahap setiap hari, karena begitu saja masuk menyerbu ke dalam smartphone-ku, dunia kecil yang ke mana pun kugenggam sayang.

Awalnya terasa campur aduk; ada kebingungan karena ketidakjelasan situasi yang sebenarnya; ada kecurigaan akan adanya konspirasi dan politisasi; ada kekhawatiran akan terjadinya pengabaian atau ketakutan berlebihan; ada patriotisme untuk tidak mundur dan tidak menyerah;  ada pesimisme akan kemampuan dan daya tahan pemerintah serta rakyatnya; ada pula emosi-emosi keagamaan yang mengemuka dengan segala bentuknya, baik dalam gaya khauf maupun dengan intonasi raja’. 

Awalnya, sambil malu-malu-mau aku menyatakan bahwa ‘rebahan’ku kali ini karena terpaksa, bukan karena malas, apalagi sekadar kerinduan akan tanggal merah. Kutegaskan, bahwa ‘aku tuh sebenarnya ingin tetap beraktivitas, produktif, tapi mau bagaimana lagi?’.

Namun, diam-diam ada juga suara di dalam yang sayup terdengar, “Alhamdulillah, bisa liburan dan istirahat”.

Awalnya, aku bayangkan di hari-hari menyepi di rumah nantinya, aku akan tetap produktif melahirkan karya dan menyebar kemanfaatan, dalam bentuk apa saja. Tentunya sebagian besar akan dilakukan lewat dunia maya, karena dunia nyata sudah ‘dikunci bawah’.

Untungnya, dunia maya tak kekurangan cara dan fasilitas untuk menerjemahkan segala hasrat dan keinginan manusia masa kini. Segala tata perilaku dan semua tata nilai manusia mampu difasilitasi, diwadahi, dan diwujudkan oleh perangkat dunia maya ini.

Awalnya, aku bayangkan dalam kesendirian, tak terganggu oleh beragam rutinitas dan jadwal keluar, aku akan leluasa melakukan tafakur dan muhasabah. Mungkin memang Allah merancang skenario pandemi ini sebagai pengingat sekaligus undangan bagiku untuk tidak selalu berjalan keluar, namun sebaliknya, meniti perjalanan ke dalam, ke diri, ke dalam diri.

Mungkin Allah mengingatkanku bahwa arah perjalanan hidupku selama ini keliru, karena amanat kehadiran kita di dunia ini memang bukan ‘pergi ke luar’, ke arah dunia, namun ‘kembali ke dalam’, kepada-Nya, Ilaihi raji’un.

Awalnya, aku bayangkan bahwa dalam jauh dari keramaian, aku dapat lebih asyik bercengkerama dengan-Nya, Sang Penguasa alam semesta. Bermunajat-ria, berkeluh-manja, bersimpuh di hadapan-Nya lebih lama, menyungging senyuman raja’ dan mengembangkan air mata khasyah, di hadapan-Nya.

Di malam hari, kubayangkan ber-asyiq-masyuq di hadapan-Nya, sambil kusenandungkan syair Rabi’ah al-Adawiyah: “Tuhanku tenggelamkanlah aku dalam samudera cinta-Mu, sehingga tidaklah lagi aku membimbang hadir-Mu. Wahai Kekasihku.

Bintang di langit telah gemerlapan, banyak mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci dan tiap pencinta telah menyendiri dengan yang dicintainya. Inilah aku, kini berada di hadirat-Mu".

Lalu di pagi hari, saat malam berakhir, kembali kudendangkan syair Rabi’ah: “Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera menampakkan diri. Aku gelisah, apakah amalanku Engkau terima hingga aku merasa bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa gelisah.

Demi ke-Mahakuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan selama Engkau beri aku kehidupan. Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintu-Mu, aku tak akan pergi menjauh, karena cinta pada-Mu telah memenuhi dadaku”.

Ternyata semua itu hanya awalnya, atau lebih tepatnya lagi ‘rencananya’, ‘niatnya’. Apa yang terjadi tidak seperti bayangan, ‘jauh panggang dari api’. Berjarak ideal dari kenyataan. Hampir semua bayangan-kebaikan meleset, ambyar.

Saat ini, di rumah, aku hanya “merebah”, sejatinya merebah, merebah yang hakiki. Teringat istilah dari Ibnu Sina, “Jiwa Nabati/Tumbuhan”, salah satu daya dalam diri manusia, yang berkarakter pasif, tumbuh, dan berkembang.

Agaknya daya jiwa inilah yang hari-hari ini menonjol dalam diriku. Tidur, makan, melakukan yang wajib-wajib belaka, membiarkan segalanya berjalan dengan sendirinya, lalu “menunggu ada yang menyirami dan memupuk”. Segala jenis kesempatan, peluang, tantangan, kulewatkan begitu saja, sambil kucarikan alasan bahwa “memang situasi sedang bencana”.

Berbeda dari niatan awal untuk tetap produktif dan berkarya, yang harusnya meningkat kuantitas dan kualitasnya karena tiada lagi gangguan-godaan dari luar, ternyata harapan tiada berbuah menjadi nyata. Baru kutahu, kalau diri ini begitu lemah dan gemar sekali dimanja nafsu dan kemalasan.

Baru kusadar, kalau situasi diri ini sama saja dengan kritik yang sering kulontarkan, “Niat yang baik, namun tidak diiringi dengan tindakan yang baik dan cara yang baik, sehingga hasil dan efeknya juga bukan kebaikan yang utuh”.

Setiap kali peringatan dari dalam diri untuk aktif berkarya dan menebar kebaikan itu hadir, berhamburanlah kalimat-kalimat pembantah dan pelena diri, “Nanti saja”, “Sebentar lagi”, “Menunggu ini dulu”, “Kalau itu sudah jalan saja”, dan lain sebagainya.

Betapa situasiku hari ini kontras dengan ingatanku tentang seorang saleh yang patut diteladani. Suatu ketika, orang saleh ini sedang di kamar mandi. Tiba-tiba ia memanggil pembantunya untuk memberi sedekah kepada seseorang.

Pembantu itu berkata kepadanya, “Mengapa Tuan tidak bersabar dulu hingga keluar dari kamar mandi?”. Orang saleh ini menjawab, “Tiba-tiba aku memiliki niat untuk berbuat baik dan aku takut niat itu berubah. Oleh karena itu, begitu niat itu datang, segera aku ikuti dan laksanakan”.

Ideal untuk selalu dekat, asyik dan sibuk bersama Allah ternyata juga hanya harapan dan cita-cita belaka. Sibukku ya tetap saja tentang dunia dan hiruk-pikuknya. Karena terhalang sibuk di dunia nyata, maka kesibukanku kini beralih ke dunia maya. Kerumunan di dunia maya itu tampak betapa riuh dan ramainya; dan aku adalah salah satu di dalamnya.

Aku mengkritik mereka yang sok tahu dengan isi kritik yang juga sok tahu. Aku mencemooh mereka yang menjadikan pandemi ini untuk kepentingan sendiri dan diam-diam menegaskan kepentinganku sendiri. Aku menyindir mereka yang tida-tiba menjadi ahli agama, ahli kesehatan atau ahli psikologi, sambil tak sadar kalau aku sendiri sedang menganggap diriku lebih ahli dari mereka.

Aku ikut “urun” komentar menyakitkan, menyisipkan jempol ke bawah, menambahkan emoticon menertawakan—terhadap segala yang tidak cocok dan tidak sesuai dengan kebenaranku. Lalu sambil berlagak seperti seorang begawan atau sufi agung, kuunggah tulisan/gambar/video penuh hikmah untuk menunjukkan ‘kebesaran’ palsuku. Kemudian sahabat-sahabat yang menyukaiku memberi jempol dan mendukung, sementara yang tidak setuju memberi jempol ke bawah dan mencemooh. Lalu saling maki, saling ungkit aib dan kekurangan… dan pertarungan pun berlanjut kembali.

Kehadiran makhluk Allah yang diberi nama corona ini ternyata telah membuka banyak titik kelemahan dalam kehidupanku. Tidak hanya kelemahan fisik, tetapi juga kelemahan moral, tak ketinggalan juga kelemahan ruhani.

Dulu kesibukan luar rumah menjadi alasan mengapa aku susah produktif. Dulu juga, kesibukan dan kurangnya waktu menjadi alasan mengapa tidak banyak kebaikan bisa aku lakukan untuk diri dan lingkunganku.

Masih dulu juga, gangguan dan godaan dari situasi serta orang-orang disekelilingku menjadi alasan mengapa kecil sekali kontribusiku untuk kemaslahatan dan kemanfaatan hidup. Adapun sekarang, saat alasan-alasan itu terpatahkan, mau alasan apalagi aku?

Ah, semua ini pasti hanya aku; tentunya tidak demikian dengan dirimu…


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Fahruddin Faiz

Pengampu Ngaji Filsafat Masjid Jendral Sudirman