Denok

slider
slider
slider
09 Agustus 2018
|
1027

Denok, panggil saja dia begitu. Lama nggak berkabar, tadi dia mengirim pesan kepadaku kalau dia sekarang sudah jadi mahasiswa di salah satu universitas negeri di Yogyakarta, dia dapat beasiswa Bidikmisi (kalau tidak salah).

Aku kenal Denok karena dulu pas dia masih SMP suka ikut bapaknya ke kosku ngambil kertas-kertas dan barang-barang yang mau kurongsokin. Kadang dia kuminta bantuan buat ngangkat barang-barang dari kamarku.

Suatu saat aku ketemu bapaknya Denok di suatu kos-kosan cowok. Aku habis ngelesi anaknya yang punya kos-kosan. Bapaknya Denok seperti biasa sedang mengumpulkan barang rongsokan. Karena jalan pulang searah dan sepi, aku ngonthel mbarengi bapaknya Denok sambil ngobrol apa saja.

“Denok ki pengin les ke Mbak Imp juga sebenarnya, Mbak. Pas dulu ngambil rongsokan gitu, lihat buku-buku di kamarnya Mbak Imp. Dia sebenarnya suka banget baca-baca. Sayang orang tuanya nggak selalu bisa membelikan buku. Seringnya dapat buku bekas dari rongsokan hehe,” ceritanya bapaknya Denok dalam bahasa Jawa.

“Oh nggak usah les aja kalau Denok, Pak. Tinggal main aja ke kos kalau ada kesulitan belajar. Selama saya longgar nggak masalah. Nanti boleh baca-baca buku di kos saya,”

“Wah, boleh, Mbak? Maturnuwun nanti saya bilang ke anaknya,” kami pun berpisah di perempatan karena beda arah.

Setelah itu Denok suka ke tempatku sambil bawa PRnya. Tapi khusus mata pelajaran eksakta aku nggak bisa membantunya hehe. Sebenarnya anak ini pinter, gampang nyambungnya, jadi belajar PR cuma sebentar, banyakan ngobrol di luar itu. Suatu saat, dia pernah nulis puisi atau apa gitu, ditunjukkan padaku.

“Adhuh, Nok, iki tulisanmu cuilik buanget. Aku ra isa maca,” aku bilang tulisan dia terlalu kecil, aku nggak bisa baca, mataku kan sudah nggak normal (minus). “Ngapunten, Mbak. Soale kalau nggak kecil-kecil gitu nanti buku tulisnya cepet habis. Kasihan bapak kalau harus beli lagi,”

“Lha nek misal emang sudah habis gimana?”

“Biasanya aku ngumpulin kertas-kertas yang masih layak itu, Mbak. Tak tumpuk, distaples, jadi deh buku tulis hehe,”

Denok bercerita begitu dengan ekspresi yang biasa aja, malah cekikikan anaknya. Lha aku yang bengong. Aku entah polos entah apa ya, hampir tidak pernah mikir kalau di Solo ada orang yang nggak mampu beli buku tulis. Pikirku di kota ini warganya sudah banyak yang sejahtera, masak buku tulis nggak kebeli?

“Di sekolah aku juga nggak kuat beli buku paket, Mbak. Nah tapi bapak bisa aja dapat buku paket yang sama walau kondisinya sudah enggak sebagus yang di sekolah. Solidaritas antar pemulung katanya. Jadi mereka saling menginfokan anaknya lagi butuh buku apa, soalnya pasti ada orang yang buang buku begitu,” cerita Denok yang membuatku tak berkedip.

Aku jadi ingat kalau aku sering banget dapat voucher buku tulis dari Toga Mas tapi nggak pernah kupakai. Aku nggak butuh soalnya, bingung juga mau ngasih ke siapa. Dengar ceritanya Denok kok aku jadi merasa bersalah. Ku cari-cari voucher itu, ketemu beberapa yang masih berlaku.

Denok kuajak ke toko buku itu. Sueneng banget anaknya. Tak suruh pilih buku yang dia suka, kebetulan aku juga baru dapat sangu dari kampus. Aku tukarkan voucher buku tulis itu semua. “Bagi dua sama Saras ya,” Saras itu sepupunya yang masih SD. Aku ajak mampir juga di mall dekat toko buku itu. Pas beli jajan Breadtalk dia cuma lihatin aja. “Nggak sayang uangnya, Mbak?”

“Sekali-kali nggak papa, biar kamu juga bisa cerita ke temanmu kalau udah pernah makan roti ini,” Denok pernah cerita kalau diejek temannya karena dia nggak pernah makan Breadtalk.

Denok juga pernah cerita kalau sebenarnya orang tuanya itu kembar tiga. Ibunya namanya Ayu, buliknya namanya Indah (ibunya Saras), dan dia punya Pakdhe namanya Bagus. Simbahnya Denok ini miskin sekali, punya anak kembar tiga, tentu membuat mereka pusing. Akhirnya entah bagaimana ada orang kaya yang mengadopsi satu anak mereka, orang kaya ini milih bayi laki-laki, ya Pakdhenya Denok itu.

Tentu saja mereka berbeda nasib. Ibu dan buliknya Denok dari kecil hidupnya serba kekurangan. Mereka hanya lulus SMP. Ibunya Denok jadi buruh cuci, buliknya pedagang makanan kecil-kecilan di pasar. Aku sempat tanya, hubungan sama Pakdhe Bagus bagaimana.

“Ibu malu, Mbak. Udah kapok kalau mau berkunjung ke rumah Pakdhe. Dulu sempat sih ke sana bawa makanan sama baju rajutan ibu sendiri. Itu ibu dapat peralatan dan benang rajut dari keluarga yang biasa dia cuci bajunya. Ya mikirnya senang gitu bisa ketemu saudaranya. Kan nggak pernah saling berkunjung juga,”

“Terus?”

“Sambutannya ya gitu deh, dingin. Terus yang paling bikin ibu nangis, pas itu bapak cerita ketemu temannya sesama pemulung, teman bapak ini cerita dapat baju bagus sama makanan yang waktu itu mau dibuang orang, kata orang yang buang itu dia takut kalau baju dan makanan itu nggak higienis, pas dilihat bapak itu makanan dan baju yang dihantarkan ibu buat Pakdhe Bagus. Yang buang baju itu perempuan sih, mungkin itu Budhe Bagus. Ya memang begitu orangnya. Aku ya cuma bisa ngrumangsani, Mbak, siapa kami toh kok ngaku-ngaku keluarganya Pakdhe Bagus.”

Hmm... aku tidak tahu cerita lengkapnya kenapa bisa begitu, aku juga cuma dengar ceritanya dari Denok, tak bisa menarik kesimpulan. Tapi sebenarnya cerita mirip seperti itu di kampungku juga ada, anak kembar yang berbeda nasib, yang kaya tak mau mengakui kalau dia punya saudara kembar yang miskin.

Denok ini jarak ke sekolahnya lumayan jauh. Seringnya dia jalan kaki bareng Saras, kalau pas longgar biasanya diantar bapaknya Saras yang tukang becak, kalau pas tak disuruh orang pagi itu. Waktu itu aku punya sepeda mini hasil dari beasiswa aktivis, karena sudah lama juga, tapi masih layak, itu sepeda saksi sejarah ketika aku dulu masih meloper koran dan pernah dikejar anjing. Aku kasih sepeda itu buat si Denok. Ya walau aku bukan orang kaya yang langsung bisa membelikan sepeda baru saat itu juga, tapi setidaknya aku masih bisa menabung buat beli baru, sedangkan Denok lebih membutuhkan sepeda itu.

“Udah nggak usah jalan kaki lagi, itu sepeda pakai aja, boncengan sama Saras. Kalau kamu punya sepeda kan enak, menghemat waktu,”

“Terus Mbak Imp sendiri piye?”. “Sante wae, ntar aku minta sama Gusti Allah.”

Akhirnya dia mau nerima pemberianku. Tapi setelah lulus sekolah, aku jadi sibuk sendiri, lupa sama Denok. Baru setelah berapa tahun itu dia berkirim pesan padaku, ternyata dia masih menyimpan nomorku. Dulu cuma dicatat saja karena dia tidak punya hp. Moga kamu sukses ya, Nok, dan tetap rendah hati.

*Buletin Masjid Jendral Sudirman, Edisi-39 Jumat, 10 Agustus 2018/28 Dzulqo'dah 1439 H


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Impian Nopitasari

Pehobi sepeda dan pecandu kereta. Berjaga di Buletin Sastra Pawon Solo. Menulis fiksi dalam bahasa Indonesia dan Jawa. Kumpulan cerita cekaknya, Kembang Pasren terbit September 2017 oleh penerbit Garudhawaca, Yogyakarta. Saat ini sedang mempersiapkan buku keduanya, kumpulan wacan bocah, cerita anak berbahasa Jawa.